Kamis, 29 Maret 2012

Ngaji yuuuu

Inna nahnu nazzalnadzzikra wa inna lahu lahafizun. (QS  Al-Hijr:9)
Artinya : Sungguh  Kamilah  yang menurunkan  Adz-Dzikra  (Quran),  dan sungguh Kamilah yang memelihara kelestariannya.

Sahabat, dalam rukun iman kita mengenal salah satu rukun yang disebut “Iman Kepada Kitab Allah”. Kitab yang diturunkan oleh Allah kepada hambaNya untuk menjadi sebuah petunjuk dan peringatan. Mengapa petunjuk? Secara logika seperti ini, setiap kita membeli sebuah produk kita pasti diberi petunjuk pemakaian dan penggunaan. Kalau kita beli motor, kita diberi semacam buku panduan untuk mengenal motor lebih dalam. Ada petunjuk, keterangan, dan pengarahan agar para pengendara motor dapat memahami bila terjadi sesuatu dengan motornya ia akan tahu apa yang terjadi. Naah, kalau motor saja ada petunjuk pengarahannya, handphone juga ada buku pengarahannya, masa kehidupan yang kita jalani ini tidak ada buku petunjuknya. Naahh itu dia yang dinamai Kitab atau Al-qur’an.

Namun sahabat, kitab yang Allah turunkan tidak melalui proses sekali jadi. Kitab yang Allah turunkan itu turun berangsur-angsur sesuai dengan keadaan yang terjadi. Bahkan sebelum Al-Qur’an turun, beberapa kitab telah terlebih dahulu diturunkan kepada rasul sebelum Muhammad SAW yang wajib pula kita imani. Ada tiga kitab yang diwahyukan. Yuuukk kita telaah lebih dalam....

Yang pertama adalah Taurat. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa AS semasa beliau menjadi rasul. Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani dan berisikan syariat dan hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada kaum Nabi Musa, yaitu Bani Israil. Dalam Taurat juga tertulis kisah-kisah nabi dan ajaran-ajaran terdahulu. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi : 

“(Tuhan Allah) telah menurunkan kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang terdahulu dari padanya, lagi menurunkan Taurat dan Injil.” QS Ali Imran : 3.

Yang kedua adalah kitab Zabur. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Daud AS berisikan mazmur (pujian) terhadap Allah. Zabur ditulis dalam bahasa Qibti dan tidak berisikan syariah dan hukum sebagaimana Taurat. Hal ini dikarenakan, Nabi Daud AS diperintah untuk meneruskan syariat yang diajarkan oleh Nabi Musa AS.

“Dan kami telah memberi kitab zabur kepada Nabi Dawud” QS Annisa : 163.

Yang ketiga adalah kitab Injil. Kitab ini diturunkan kepada Nabi Isa Al-Masih AS. Beberapa riwayat mengatakan Injil ditulis dalam bahasa Suryani. Injil sendiri tidak memilki sistematika yang sama seperti Taurat dan Zabur.  Dalam Al-Qur’an dikatakan Injil berisikan petunjuk dan cahaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :

Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan 'Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” QS Almaidah : 46

            Nah, setelah kita tahu kitab-kitab yang diwahyukan kepada nabi sebelum Muhammad, sekarang mari kita kaji kitab yang diwahyukan kepada baginda nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’anul Karim.

            Al-Qur’an adalah penyempurna dari kitab-kitab yang diturunkan terdahulu. Al-Qur’an diturunkan pertama kali saat nabi menyendiri di Gua Hira yang kini kita baca dalam surat Al-Alaq ayat 1-5. Dalam Al-Qur’an kita dapat menemukan berbagai kisah nabi dan orang bijak terdahulu, hukum-hukum syariah yang relevan dengan ummat  manusia saat ini, dan nasihat serta pujian terhadap Allah SWT. Al-Qur’an memiliki 114 ayat, 30 juz, dan 6236 ayat. Nahh sahabat, untuk penghitungan ayat memang kita menemukan perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan, terkadang dalam membacakan ayat nabi berhenti sejenak dan mengambil nafas. Beberapa kalangan menyatakan saat itu lah ayat itu berakhir. Namun hal itu masih diragukan. Beberapa kalangan menyatakan ayat itu memang panjang dan bukan pemberhentian ayat. Meski demikian, perbedaan pendapat ini tidak mengurangi kesucian dan keagungan Al-Qur’an. Sebagaimana kita tahu, pada zaman dahulu belum ada tape recorder atau handycam yang mampu merekan suara secara detail. Semua masih manual, nabi yang membacakan ayat dan para sahabat yang menulisnya.

            Sahabat, ternyata Al-Qur’an memiliki banyak nama loh. Asal kata Al-Qur’an ini diambil dari ayat Al-Qur’an sendiri. Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qur’an. Al’Qur’an adalah mashdar yang berarti bacaan. Juga disebutkan Al-Qur’an memiliki nama Asysyifaa yang artinya penyembuh. Dan yang lain seperti Al-Huda yang berarti petunjuk, dan Adz-Dzikra yang berarti peringatan. Nama-nama ini disandingkan pada isi Al-Quran itu sendiri yang memiliki banyak kandungan.

            Nah sahabat, setelah kita tahu sekilas tentang Al-Qur’an sekarang kita renungkan yuk, berapa kali kita membaca kitab suci dalam sehari. Kita kadang lebih asyik membaca novel atau buku lain daripada Al-Qur’an. Padahal membaca Al-Qur’an pahala yang kita dapat sangat banyak loh! Beberapa riwayat mengatakan satu huruf yang kita baca akan mendapat satu pahala. Apalagi kita membaca satu halaman,satu juz, atau satu ‘ain? Kita tidak perlu takut bila dalam membaca Al-Qur’an masih mengalami kesalahan. Kenyataannya kita memang terlahir sebagai kaum ‘Ajm (baca: non-arab) yang masih perlu banyak berlatih dalam makhraj dan pengucapannya. Semua masih dalam proses belajar. Karena Rasul mengatakan, “sebaik-baik kalian adalah yang belajar membaca Al-Qur’an dan mengajarinya” (HR Imam Bukhari , Abu Daud, Tirmidzi , Ibnu Majah)

            Beberapa hadist lain bahkan memberikan penghargaan yang tinggi loh bagi mereka yang belajar dan membaca Al-Qur’an diantaranya:

”Rasulullah saw bersabda, “ Orang yang ahli Al Quran akan bersama para malaikat–malikat pencatat yang mulia dan lurus sedangkan orang yang terbata-bata dalam membaca Al Quran tetapi ia tetap bersusah payah mempelajarinya akan mendapat pahala dua kali lipat.” (HR Imam Bukhari, Daud, Nasa’i, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah.)

            Nahh.. mulai sekarang yuk kita perkuat iman kita dan semangat kita dalam membaca Al-Qur’an…

Senin, 26 Maret 2012

Mendengarkan

Saat itu pukul 01.00 dini hari. Ku mendengar dering telpon membangunkanku dari tidur yang lelap ini. Entah siapa yang menghubungiku, namun rasanya orang diseberang sana memang betul-betul membutuhkan pertolongan. Kudekati gagang telpon itu dan ku angkat. Mataku belum sepenuhnya terbuka

"Ayah.... maafkan aku," suara diseberang sana tertekan dengan segukan tangis. Nafasku diam tercekat.

"Iya.. ini si..."

"Biarkan aku bicara dulu Ayah, aku mohon,"

Ia memotong kata-kataku. Nada bicaranya menampakan lelah yang amat sangat. Sesekali ku dengar ia menahan isak tangis.

"Memang ini semua salahku, aku tak mendengar kata-katamu, tapi aku mohon Ayah, aku selalu ingin bercerita padamu, tapi Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan. Seolah apa yang aku ceritakan tidak penting bagimu,"

Ku mengencangkan genggaman tanganku pada gagang telpon. Istriku terbangun dari tidurnya dan menghampiriku. Ia menatapku penuh tanda tanya. Ku mengisyaratkan agar menggunakan telpon paralel yang tersambung di ruang kerjaku.

"Ayah, memang saat ini aku kebingungan. Aku takut untuk memberi tahu berapa nilai IPK ku saat ini. Hasilnya memalukan Ayah, bahkan akupun tak mau melihatnya. Aku takut kau marah seperti biasanya, aku tak tahan akan bentakan mu Ayah..."

Kini mataku terbuka lebar. Jantungku berdetak kencang. Kini kusadar bahwa selama ini aku terlalu keras mendidik anak.

"Setelah aku menerima transkrip nilai, aku sebenarnya ingin pulang ke rumah. Tapi aku takut. Akhirnya ku memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temanku, dan ..."
Isakan tangis kini terdengar. Otot lenganku semakin kencang. Ia menahan tangisannya dan berusaha berbicara  kembali.

"Kami minum minum Ayah... maafkan aku,"

Sepertinya darahku mengalir kencang. Aku tahu itu semua tidak menyelesaikan masalah, tapi disaat seperti ini aku hanya mampu mendengarkan saja.

"Setelah kami minum-minum salah seorang temanku memberikan sebuah bungkusan. Aku mengira itu tembakau biasa. Tapi ternyata tidak, itu adalah ganja Ayah. Kami menghisap ganja yang dilinting layaknya rokok,"

"Nak kau seharu..."

"Ayah aku mohon.. dengarkan aku," Tangisan kini terdengar jelas. Segukannya menampakan permohonan yang mendalam. Ku melihat sebuah brosur yang tertulis "Seminar Psikologi Keluarga, Bagaimana Membangun Komunikasi Dengan Anak".

"Kami tertangkap polisi Ayah, aku ditahan. Tapi dengan berbagai pertimbangan, polisi membiarkan kami pulang dan memberikan surat peringatan. Kami harus melapor setiap hari. Teman-temanku yang lain sudah dijemput orang tuanya. Dan aku takut ayah.. Aku takut engkau marah,"

Kini aku sedikit lega. Meski jantungku masih keras berdetak.

"Kurasa aku bisa pulang sendiri ayah, aku akan pulang dengan motorku,"

Nafasku tercekal, segera aku larang "Jangan anakku, Ayah mohon. Kau masih dalam keadaan terguncang."

Setelah mabuk dan menghisap ganja tentu bukan sebuah keputusan bijak untuk kembali mengendarai motor. Aku tak ingin sesuatu terjadi padanya.

"Aku mampu Ayah, tidak usah khawatir," terdengar suaranya sedikit cerah. Tangisannya pun tak terdengar lagi.

"Demi Ayahmu nak, pulanglah dengan taksi. Ayah mohon,"

"Baik Ayah, tunggu sebentar," ia terdengar meletakkan telponnya. Ku dengar deru mobil dan suara pintu terbuka. Percakapan dan tawar menawar harga terdengar sedikit jelas ditelingaku.

"Baik Ayah, aku pulang, aku sayang Ayah," ia menutup telponnya. Aku terdiam diruang tengah. Istriku datang menghampiri dan merangkul pundakku sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Apakah ia sadar ia menekan nomor yang keliru?" Istriku bertanya sambil menatap langit-langit rumah.

"Kurasa tidak, ia menelpon orang yang benar,"

Aku dan istriku beranjak dari tempat duduk. Melangkahkan kaki menuju kamar tidur puteriku yang sedang tertidur pulas.

"Dia tak merasakan pulasnya tidur seperti anak kita," Istriku berbisik ditelingaku. Ku mendekati anakku yang kini telah menempuh studi di bangku kuliah. Ku selimuti dia dan ku usap kepalanya.

"Ayah, ibu... ada apa?" Ia menatap kami dengan mata setengah tertutup. Rasa kantuk mengalahkan perhatiannya akan kedatangan kami.

"Kita lagi latihan Nak," Aku berbisik padanya.

"Latihan apa Yah?" Ia menutup wajahnya dengan bantal.

"Mendengarkan ....."


sumber foto


*Ide cerita ini diambil dari sebuah buku hebat yang berjudul "Hikmah Dari Seberang by Unknown Author ". Alur cerita emang beda, tapi inti dan point nya sama. (Dengan berbagai perubahan)

Minggu, 25 Maret 2012

Masa

Detak waktu terus berlari
Meninggalkan kesan pada siapapun yang berkelana
Sajak indah dan lirik manis
Tak reda berhenti pada ujung bibirmu

Saat manusia kembali berkaca
Pada siapakah mereka akan berlindung
Disaat asa tak bergeming lagi
Hanya tumpuk harapan dan kenangan yang menggumpal

Masa tak akan berlaku adil
Kobar api yang teredam dalam sekam
Berdiri dan tak kunjung berfatwa
Hanya menyisakan sesal tak bermuara

Ingatlah masa yang kini kau ukir
Sesungguhnya dirimu hanya orang merugi
Hanya dengan menyebut Nya
Dan mengingatnya
Serta berwasiat dalam kebaikan

Yang akan selamat dari kerugian....

Wal Ashr .....
Innal insana lafi khusrin...

My Capture


Jumat, 23 Maret 2012

Biarlah...

Kutahu awan tak pernah bersalah
Ketika ia berlari dan bersembunyi
Tak kunjung lagi memayungi
Segenap kegersangan yang mengendap

Kutahu angin tak pernah salah
Ketika ia menari dan tertawa
Tak kunjung kembali tuk berhembus
Disetiap penghujung petang

Kutahu ombak tak pernah salah
Ketika ia berkejaran
Tak kunjung lagi menerpa tebing
Disetiap sudut pantai

Biarlah awan mencari angin utara
Biarlah angin mencari titik pusara
Biarlah ombak kembali pada lautan

Karena disetiap titik tanda yang diciptakan Nya
Ada hikmah bagi hamba yang membuka mata
Akan bukti kekuasaan Nya
Bagi mereka yang merenungkannya

Inna fi khalqi samawati wa ikhtilafi laili wannahari la'ayati li ulil albab.....


Minggu, 18 Maret 2012

Siapa Aku...

Minggu ini bagiku adalah minggu yang menyenangkan. Bukan berarti minggu-minggu yang lalu tidak menyenangkan, tapi minggu ini banyak hal yang aku rasa. Entahlah, darah sanguin mungkin banyak mempengaruhiku. Yang kadang apa yang aku rasa lebih berkesan ketimbang apa yang selama ini aku pikirkan.

Siapa aku? Itulah pertanyaan yang kini aku pikirkan. Merenungi siapa diri ini dan mau dibawa diri ini. Banyak sekali ide-ide yang sliweran dalam kepala, tapi kadang bila berkaca pada diri, diriku selalu bertanya 'Siapa aku?'

Aku hanyalah manusia biasa. Manusia yang banyak salah, banyak khilaf, namun selalu berjuang untuk selalu menjadi lebih baik. Aku ingat dengan perkataan seseorang (lupa siapa namanya) bahwa, menjadi orang tua yang saleh itu memang sepantasnya dan lazim. Bayangkan saja bila orang tua (orang yang sudah tua) masih labil atau masih uring-uringan kaya anak muda. Gak layak kan? Apalagi melihat umur mereka. Mereka akan berkaca pada diri "umur udah segini, kapan mau ibadah solehnya?" Mungkin itu yang sering  mereka rasakan.

Namun ternyata tidak semudah itu bagi anak muda. Anak muda yang rata-rata usianya 17 sd 30 tahun lebih banyak menghabiskan masa mudanya dengan  bersenang-senang. Bila kita bandingkan, anak muda lebih banyak ditemukan di warnet, mall, atau tempat-tempat berkumpul lainnya daripada ditempat ibadah. Jarang sekali anak muda yang berkumpul di masjid. Meskipun ada, mari kita bandingkan, jumlah anak muda lebih buaanyak di tempat-tempat hiburan. Itulah mengapa, orang bijak mengatakan "Menjadi soleh di usia muda itu banyak tantangannya".

Bayangkan saja, ditengah persaingan global seperti ini anak muda banyak memusatkan perhatiannya pada persaingan abstrak  yang tidak dapat ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Anak muda bersaing dalam style dan unjuk diri dengan busana  yang ia banggakan. Belum lagi gadget yang ia pakai. Seolah-olah tidak bisa menahan diri bila melihat orang lain memiliki gadget yang lebih  mahal dan bagus. Belum lagi urusan pacaran. Mereka bersaing mendapatkan "seseorang" meski ia tahu mengurus diri sendiri saja kadang masih susah. Belum urusan pelajaran yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Juga masalah finansial yang melanda. Anak  muda sesungguhnya sedang mendapati tantangan yang sangat keras. Entah bisa diukur atau tidak, siapakah yang berhasil melewati tantangan itu.

Dan sekarang, kemanakah anak muda yang sesungguhnya memegang tanggung jawab besar? Tanggung jawab untuk menjadi pemuda perubah masa depan bangsa. Pemuda yang menjadi pejuang bagi agamanya. Pejuang yang menjadi agen perubahan untuk masa depan dunia yang lebih baik. Kemanakah pemuda yang seharunya memperkuat diri dengan ilmu agama agar tidak mudah terpengaruh dengan godaan kelak? Pemuda yang akan menjadi tonggak perubahan sejarah peradaban manusia? Kemanakah mereka?

Aku sempat tersenyum hambar ketika mendengar sebuah komentar ...
"Dia kan islami, masa gue kayak orang alim?"
Aku kebingungan. Memang apa yang salah bila seorang pemuda mengamalkan anjuran agama? Aku hanya bisa terdiam. Dan tersadar bahwa "Inilah kehidupan".

Maka kini aku berkaca pada diriku.

Siapakah aku?

         

Jumat, 16 Maret 2012

Kau Yang Menggantikanku Nanti ....


            “Jadi nanti akan ada siswa baru yang dikirim dari pondok pusat, dia akan menambah jumlah kalian”
            “Waaaahh, nambah nih satu orang”
            “Kayaknya asik nih, katanya dia asli orang sini ya? Hmmm, bisa nitip bawain makanan nih”
            Suasana kelas mulai ricuh setelah pengumuman dari Staff Pengasuhan Santri yang mengatakan akan ada siswa baru yang menjadi bagian kita. Jumlah siswa seangkatanku hanya dua puluh sembilan orang. Untuk tinggal di sekolah yang menantang ini memang tidak mudah. Pondok pusat pun hanya mengirimkan tiga puluh santrinya untuk melanjutkan studi di Pulau Sulawesi ini. Dan satu orang diantara kita sudah menyerah lebih dulu dan tidak ikut dalam Armada Masa Depan kami.
            “Thayib, intinya kalian harus bisa ikut berbaur dengan dia, kepindahan dia kesini bukan tanpa alasan,”
            Kini kami mulai diam. Akupun terdiam. Bukankah siswa yang lebih dulu mengecep pendidikan selama lima tahun disini diberi hak untuk pindah ke pondok pusat untuk dididik langsung dengan pimpinan dan para kyai? Tapi mengapa kini ia pindah dan kembali ke tempat asalnya?
            “Sewaktu siswa kelas enam sedang latihan untuk penampilan Panggung Gembira ia terpilih menjadi musikus untuk penampilan band” Ustad Rozi memulai ceritanya. Kini suasana kelas berubah sepi. Memang sudah menjadi kebiasaan, bila ada pengajar yang bercerita kami akan diam dam mendengarkan. Lain bila pelajaran.
            “Kalian pasti tahu sendiri bagaimana kerasnya latihan untuk PG” suara Ustad Rozi mulai melunak. Kami tambah penasaran.
            “Dan setiap selesai latihan, dia selalu minum suplemen serbuk. Yaa seperti yang sering kalian beli itu…”
            “Ohhh…” kami mendengung bersamaan.
            “Dan dia mengalami kebocoran jantung. Dia harus diopname hampir tiga bulan. Setelah operasi, dia masih mengalami lemah jantung. Dan orang tuanya tidak ingin dia jauh. Makanya, orang tuanya ingin dia kembali ke Kendari.”
            “Memang orang tuanya kerja apa ustad?” tanya temanku yang bernama Trias.
            “Bapaknya kepala desa disini.”
Suasana kelas hening. Kami berbincang satu sama lain tentang siapakah anak baru itu. Cerita yang dibawakan Ustad Rozi membuat kami iba. Membayangkan sakit jantung yang ia idap,  kami hanya bisa menelan ludah.
***                  ***                  ***
            “Jadi begitu mi, coba ko pegang dadaku, kau rasakan toh?”
         “Wahh, Rais, kok bisa begini?” aku masih tidak bisa menyangka. Detak jantungnya beritu terasa ditelapak tanganku. Tapi ia hanya tersenyum. Seolah penyakitnya hanya sebuah penampilan sirkus yang menarik decak kagum.
            “Kau tahu mi? Aku disana itu hampir tiap malam itu minum extra joss. Setiap aku capek, aku minum saja itu minuman. Tapi jadi begini hasilnya. Dokter bilang jantungku terbalik, hahahaha,” Rais masih menempelkan tanganku didadanya.
            “Tidak apa-apa ji, yang penting kini aku pulang kerumahku” ucap Rais ringan.
            “Kamu itu, yasudah, hayya na’kul, sekarang sudah jam makan siang. Kita makan, habis ini kita ada kumpul dengan staff pengasuhan,” kataku sambil tersenyum. Jam musholla menunjukan jam setengah satu, sudah saatnya makan siang.
            “Oh, bisakah ko bawakan nasi kekamarku? Aku tak kuat jalan ji, habis datang barusan,” Rais meminta sesuatu padaku. Bila kulihat memang mata Rais menampakan kelelahan. Tapi bukan lelah yang seperti kurasa bila habis menguras kamar mandi asrama. Juga bukan tatapan lelah bila semalaman mengerjakan tugas sekolah. Matanya menampakan lelah yang mengundang banyak tanya.
            “Aiwah, na’am, intazhir suwayya!” ucapku padanya. Akupun keluar dari musholla dan berjalan menuju dapur umum.
***                  ***                  ***
            “Jadi kalian harus mempersiapkan semaksimal mungkin. Penampilan kali ini bukan hanya untuk unjuk kemampuan kalian saja. Tapi untuk menunjukan jati diri pondok kita, agar mereka yang duduk di pemerintahan sadar. Ada pesantren ditengah hutan ini,”
            Ustad Wahyudi menyampaikan sambutan didepan para santri. Satu bulan kedepan kami berencana untuk membuat suatu pertunjukan untuk mengisi silaturrahim bersama gubernur. Pondokku yang terletak 60 km dari kota membuat tempat ini sulit dijangkau. Belum akses jalan yang tidak dilengkapi penerangan. Tak heran, saat pertama kali aku menginjakan kaki di Desa Pudahoa ini, aku menamai tempat ini dengan The Lost World.
         “Apalagi sekarang kita didatangi kakak senior kita. Kakak yang mahir sekali memainkan alat-alat musik. Mana Rais? Coba berdiri!” Ustad Wahyudi menyuruh Rais untuk memperkenalkan diri didepan seluruh santri.
            “Hadhir ustad!” Rais berdiri dan tersenyum pada seluruh santri.
            “Nanti kamu Rais, atur penampilan sholawat dan rebananya, siap?”
            “Siap ustad!”
            Pembagian tugaspun dimulai. Aku mendapatkan amanat sebagai staff parkir karena aku menduduki jabatan sebagai pengurus pramuka. Temanku yang lain ada yang mendapatkan amanat sebagai MC, penerima tamu, logistic, konsumsi, dan penampilan. Acara ini diharapkan sukses, itu ungkapan pimpinan pondok kami, Ustad Wahyudi.
           “Tapi untuk siswa kelas enam, ingat! Tidak ada dispensasi untuk meninggalkan kelas. Kegiatan belajar mengajar harus tetap diadakan!” Ustad Wahyudi kini mengangkat suara. Beberapa temanku mulai berbisik satu sama lain. Akupun merasa tidak setuju dengan kebijakan beliau. Namun sebagai santri, aku tidak bisa menolak kebijakan kyai.
            Tiba-tiba kudengar Rais berbisik “Tidak apa mi, kapan lagi kita belajar toh?” ia tersenyum padaku. Menyiratkan begitu banyak arti.
            “Hmm, memang bener apa katamu Rais,” akupun tersenyum balik padanya.
***                  ***                  ***
Pukul tujuh pagi. Aku sudah bersiap dengan buku dan perlengkapan sekolah. Pagi ini matahari menyambut kami yang sedikit malas dengan sapuan hangatnya. Kicauan burung dan celotehan monyet didahan pohon terdengar hingga ke ruang kamarku. Pondok Pesantren ini memang unik. Itu yang kurasa. Terletak ditengah hutan tidak membuat pondok ini asing dan sepi. Setiap kami pergi kekelas, kami harus berjalan sejauh setengah kilometer untuk menjangkau kompleks gedung kelas. Dan selama kami berjalan, kami disuguhi dengan pemandangan alam yang asri. Suara burung, monyet, dan serangga sudah tak asing kami dengar. Beberapa meter sebelum menuju kelas, kami melewati sebuah danau yang asri. Meski danau buatan, danau ini selalu menjadi tempat kami berkumpul dan melepas penat. Terkadang kami berenang, bermain rakit, dan memancing di danau ini.
“Hei Surya, tunggu aku mi!” kudengar seseorang memanggil namaku. Dialek Kendari asli membuatku mampu menebak siapakah sumber suara tersebut.
“Hei Rais, kaifa haluk?”
Alhamdulillah, jayyid, gimana mi? Sudah siap ko untuk penampilan?”
Kami berjalan melewati pinggiran danau menuju kelas. Pantulan sinar matahari dipermukaan danau berkilauan bagai permata yang bertaburan. Beberapa burung elang berputar mengelilingi langit Pudahoa ini.
“Waah, gimana ya? Aku sedikit malas Rais. Lagipula tugasku hanya menjadi juru parkir saja. Ana kaslan,
Edede, ko itu mi, kau cerita padaku ko bisa main keyboard toh? Pokoknya nanti ko harus ikut latihan untuk iringi rebana dan sholawat, ko harus ikut mi,”
“Ah Rais, nanti kalo aku ikut bisa bikin kacau penampilanmu, ana la uriid,”
“Tidak bisa ji, tidak bisa, pokoknya ko harus ikut, ko nanti yang manggantikanku,”
Percakapan kami terhenti setelah bel kelas dipukul. Kami sedikit berlarian menuju kelas yang tinggal beberapa meter lagi. Rais berlari mendahuluiku dan tiba dipintu kelas lebih dulu. Entah mengapa, hari ini aku sungguh merasakan malas yang luar biasa. Bahkan terbesit dalam pikiranku untuk keluar dari The Lost World ini dan kembali ke Bandung saja. Tapi berbeda dengan Rais. Kini ia begitu bersemangat kembali bersekolah. Kulihat ia membuang sesuatu dari mulutnya dirumput depan kelas.
“Cepat kelas enam! Masuk keruang kelas!” teriak Staff KMI padaku. Ku melangkahkan kakiku lebih cepat sambil menundukan kepala. Ku terkejut melihat sesuatu yang menempel dirumput. Sesuatu yang tadi Rais buang dari mulutnya.
“Darah!” aku menahan napas.
***                  ***                  ***
“Pokoknya habis ini kita langsung latihan nah, penampilan sebentar lagi ji!” ucap Rais untuk yang kesekian kalinya. Mulutnya yang penuh dengan nasi membuatnya sedikit sulit berbicara.
“Iya Rais, tapi ente beneran ajarin yo, aku takut ngerusak acara kamu,” ucapku.
“Gampang itu ji, pokoknya, nanti kita tampil berdua. Eh, bagaimana penampilan nanti untuk kita Panggung Gembira mi? Sudah siapkah ko?” tanya Rais padaku. Kini ia menanyakan penampilan pensi angkatan yang diadakan tiga bulan mendatang.
“Masih lama kan? Lagian juga kita belum siap dananya,” tukasku.
“Yang penting, nanti ko main nah,” ucap Rais singkat. Ia beranjak dari bangku dapur dan bergegas ke tempat cuci piring, dan menyudahi makan malam.
Ana antazhir fi diwanil musiq akh, bissur’ah, cepat mi!” teriak Rais yang beranjak lebih dulu meninggalakanku. Sepertinya ia hendak mempersiapkan studio untuk berlatih.
***                              ***                              ***
Penampilan kali ini memang berbeda dengan sebelumnya. Acara ini dihadiri oleh jajaran pemerintah termasuk gubernur. Bahkan, pimpinan pondok dari Jawa pun datang untuk turut bersilaturrahim. Aku bersiap didepan keyboard yang disediakan disebelah panggung. Acara akan dibuka dengan penampilan rebana dan shalawat kontemporer. Rais duduk disebelahku. Wajahnya menampakan antusias yang amat sangat. Ia menekan tombol yang terletak di panel Keyboard dan sesekali mendekatkan telinganya ke speaker, mencocokan rhytm dan tones agar sesuai dengan lagu yang akan dibawakan.
Aku terdiam sesaat. Memang ini bukan penampilan perdanaku bermain keyboard. Tapi bila dibandingkan dengan Rais, aku kalah hebat. Rais tidak hanya mahir bermain keyboard. Drum, bass, bahkan gitar dapat ia mainkan dengan baik. Aku sedikit minder bila disamakan dengan Rais. Tapi entah mengapa, Rais begitu antusias ketika mendengarku mampu bermain keyboard.
“Sudah mulai mi, ayo kita mulai!” Rais mengagetkanku. Jajaran Gubernur dan pimpinan pondok memasuki aula. Seorang santri yang kukenal bersuara merdu muncul dari balik tirai dibelakang panggung. Ia menyanyikan syai’r Ya Badrotim seiringan dengan permainan keyboardku dan Rais. Tepukan rebana menghiasi tarian nada dan irama lagu.
“Ayo Surya, kita dilihat mi sama gubernur!” ucap Rais sedikit berteriak. Matanya tetap tertuju pada tuts keyboard.
Aku hanya tersenyum sambil sedikit tertawa. Acara ini mengundan decak kagum para penonton. Alunan lagu yang berisikan syair shalawat nabi menyeruak keseluruh sudut ruangan. Beberapa penonton mengikuti lagu klasik ini.
***                  ***                  ***
“Kemana Rais akh? Biasanya sama kamu?” Trias menanyaiku. Teman-temanku sedang berkumpul diteras asrama. Seperti biasa kami menghabiskan waktu lenggang setelah belajar malam dengan berbincang sambil menyeduh segelas kopi.
“Abis penampilan minggu kemarin katanya dia ada acara keluarga Yas, ada nikahan gitu,” ucapku. Secangkir kopi hangat keseruput dalam-dalam.
“Ohh, keren banget kemarin ente, banyak penonton dari pondok puteri tuh yang nanyain kamu,” tukas Trias sambil tersenyum meledek. Aku hanya tersenyum datar.
“Hahaha, ada-ada aja kamu Hong,” kataku. Trias yang bermata sipit itu memang biasa dipanggil Ahong oleh teman-teman seangkatan.
Tiba-tiba terdengar bacaan Surat Yasin dari speaker musholla. Aku dan Trias saling pandang. Tidak biasanya malam-malam begini dikumandangkan Surat Yasin. Dalam peraturannya, Surat Yasin hanya dilantunkan speaker bila ada seseorang yang meninggal. Ustad Rozi menghampiri asrama siswa akhir dan mengangkat suaranya keras-keras.
“Siswa kelas enam berkumpul didepan kantor Pengasuhan!”
Suasana asrama kini sedikit tegang. Teman-temanku yang sudah tertidur dikamar terpaksa keluar dan berkumpul. Pertanda ada sebuah pengumuman penting. Tapi hatiku masih bertanya-tanya, mengapa Surat Yasin dikumandangkan?
Seorang ustad yang kukenal bernama Ustad Saiful keluar dari kantor Pengasuhan. Ia mengenakan sarung dan peci layaknya orang yang hendak shalat. Wajahnya syahdu dan terlihat menahan kesedihan. Suaranya parau, setelah menarik napas panjang ia memberitakan sebuah kabar
“Inna lillahi, wa inna ilahi raji’uun. Telah berpulang, sahabat kita, kawan kita, akhi Rais Kalinggo tadi sore ….”
Ku tertunduk. Suasana malam saat itu begitu hening. Binatang malam seolah enggan bernyanyi seperti malam-malam sebelumnya. Berita ini tentu bukan karangan. Tak terasa air mata menggenangi kelopak mataku.
3 Bulan kemudian ….
“Panggung Gembira mulai latihan malam ini, di Gedung Aligarh. Ana harap antum bisa berlatih dengan gigih. Ingat ini acara terakhir kita di Pondok ini. Kita buktikan kita bisa!” Zulfahmi yang menjadi ketua panitia memberikan arahan sebelum latihan dimulai. Siswa akhir akan menampilkan sebuah acara pensi diakhir masa studi. Kegiatan ini memang diadakan tiap tahun bagi siswa akhir.
Zulfahmi meneruskan “Untuk acara pertama yaitu paduan suara, tempat latihan diruang lima, tapi ….”
“Untuk pengiring paduan suara kita pakai keyboard kan?”
Sejenak suasana hening. Kehilangan personel angkatan memang tidak mudah kami terima dengan cepat. Seseorang yang selalu bersemangat menempuh perjalanan setengah kilometer untuk menempuh ruang kelas. Seseorang yang tidak pernah mengeluh dengan kondisi fisiknya yang sudah rapuh. Seseorang yang mengajariku arti kata “tangguh” yang sesungguhnya. Seseorang yang kini telah istirahat dengan tenang tanpa harus bolak-balik klinik untuk medical check-up.
“Surya …”
“Kamu yang menggantikan Rais ya ….”
Aku masih tertunduk. Kini ku tak bisa menggelengkan kepala untuk menolak. Seketika ku mendengar ada bisikan halus ditelingaku. Menyuruhku untuk melaksanakan tugas yang harus aku gantikan.
“Siap Rais ….”
Suaraku terdengar lirih.

14th February 2012. Cerpen ini ditulis untuk mengenang seorang sahabat tercinta, Alm Rais Kalinggo . 
Pemain keyboard diatas adalah Alm Rais Kalinggo
Armada Masa Depan Kendari 683 diatas Danau Buatan Pudahoa Sultra

Selasa, 13 Maret 2012


Pidato yang menggugah hati....

Jalan Hidup

Bahagia.

Itulah kata yang aku rasakan setelah merenungi apa yang selama ini Tuhan berikan. Kita selalu berlari, mengejar, bahkan menjauh dari sumber kebahagiaan. Padahal kebahagiaan itu berada dalam diri kita sendiri. Dalam relung hati yang paling dalam.

Sebenarnya sulit untuk menentukan jalan yang akan kupilih. Tetapi entah mengapa, ada hal yang selalu membuat ku yakin bahwa apa yang kupilih tidak akan mengecewakan. Pilihan yang aku pilih insya Allah tetap pada pilihan kebaikan. Pilihan bahwa niat ini selalu menghamba padanya. Untuk mengabdi pada orang banyak.

Bismillah Rabb....

Walladzina jahadu fiina lanahdiyannahum subulana wainnallaha lama'al muhsiniina...


Minggu, 11 Maret 2012

Sebuah Lembaran Baru

Rupanya masih banyak hal yang harus aku benahi. Tuhan selalu memberikan hikmah dari setiap kejadian yang digariskannya. Itu bukan karena Ia enggan mengabulkan doa hambanya, atau mengabaikan keinginan hambanya. Tapi Tuhan selalu tahu mana yang terbaik, dan akan segera merubah haluan bila kita ternyata "salah arah".

Setelah mencoba mengerti, mentafakkuri, dan mentadabburi tentang apa yang selama ini terjadi, ternyata banyak hal yang menjadi tanggung jawab kita. Banyak hal-hal kecil yang kadang kita lupakan, dan terlalu merepotkan diri dengan tabdzir akan hal yang tidak membawa manfaat.

Tuhan akan selalu mendengar setiap harapan hambaNya. Dan sebagai hambaNya, layaknya kita memenuhi apa yang selama ini Tuhan inginkan.

Wa an laisa lil insani illa ma sa'a. Wa anna sa'yahu saufa yuro...

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish