Selasa, 17 Januari 2012

Kado di Tahun Baru (part2)


Permasalahan yang terjadi dikalangan pemuda sangatlah kompleks. Ditengah kondisi jiwa yang masih terhitung labil secara usia, juga pengaruh lingkungan yang begitu kuat, para pemuda dituntut untuk mampu melewati masa-masa perubahan  yang terjadi pada dirinya. Belum urusan tugas. pekerjaan rumah, atau kegiatan intra sekolah, para pemuda harus betul-betul siap secara  mental dalam menghadapinya.
Adi menulis kata demi kata di atas buku tulisnya. Ia menyusun beberapa draft rancangan esai yang akan ia ikutsertakan dalam lomba. Adi berniat untuk datang ke rental komputer dan mengetiknya agar lebih rapi setelah tulisan itu rampung,. Baru beberapa paragraf Adi menulis, rasa kantuk menghinggapi mata Adi. Tapi ia berusaha untuk tetap membuka matanya meski waktu sudah menunjukan jam setengan dua belas malam. Adi beranjak menuju kamar mandi. Ia mengambil air wudhu dan membasuh muka dan lengannya. Rasa kantuk itu sedikit hilang. Secangkir teh hangat Adi buat untuk menemani malam yang panjang ini. Sebelum memasuki kamarnya, Adi melewati kamar emaknya. Daribalik tirai yang menutupi kamar Emaknya, ia mendengar dengkuran Emak yang halus.
“Emak, maafin Adi udah bohong hari ini. Adi ngelakuin ini buat kebahagiaan emak.
Adi menghela napas panjang. Ia tak ingin mengganggu Emaknya yang sedang tidur pulas itu. Dengkuran Emak terdengar seperti orang yang kelelahan. Memang hari ini Emak mendapatkan banyak kerjaan mencuci. Beberapa pakaian yang masih dalam buntelan masih terletak diruang depan rumah. Dengkuran emak tak dapat menafikan betapa hari yang Emak lewati begitu melelahkan.
Secangkir teh hangat mampu menahan rasa kantuk Adi beberapa jam. Ia terus menulis sambil membuka-buka referensi buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Ide segar yang mengalir dikepalanya segera ia ukir diatas coretan tinta. Rangkaian kata dan kalimat tertulis melalui pena dan tertulis diatas lembaran kertas. Tak terasa mata yang tajam itu mulai mengendur. Tatapannya mulai sayu dan lunglai. Diatas meja, Adi menundukan kepala diatas kedua tangannya yang saling menyilang. Suara dengkuran mulai terdengar dari kamar yang mungil itu.
***      ***      ***
8 Desember 2011
Pergerakan pemuda saat itu dihiasi dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan seperti Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, dan Budi Utomo. Pergerakan pemuda yang ditujukan untuk membangkitkan kesadaran bangsa agar menjadi bangsa yang besar, mulai menggugah kesadaran rakyat. Tak jarang para pemimpin pergerakan harus menerima hukuman dari Belanda. Tapi itu semua tidak menjadikan para pemuda gentar. Mereka terus bergerak dan menghimpun kekuatan untuk menuju satu tujuan mulia. Indonesia Merdeka !
Kali ini Pak Heri memberikan materi pergerakan kepemudaan. Ia bercerita bagaimana Budi Utomo, Sarekat Islam, dan berbagai organisasi kepemudaan muncul. Zaman penjajahan yang begitu keras ternyata tidak mempengaruhi semangat pemuda saat itu untuk terus bergerak. Meski pergerakan tersebut dibatasi, ternyata apa yang diusahakan oleh para pemuda bukan tanpa hasil. Belanda seakan tidak menyadari, dari pergerakan itulah kelak muncul seorang pemuda yang menjadi motor perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
“Sekarang bapak ingin kalian membuat sebuah essai sebanyak dua paragraf. Tulis siapa tokoh pemuda yang menginspirasi kalian. Diskusikan dengan teman sebangku kalian!”
Anak-anak selalu bersemangat bila diajar oleh Pak Heri. Semangat beliau selalu tertular pada anak didiknya. Tatapan hangat pak Heri mampu menghipnotis anak-anak. Dan mereka mulai sibuk menulis essai yang diperintahkan oleh Pak Heri.
Adi mengeluarkan buku tulis dari tas lusuhnya. Ia mengeluarkan dua buku tulis dan meletakkannya diatas meja. Satu buku adalah buku dimana ia menulis essai untuk ia ikutkan lomba. Satu buku lagi adalah buku pelajaran sejarah. Jangan sampai kedua buku itu tertukar,  batin Adi. Setelah membuka dan mengeceknya, ia membuka buku sejarahnya dan mulai menulis apa yang diarahkan Pak Heri.
Pak Heri berjalan mengitari anak didiknya. Ia memperhatikan setiap tulisan yang ditulis oleh anak didiknya. Ada yang menulis tentang Soekarno, Bung Hatta, Syahrir, ada pula yang menulis tentang Amien Rais. Pak Heri hanya bisa menahan senyum dan tawanya. Ia tak ingin anak didiknya malu karena dilihat olehnya. Meski ia tertawa bukan bermaksud merendahkan, jiwa kebapakan Pak Heri dapat mengerti bagaimana tingkah siswa bila seorang guru mentertawai hasil kerjanya.
“Baik anak-anak, sekarang kalian boleh mengumpulkan essai yang kalian tulis. Tolong ketua kelas agar mengumpulkan buku-buku temannya,
Seorang siswa yang duduk dikursi depan berdiri tempat duduknya. Ia adalah Doni. Ketua murid dikelas itu. Ia menyambangi tiap meja dan mengambil tiap-tiap buku tulis dari tangan kawan-kawannya. Setelah menghitung jumlah buku dan jumlah siswa, Doni meletakan bukunya diatas meja Pak Heri. Jam pelajaran telah  usai. Pak Heri menutup kelas dengan sedikit nasihat.
“Baik anak-anak, dari pelajaran ini kalian dapat mengambil hikmah. Sebuah cita-cita yang diiringi dengan tindakan dan usaha yang keras, insya Allah akan membuahkan hasil. Siapa yang menuai akan memanen hasilnya. Dan hasil perjuangan para pemuda terdahulu telah kita rasakan hingga saat ini. Ingat anak-anak, barang siapa yang bersungguh-sungguh, dapatlah ia.
Dada para murid dipenuh semangat yang membara. Pak Heri memiliki tempat khusus di hati para siswa. Beliau bukan hanya sekedar guru, tapi ia adalah lentera dibalik hati yang dirundung kegelapan. Cahaya dibalik sekolah yang selalu mendapatkan peringatan penggusuran.
***      ***      ***
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk slamanya
Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
            Adi menyanyikan lagu Kita Selamanya ciptaan Bondan Prakoso feat Fade to Black dengan riang. Celotehan lagu rap dihiasi iringan gitar akustik menambah suasana ramai disore hari. Bus melaju pelan menuju terminal Cicaheum. Beberapa pedagang asongan ikut menjajakan makanannya. Suasana Kota Bandung saat itu tidak terlalu panas. Awan teduh dan sedikit mendung memayungi kota yang indah ini.
Saat duka bersama, tawa bersama
berpacu dalam prestasi hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
didalam api semangat yang tak mudah padam
Kuyakin kau pasti sama dengan diriku
pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
            “Terima kasih bapak ibu sekalian atas perhatiannya. Semoga bapak ibu selalu dalam keadaan sehat dan selamat sampai tujuan,” Adi menutup nyanyiannya. Gelas air mineral kosong berkeliling dari bangku ke bangku penumpang. Beberapa uang lembaran ikut masuk ke gelas kosong itu. Sambil membungkukan badan, Adi mengucapkan terima kasih ke setiap penumpang meski tidak memberinya sepeserpun.
            Bus DAMRI telah tiba di terminal Cicaheum. Para penumpang turun dari bus begitu juga Adi. Cahaya matahari menunjukan waktu sudah hampir Magrib. Goresan cahaya merah menghiasi langit Kota Bandung. Adi berjalan menuju musholla yang waktu itu ia singgahi. Ia bersegera mengambil air wudhu dan duduk di shaff paling depan di musholla mungil itu. Seorang bilal mengumandangkan adzan dengan suara baritonnya.
            Setelah solat magrib, Adi mengumpulkan uang yang tadi ia dapatkan. Alhamdulillah, lirih Adi. Hari ini ia mendapat dua belas ribu rupiah. Angka yang sangat besar bagi orang seperti Adi. Ia mengambil dompet lusuhnya dari saku celananya. Hari ini dua belas ribu, tempo hari delapan ribu, ditambah uang jajan dari Emak lima ribu, total dua puluh lima ribu. Adi semakin optimis dengan usahanya. Setelah uang itu mencapai angka yang cukup, ia akan mentransfer uang itu ke panitia lomba. Adi bangkit dari duduknya, berjalan keluar musholla menuju tempat pemberhentian bus.
            Langkah-langkah riang Adi menarik perhatian orang di terminal. Beberapa pasang mata menatapnya tajam sambil mendengus pelan. Seorang berbadan besar bangkit dari duduknya dan berjalan dibelakang Adi. Belum sampai tempat pemberhentian bus, orang itu  memegang tangan Adi dan menariknya sedikit kasar.
            Jang, pengamen baru disini ya?” terdengar suara seseorang dari belakang Adi. Orang berbadan subur dan bertato dilenganya kini berdiri tepat didepannya.
“Iya mang, dari terminal Kebon Kalapa,” Adi menjawab pertanyaan si badan bongsor itu polos.
“Sini-sini …. “
Orang itu mencengkeram lengan Adi keras. Ia menyeret Adi kesebuah pojokan di sudut terminal. Tidak ada orang yang melihatnya. Beberapa orang yang dari tadi duduk bersama si bongsor, ikut bangkit dan berjalan mengikuti Adi yang terpojokkan. Langkah Adi tertatih-tatih, cengkeraman itu belum lepas dari lengannya.
Saha nama kamu? Udah dapet izin dari Si Bos buat ngamen disini?” tanya seorang pria berbadan jangkung dengan tatapan tajam. Tampaknya ia tidak hendak bermain-main.
“I ..i ..izin apa Kang? Saya baru disini!” Adi tergagap. Ia sadar bahwa ia dikelilingi oleh lima orang berbadan besar, kecuali si jangkung ini. Beberapa orang diantara mereka memiliki codet di pipinya.
“Make nanya lagi, gatau disini bos nya siapa?” pria berkulit hitam yang membawa botol minuman membentak Adi. Orang yang dipanggilnya bos itu berdiri disampingnya dan memerintahkannya untuk tidak mengangkat suara.
“Duhh .. maaf kang, saya gak tahu, saya bukan orang sini,nafas Adi tersenggal. Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya.
“Maaf maaf, enak aja nyari uang dilahan orang!pria  jangkung tadi memotong kata-kata Adi. Tampaknya ia sudah tidak sabar dengan Adi yang polos ini.
“Sudah-sudah ambil dompetnya, suruh bayar uang kemananan!kali ini pria yang dipanggil Bos menyudahi anak buahnya berbicara.
“Bayar sini, lima puluh ribu!” Pria bongsor yang dari tadi mencengkeram lengan Adi menyebutkan sebuah nominal yang hampir membuat jantung Adi copot. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Air matanya hampir keluar, tapi ia tak ingin menambah masalah dengan menangis. Dengan cepat ia mengeluarkan dompetnya.
“Maaf … kang, uang segitu belum ada, saya gak punya uang sebanyak itu,” Adi mencoba menekan ketakutannya. Para preman tetap tak ingin berdiplomasi dengan alasan Adi.
“Ahhh .. bohong, sini mana dompetnya!si jangkung mengambil dompet Adi kasar.
“Jangan kang, itu uang ….. “
“Diam kamu, belum pernah ditusuk yaa!pria tambun yang dari tadi mencengkram tangannya memberikan ancaman serius. Tampak pisau lipat mencuat dari balik saku celananya.
“Hahahaha… lumayan juga anak ini!ujar pria jangkung tadi sambil tertawa. Ia mengeluarkan semua isi dompet Adi dan memasukkan uang jarahannya itu kesaku jeans kumalnya. Pria subur tadi mulai melepaskan cengkraman tangannya.
“Sudah sana pergi kamu, nanti kalo kamu mau ngamen disini lagi jangan lupa bayar uang keamanan. Ngerti kamu?si tambun memberi nasihat yang lebih terdengar seperti ejekan pada Adi. Nafas Adi memburu. Ia kesal bukan main. Tapi lima orang berbadan besar dan sebilah senjata tajam membuat keberanian Adi hanya keluar sampai tatapan matanya.
Para preman itu kini berjalan meninggalkan Adi yang berdiri termenung. Ia menundukan kepalanya dan terpaku sendiri dipojokan terminal. Badannya gemetaran, dadanya sesak, ia mencoba untuk menahan emosi yang keluar dari hatinya. Setetes air mulai membasahi pipi yang berdebu itu. Malam itu ia serasa dihajar dengan palu godam diatas ubun-ubun dan dicambuk dengan cameti sekeras-kerasnya. Sekuat tenaga ia mencoba menahan letusan emosi. Tapi ternyata, seorang Adi tak mampu menahan teriakan yang keluar dari kerongkongannya.
***      ***      ***
“Mungkin itu Di kenapa emakmu melarang kamu mengamen dijalan,ujar Kang Maman mencoba menasihati Adi yang sedang gusar. Mukanya merah padam.
“Yaaa gimanapun itu resiko Di, kalo emang mau turun ke jalan, ya emang harus siap berhadapan dengan hal seperti itu,
“Tapi Kang, itu uang sudah Adi kumpulin dari kemarin. Bentar lagi lomba mau ditutup. Harus cepet ditransfer!kata Adi kesal. Ketidak adilan bukan hal  yang mudah diterima olehnya.
“Yaa sudah, sabar. Untung kamu masih hidup Di. Kamu sendiri kan bilang preman itu ada yang bawa pisau. Bisa berabe kalo preman itu naik darah. Sabar. Insya Allah ada jalannya,ucap kang Maman. Nasihat Kang Maman memang sulit Adi serap. Tapi emosinya sudah mulai turun.
“Berapa bagian lagi essai yang kamu buat Di?” tanya Kang Maman mencoba membuka topik baru.
“Sedikit lagi kang, tinggal kesimpulan aja,
“Hmmm tunggu sebentar...
Kang Maman masuk ke kios meninggalkan Adi duduk sendirian dengan wajah murungnya. Tak lama, Kang Maman kembali dan duduk disebelah Adi.
“Ini, akang ada rizki hari ini, ambil,uang sejumlah dua puluh ribu kang Maman sodorkan pada Adi.
“Eh eh, enggak kang, gausah ngerepotin akang,tak biasa Adi menerima uang pemberian tanpa ada alasan. Mungkin Kang Maman mencoba memberinya perhatian. Tapi Adi canggung untuk menerimanya.
“Sudah ini ambil. Anggap aja ini sepotong hadiah yang akan kamu terima nanti.” senyum tulus kang Maman tersungging di bibirnya. Sudah lama Adi menganggap Kang Maman kakaknya sendiri.
“Duh kang, makasih pisan. Saya gatau harus bilang apa.” Wajah Adi sedikit cerah. Mungkin ia tak perlu mengamen lama lagi untuk mencari uang tambahan. Tinggal lima belas ribu. Ia akan langsung mentrasnfer uang itu.
Sok, semangat. Gak boleh lemes gitu, Akang yakin Adi bisa menang. Jangan menyerah ya Di.” Kang Maman menepuk halus pundak Adi.
Langit malam saat itu gelap pekat. Bulanpun tak mau menampakan sinarnya.  Suara binatang malam mulai saling bersahutan. Hanya cahaya lampu yang menerangi gelapnya malam. Tapi jauh diatas sana, ada satu bintang yang berpijar indah. Sebuah bintang timur memperlihatkan sinar putih keperakan. Meski sendiri, ia tak segan untuk membagikan cahaya mungilnya pada langit luas yang gelap itu. Ternyata dibalik gelapnya malam, masih ada satu bintang yang rela membagikan sinarnya. Bagi siapapun yang membutuhkan penerang dalam hatinya.
***      ***      ***
10 Desember 2011
Suara kasak-kusuk terdengar dari sepetak kamar yang mungil itu. Tas, lemari tua, rak kecil, bahkan sprei kasur telah Adi buka. Kekesalannya karena dipalak oleh preman tempo hari belum pulih benar. Ditambah dengan tidak ditemukannya barang misterius yang ia cari. Ia mencoba mengeluarkan seluruh isi tas dengan membalikkannya. Tapi barang itu belum ia temukan, ia mencoba mengeluarkan seluruh isi lemarinya dan hasilnya nihil.
“Buku tulis itu mana? Kemaren kan ditaruh ditas...” Adi menggerutu sendiri. Ternyata barang itu adalah buku tulis yang ia pakai untuk membuat essai tersebut.
Belum puas Adi mengobrak-abrik tas dan meja belajarnya, ia kini membuka lemarinya dan mengeluarkan semua barang yang ada didalamnya. Kemeja, kaos, celana semua ia keluarkan. Ia ingat betul, ia tidak lupa menaruh barang-barangnya. Sebenarnya bukan masalah harga barangnya, tetapi usahanya selama ini tertulis dibuku itu. Tinggal beberapa hari essai itu harus segera ia kumpulkan.
“Nyari apa atuh Di? Kok kaya orang kesurupan gitu?” Emak yang daritadi sibuk didapur mendengar kasak-kusuk yang terdengar dari kamar Adi.
“Buku Adi mak, buku yang Adi tulis buat tugas,sebenarnya ini adalah rencana Adi untuk memberikan kejutan pada Emaknya. Hadiah di ulang tahun Emak pada tanggal satu januari.
“Lah kamu taruh dimana Di ? kok bisa hilang?” Emak menyibakkan tirai pintu kamar Adi, memandangi wajah bingungnya.
“Disini mak, di meja belajar.” Adi seperti tersambar petir. Usaha yang ia kerjakan selama ini hilang gara-gara kelalaiannya. Jerih payahnya, rasa kantuknya, bahkan usahanya mencari uang dengan mengamen, kejadian pemalakan oleh preman di terminal, semua harus lenyap seketika. Ia mendengus kesal. Rencana besarnya harus gagal total. Waktu tinggal beberapa hari lagi. Dan Adi harus mengulang semua dari awal. Buku tulis itu raib, hilang entah kemana.
Adi memandang emaknya dan tertunduk kembali. Genangan air mata tampak dipelupuk mata Adi. Tapi menangis sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan. Ia kembali mencari-cari buku tulis itu didalam tumpukan buku. Seketika kamar mungil Adi berubah menjadi kapal pecah.
“Kamu taruh dimana bukunya Di? ada ada aja kamu ini.” Emak kembali pada tumpukkan cuciannya. Dipikulnya satu tumpuk buntelan baju bersih yang akan emak kembalikan pada pemilik pakaian.
“Emak pergi dulu, jaga rumah ya Di!
“Iya mak.” Adi masih terpaku pada buku yang hilang itu. Emaknya hanya bisa mendesah nafas melihat tingkah anak satu-satunya itu. Emosi dalam diri Adi ditekan sekuat tenaga. Tak bisa Adi bayangkan bila ia harus menggagalkan rencananya itu. Rencana yang Adi yakini sebagai jalan menuju cita-citanya. Segenap usaha telah Adi kerjakan. Kini Adi menghadapi pertaruhan dalam pilihannya. Apakah ia harus rela cita-citanya direbut oleh orang lain, atau ia kembali berusaha dari awal dan membuang segala kekesalannya.
Dan Adi memutuskan untuk kembali berusaha dari awal. Sekuat tenaga ia kumpulkan semangat yang sempat luntur. Berbagai cobaan telah Adi hadapi. Kini Adi tak ingin cobaan itu mengganggu tujuannya. Ia akan tetap kembali menulis dari huruf pertama. Berusaha sekuat tenaga dan memfokuskan pikiran pada essai yang harus ia buat. Ia tak berpikir untuk mengamen lagi. Waktu semakin dekat, dan essai harus ia kerjakan.
Akhirnya Adi kembali menulis dari awal. Meski ia tahu tulisannya kini tidak sama seperti apa yang ia tulis di awal, Adi tetap merangakai imajinasinya dan gagasan-gagasan yang muncul dipikirannya. Apa boleh buat, Adi hanya bisa menancapkan tiang-tiang kegigihan dalam kepalanya. Bila ia terus menerus meratapi semua nasib naasnya, essai dan perlombaan tidak akan ia ikuti. Dan rencana besar ditahun baru nanti tak akan terlaksana.
***      ***      ***
23 Desember 2011
“Lain kali jangan lalai atuh Di, masa udah kamu kerjakan capek-capek hilang begitu saja,tukas Kang Maman mendengar cerita Adi. Ia hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum jahil padanya.
“Mau gimana lagi kang, untung bisa kebut Adi kerjain yang baru,
“Sudah kamu ketik pake komputer?”
“Sudah kang, kemarin saya rental, ini sudah saya masukkan dalam CD.Adi menunjukkan sekeping Compact Disc pada Kang Maman.
“Hmm, baguslah kalo begitu, sekarang  mau kemana? Mau langsung kamu transfer?”
“Iya kang, ini naskahnya sudah jadi, tinggal saya emailkan, trus mau transfer uang juga. Tapi kang maaf sebelumnya ….”
“Maaf kenapa Di?” Kang Maman mengernyitkan dahinya. Ia belum paham apa yang dimaksud Adi.
“Saya gak punya uang tambahan kang, kalo boleh …. Adi pinjem dulu, kalo sudah ada uang Adi ganti,suara Adi terdengar lirih. Malu-malu ia utarakan maksudnya pada kang Maman. Ini adalah rencana terakhir bagi Adi. Meminjam uang dan mengembalikkannya nanti.
Aduhaduh, kenapa gak bilang dari kemarin atuh, kan Adi gausah capek ngamen buat bayar lomba,” Kang Maman menahan gelak tawanya. Wajah Adi yang kemerahan menampakan wajah polos.
“Adi gamau orang lain repot kang.” Adi hanya tertunduk malu. Ia memang tak  ingin siapapun repot karena tujuannya. Biar ia yang mengusahakan segalanya. Tapi apa boleh buat, rencana terakhir harus ia luncurkan.
“Yasudah, butuh berapa?” Kang Maman merogoh dompetnya.
“Dua puluh ribu kang, buat ongkos juga,” suara adi semakin pelan.  Ia tersenyum ketika kang Maman mulai menghitung uang dalam dompetnya.
“Ini ambil, ga usah kembalikan. Ga usah minjam-minjam. Akang pengen Adi sukses dan maju.” kata-kata kang Maman terdengar tegas. Ternyata ia memang tak ingin meminjamkan Adi uang.
“Duuhh kang, merepotkan terus,” Adi mencoba basa-basi. Diambilnya uang pemberian kang Maman.
“Sudah sana pergi, keburu telat, bank itu tutup setiap waktu makan. Jangan sampai telat lagi!
Nuhun kang, Adi berangkat atuh, assalamualaikum.
***      ***      ***
 Bus DAMRI melaju pelan. Jalanan kini dipadati oleh wisatawan lokal yang ingin berjalan-jalan di Kota Bandung. Beberapa mobil berplat nomer B, L, bahkan F tampak parkir di beberapa outlet. Mereka menghabiskan akhir tahun dengan berlibur dan membeli pakaian yang diperkirakan mendapat diskon besar-besaran. Akhir tahun selalu membawa cerita berbeda. Begitupun dengan Adi. Akhir tahun ini ia berusaha keras untuk mengikuti sebuah lomba penulisan essai yang berhadiah beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi. Meski Adi harap-harap cemas akan hasil perlombaan, ia selalu meyakinkan diri bahwa ia akan mendapat hasil yang baik. Nasihat dan petuah kang Maman ia pahami dan resapi betul.
“Semua itu kalo kita yakini, akan terjadi Di. Itu rahasia alam. Akang baca dari buku the Secret. Semakin kita meyakini sesuatu terjadi dan selalu berprasangka baik, itu akan membawa hasil sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tentunya, dibarengi kerja keras juga.”
Adi tersenyum simpul. Kang Maman memang orang biasa. Ia hanya menjadi pemilik kios warung kopi dan camilan ringan. Tapi pemikiran Kang Maman tak sekecil kios yang ia miliki. Kang Maman selalu berpikir dan berbesar hati. Ia selalu meyakini bahwa usahanya kelak akan maju dan menuai sukses.
“Akang baca dari buku Negeri Lima Menara, ada mantera sakti Di, bunyinya Man Jadda Wajada. Katanya sih artinya barang siapa bersungguh-sungguh dapatlah ia.
Beberapa pedagang asongan menaiki bus yang sedang terjebak dalam macet. Ada penjual lontong, gorengan, tahu bahkan buah-buahan segar. Seketika bus menjadi pasar yang ramai dengan penjual. Para penumpang yang mulai bosan dengan kemacetan tampak keranjingan dengan jajanan murah meriah itu. Kemacetan ternyata membawa berkah bagi para penjual ini.
Bus kini berhenti disebuah halte. Para pedagang dan penumpang lain mulai turun dari bus, begitu juga Adi. Beberapa orang tampak berdesakan dipintu bus. Penumpang yang hendak naik enggan mengalah dengan penumpang yang ingin turun. Belum para pedagang yang ikut berdesak-desakkan. Adi yang terjepit ditengah keramaian itu mencoba mencari jalan keluar. Kini ia dihimpit oleh banyak penumpang dari kedua arah. Beberapa penumpang mulai berhasil keluar dari kerumunan itu. Seketika Adi merasakan ada yang aneh dengan tas lusuhnya.
“Tas.. tas saya.. dimana tas saya?desis Adi pelan.
 Tas cangklongan itu terasa kendur dari pundaknya. Ia berusaha untuk meraba-raba tasnya. Tapi tangannya tertahan oleh seorang pria besar dibelakangnya. Ia berusaha untuk berontak. Sayang, tubuh kurusnya tak mampu menggerakan kerumunan orang yang menghimpitnya. Seketika tas cangklongannya lepas dari genggaman. Tas lusuh itu kini tak berada dipundak Adi. Adi terkesiap, himpitan ini ternyata hanyalah kamuflase. Secepat kilat adi berteriak
“Copeeeetttt !!! Tolooooonngg saya dicopet !!”
Sayang teriakan Adi hanya terdengar samar-samar ditengah kerumunan itu. Kini penumpang yang hendak turun mulai menemukan jalannya dan keluar satu per satu dari pintu bus. Adi yang masih terkejut segera berlari dan menyapu pandangannya kesegala arah. Dua orang berpakaian hitam kumal lari terbirit-birit menjauh dari bus. Segenap tenaga Adi kumpulkan di kerongkongannya.
“Copppeeeetttt itu copeeettt !!! tolooonngg!!
Orang-orang yang duduk di halte berloncatan mendengar sebuah teriakan. Pandangan mereka tertuju pada dua orang yang lari terbirit-birit dan kini telah berada diatas sepeda motor. Mereka hilang dari pandangan. Gumam kekesalan terdengar dari mulut orang-orang disekitar. Mata mereka kini tertuju pada sumber suara yang kini berlutut diatas aspal. Memandangi nasib naas yang dialami bocah kurus itu.
Adi tak percaya akan apa yang terjadi, bayangan Emak, Kang Maman, Pak Heri terlintas dibenaknya. Beasiswa, sarjana, lomba, essai, kata-kata itu kini menari-nari mengelilingi kepalanya. Pemalakan preman, buku yang hilang, tulisan yang ia tulis selama tiga hari, kini hanya menjadi sebuah kenangan yang berlalu begitu saja. Hampa,  melayang dan hilang diterpa angin. Jerih payahnya ternyata hanya mengisi hari-harinya supaya tidak kosong.  Sepertinya nasib baik memang bukan diperuntukkan baginya. Air mata kini terasa sulit untuk keluar dari matanya. Ia tak bisa berkata apa-apa. Naskah, dompet, dan uang yang tadi ia pinjam dari Kang Maman sudah hilang dari genggamannya. Batas pengumpulan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kini ia hanya bisa merelakan cita-citanya hilang dijambret orang. Semua terjadi dalam hitungan menit. Dan tak ada yang bisa menghentikan kedua copet yang sudah lenyap ditelan keramaian.
***      ***      ***

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya suka cara bertuturmu. Enak dibaca. Cermat mengolah kata.

Unknown mengatakan...

terimakasih pak ... mohon bimbingannya ...

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish