Minggu, 22 November 2015

Hello Singapore


Mungkin banyak orang yang sudah sering datang ke Singapura. Memang, lokasi singapura tidak begitu jauh dari Indonesia, bahkan sangat dekat. Sejajar dengan provinsi Riau, membuat perjalanan ke Singapura tidak begitu terasa lama. Tiba di bandara Changi, aku malah merasa begitu jauh dengan Indonesia. Sejak di atas langit, aku melihat dataran kepulauan kecil yang begitu indah, namun berlubang di tengah-tengahnya. Ada pulau dengan hutan yang lebat, namun ada penampakan seperti cakaran yang membuat hutan hijau itu compang camping. Ada pulau dengan ukuran sangat besar, hutan rimba yang begitu indah, namun lagi-lagi terdapat bangunan pabrik di tengah-tengahnya. Entahlah, pulau apa itu namanya. Tetapi, saat pilot mengatakan kita akan segera landing di Changi, aku melihat gugusan pulau kecil dengan padang golf yang ditata sangat rapi dan sedap dipandang. Mungkin yang ini baru Singapura. 

Ya, kembali aku katakana, saat tiba di Changi, aku merasa begitu jauh. Tata kelola bandara yang begitu professional, infrastruktur yang baik, dan pelayanan yang begitu prima, membuatku merasa seolah kita ada di belahan negara yang sangat jauh. Tetapi, aksen Singlish yang begitu kental seolah mengingatkanku bahwa ini adalah Singapura. Ya, negara yang presiden pertamanya adalah seorang keturunan Minangkabau, Padang.

Lagi aku katakan, di sini semua nampak begitu cepat. Eskalator dibuat lebih cepat, orang-orang berjalan sangat cepat, pemeriksaan barang dilakukan dengan tanggap dan cekatan (cepat juga). No words for leyeh-leyeh, no words for woles-woles. Sedikit kaget juga, tetapi lama-lama aku pun sadar bahwa “ini lah yang membuat mereka bergerak lebih maju. Ya, mereka bergerak lebih cepat.”

Di Singapura memang lebih senang jika kita bertujuan untuk wisata mewah, wisata belanja, dan wisata bulan madu. Pemandangan kota yang dibuat cantik, gedung-gedung tinggi nan rupawan, serta pelayanan top adalah pemandangan umum di kota ini. Ya, Singapura adalah negara yang berkembang dari sektor jasa.

Bagi backpacker pemula seperti saya, pemandangan nan cepat seperti ini cukup menguras keringat. Belum lagi saya adalah anak gunung yang tinggal di kota Bandung; kota adem dengan hawa dingin, bandrek hangat dan surabi oncom pedas adalah pasangan klop di pagi hari. Cuaca panas di Singapura memang membuat saya sedikit kewalahan. Hasilnya, naik MRT adalah suatu hiburan tersendiri: AC.

Ya, bagi backpacker seperti saya pun biaya makan membuat saya sedikit geleng-geleng kepala. Setelah mengelilingi Merlion dan foto-foto ala-ala kekinian di depan Marina Bay, Orchard adalah tujuan kami untuk santap siang. Setelah keliling beberapa menit, akhirnya kami memutuskan untuk makan di satu rumah makan yang bernama “Ayam Penyet Ria”.

Ria? Penyet? Ayam? Ya, ini adalah restoran yang dimiliki orang Indonesia. Banyaknya orang melayu dan Indonesia yang tinggal di Singapura menjadi target pasar yang cukup tepat sasaran. Tak aneh, saat duduk di restoran ini, ada banyak wajah-wajah khas Suroboyo, khas Malang, khas Padang, Arab-Melayu, bahkan tampang Sunda seperti saya ini. Kasirnya tetap orang Chinese dan pelayanan tetap berbahasa Inggris. Tapi tetap dengan khas Singapura “How many person laaa?”, “Over there la, that desk over there is dirty laaa,~”

Makan di sini memang harus ikhlas. Dengan ayam penyet yang cukup untuk dimakan di siang dan malam hari, serta minum es jeruk satu gelas, kita harus ikhlas mengeluarkan kurang lebih 10 SGD. Di Bandung, dengan nilai uang 10 SGD, kita sudah bisa memesan nasi box ayam penyet 5 porsi (sudah dengan tahu tempe dan lalapan plus sambal terasi maknyos). Ya, harus ikhlas ya …

Tetapi jangan takut, kalau haus setelah makan, tak usah bingung beli air mineral. Cukup cari keran air minum yang tersedia di banyak titik, atau cari masjid terdekat (sedekat kawasan Bugis :’) ). Di sana air sudah steril dan siap minum. Bahkan di masjid, disediakan dispenser yang ada air dingin sedingin kulkas. Alhamdulillah …

Yang menarik di Singapura adalah kita tidak perlu kaget, tak perlu mencibir, atau tak perlu berdemo besar-besaran karena para orang tua yang sudah lanjut usia masih dipekerjakan. Ada yang menjadi petugas kebersihan, penunggu kamar kecil, petugas penitipan, atau petugas tiket di terminal. Gak perlu. Gak usah sedih. Gak usah bilang “dasar, ke mana anaknya nih? Udah tua begini masih disuruh kerja sampe malem, dasar anak durhaka!” atau bilang “ini bagaimana negara semaju ini orang tua masih harus bekerja?” atau berdemo di depan gedung sate sambil teriak “kita perjuangkan hak para orang tua Singapura, tuntut para kapitalis yang mempekerjakan orang tua di Singapura!” gak perlu mas. Capek. Gak perlu ya.

Di Singapura, para orang tua ini memang sengaja dipekerjakan. Pernah dengar cerita bahwa dahulu ada kabar seorang anak yang menelantarkan orang tuanya di rumah dan tidak diurus? Anaknya sibuk bekerja (karena kebutuhan di Singapura yang tinggi) lalu orang tuanya malah tak terurus?
Mendengar kabar ini, pemerintah lantas membuat kebijakan: orang tua boleh bekerja kembali di posisi yang tidak begitu berat. Memang, terkadang pensiun dianggap seperti “Waahh, aku sudah pensiun, saatnya aku menimang cucu, duduk-duduk di ruang depan sambil baca koran, memotong rumput taman, atau memandikan burung kenari yang aku pelihara”. Wew~ jika pensiunan ini adalah seorang mantan pejabat tinggi negara, bisa saja hal ini terjadi. Tapi, jika kenyataannya adalah bahwa para orang tua ini dulunya bukan pejabat negara, lalu apakah pensiun merupakan masa purnabakti yang menjanjikan kenyamanan? Tentu tidak. Tetapi kenyataannya, tetap bekerja bagi orang tua (orang muda juga) memberikan dampak positif karena tubuh terus bergerak. Malah kalo badan kurang gerak, penyakit gampang tiba kan?

Well, Singapura memberiku banyak pelajaran. Dari cara berjalan, cara bergerak, cara beli tiket, thank you di setiap pelayanan, dan tentunya ANTRE.

Di malam hari, saat kita menuju Bugis untuk naik bus ke Johor Bahru, kita melihat ada terminal kecil di sana. Katanya itu pool bus menuju Johor Bahru. Lalu kita mendatangi loket dan bertanya berapa harga tiket ke Johor Bahru. Tiba-tiba muncul kakek-kakek sambil sedikit membentak “Be queue up, be queue up!” Kita terhenyak sejenak, dan “ooohh” maksudnya disuruh antre. Memang saat kita lihat, ada antrean orang-orang yang hendak membeli tiket. Maafin ya kek, ane kagak tahu …

Antre menjadi budaya di sini. Tak peduli mau berdasi, mau ibu-ibu, mau anak gaul, mau orang kaya, mau pensiunan, mau backpacker, semua kudu antre. Value yang saya rasakan adalah “karena bukan kita yang urusannya harus selalu diutamakan”. Makanya antre. Tapi kalau inget di kota sendiri, kadang adaaaaa aja yang nyempil-nyempil dengan muka cuek tak berdosa seolah-olah manusia polos. Terus nyelak, terus ribut, terus kacau, apalagi kalo di pasar. Mohon maaf sebelumnya, tapi sebagai seorang anak lelaki yang gak bisa terlalu cerewet, biasanya ya ibu-ibu yang suka nyelak di antrean atau kerumunan. Dalihnya sih biasanya “Maaf ya dek buru-buru”, atau di undangan pas prasmanan terus pura-pura polos “Eeehh ibu Mawar, katanya anaknya bla bla bla … (lalu nyelak antrean)” atau “maaf ya dek anak saya udah nunggu”. Yah, kalo di kereta atau bus, memang ibu-ibu pasti aku utamakan dalam perihal duduk. 

Tapi kalo antre, please atulah ….

Anyway, kita naik bus sekarang menuju Johor Bahru. Perjalanan kurang lebih dua jam. Setibanya di kantor imigrasi, lagu mendiang Broery Marantika yang berjudul Jangan Ada Dusta Di Antara Kita terngiang syahdu …

Oh God, How I miss my country (baca: Oh God, lagu kita laris di sini) …


Bersambung ….

Gimana ya skripsi gue ...

Attack COC kaga ada wifi nih :(

Minggu, 15 November 2015

Mengapa Harus Berkelana

Pagi itu, aku sudah siap mengepak barang yang akan kubawa. Awalnya agak sedikit bingung harus menggunakan tas yang kecil atau tas yang besar. Tapi ternyata, dengan batas berat yang hanya 7 kg, tas kecil yang selalu digunakan untuk pergi ke kampus nampaknya sudah cukup. Well, barang-barang sudah siap dan mari berdoa terlebih dahulu.

Pagi sekitar pukul 06.30 aku berangkat ke bandara Husein Sastranegara. Ayahku mengantarku sampai pintu depan bandara. This was my first trip going abroad, and I was curious what would happen once I stepped on the immigration desk, boarding room, and then flying with the airplane. Setibanya aku di bandara, sudah ada Amanda, dan Rully, beserta para orang tua mereka. Satu lagi yang belum datang: Wan Abud Fadil Mohsin Alhadi.

Fadil pun datang, kami pun saling bersalaman dengan para orang tua. Intinya saling menitipkan. Karena perjalanan ini hanya kurang dari dua minggu, secara pribadi aku tidak merasakan haru yang begitu dalam. Apalagi ini trip. Tak apa lah, yang penting doa orang tua selalu menyertai. Amiin.

Kamipun memasuki bandara. Bandara Husein memang tidak besar, tapi alhamdulillah sedang ada renovasi dan pembangunan besar-besaran. Tanpa proses panjang, kami pun memasuki booth imigrasi, memasuki boarding room, dan tanpa menunggu lama, perjalanan kami pun dimulai. Pesawat Air Asia yang akan membawa kami sudah tiba dan siap lepas landas. Singapore, here we come!

Melihat Indonesia dari atas langit sangat menyenangkan. Pulau-pulau kecil yang unik, garis pantai yang luar biasa, serta pemandangan hamparan laut menjadi eksotisme negaraku ini. Ini memang bukan penerbangan pertama, tetapi ini adalah penerbangan pertamaku ke luar negeri. Para penumpang pun sepertinya hendak berlibur. Tak lama, hanya kurang dari dua jam, pilot sudah memberi tahu bahwa pesawat akan segera mendarat di bandara Changi. Penerbangan lebih cepat satu jam, Gak tau apa karena pesawat gak macet atau karena cuaca lagi bagus. He he he



Akhirnya, kita pun tiba di Singapura. This is Singapore! Negara dengan luas yang kecil tetapi memiliki infrastruktur yang luar biasa. Meski hanya satu hari di Singapura, ada banyak hal yang aku pahami dan aku pelajari. Dan ini pula lah yang menjadi poin penting mengapa anak-anak muda harus berkelana, setidaknya ke negara tetangga sebelah saja dulu hehehe (dikutip dari beberapa blog)

1. Belajar Bahasa

Sebagai mahasiswa, kita sering sekali mendengar bahwa kita adalah agent of change. Agen perubahan yang dituntut untuk memiliki banyak kemampuan. Di sisi lain, kemampuan bahasa adalah suatu kebutuhan yang sudah tidak bisa dielakkan lagi. Apalagi aku mengambil jurusan bahasa Inggris, practicing my English skill here was the right decision. However, although I have been learning English for more than 4 years, I still need to be more sensitive and responsive to accent and dialect. Singaporean speak English, but, there are some adjustments between their culture and the English language itself; it creates Singlish. Terkadang, aku pun harus selalu bilang "pardon?", atau "can you say that again". Tetapi, secara keseluruhan, bahasa Inggris yang aku pakai dapat dimengerti oleh mereka.

2. Menghargai Waktu

Saat kaki ini melangkah di bandara Changi, menaiki skytrain ke terminal sebelah, lalu menggunakan kereta cepat untuk sekadar menuju Merlion, perlu tenaga ekstra sob. Kenapa? Karena semua harus dicapai dengan jalan kaki. Orang-orang di sini berjalan dengan cepat. Mereka sangat menghargai waktu. Sementara kebiasaan burukku adalah kita masih berleha-leha meski sudah naik motor, lalu berjalan pelan dengan gaya cool karena siapa tau ketemu adik tingkat yang gemes. Mungkin ini hanya persepsiku saja, tetapi, di sini semua nampak serius dengan tujuannya. Berjalan lambat hanya akan menjadi masalah: ketinggalan kereta, telat kerja, dipotong gaji, citra yang buruk. Dari yang awalnya  kita selalu nyantai, kini ritme langkah harus dibuat lebih cepat agar kita berdisiplin dengan waktu kereta.



Masih ada beberapa poin yang ingin saya ceritakan nih, tapi kita lanjut di entry selanjutnya saja ya. Thank you for reading :)

Kamis, 29 Oktober 2015

Sindrom Semester Akhir

Mungkin ini adalah momen di mana banyak mahasiswa tingkat akhir kebingungan. Saat skripsi yang dikerjakan tak kunjung selesai, saat bimbingan sulit dilakukan, dan banyak tagihan yang menguras pendapatan membuat para pejuang skripsi ini kelimpungan. Bagaimana tidak, sang gadis idaman selalu mengatakan bahwa rencana untuk menyempurnakan agama jangan hanya angan-angan. Ya itu semua butuh perjuangan, tetapi, bukankah kita harus menyelesaikaj tugas yang jelas-jelas ada di depan?

Mungkin ini hanyalah salah satu potret yang ada. Di sisi lain, banyak orang-orang yang nekad berbuat sesuai apa yang ia mau dan bekerja sesuai apa yang disukai. Banyak yang lantas menjadikan skripsi bukan prioritas utama, tetapi kewajiban yang pasti selesai. Namun saat situasinya terjal, apakah kita harus diam dan menunggu saja? Atau kita fokus membangun apa yang kita usahakan dan mencoba menuai apa yang kita perjuangkan?

Dan itu pun terjadi padaku sekarang. Apakah aku harus terus bersabar dan hanya menunggu? Atau berbuat dan bekerja sesuai passion yang aku suka?

Well, jawabannya adalah, mari kita keliling dunia dulu saja. Tunggu kisah selanjutnya ya ... Pagi ini aku menulis di kamarku, mungkin minggu depan aku sudah menulis di dormitori atau pinggiran Angkor Watt. Hehhe 


Rabu, 28 Oktober 2015

Kopi dan Skripsi

Yeay, akhirnya ...

Akhirnya bisa kesampaian menulis di kedai kopi sambil mengerjakan skripsi. Entahlah, mungkin ini salah satu keinginan sederhana yang sangat aku nikmati. Duduk ditemani kopi susu, musik yang asyik, dan juga tugas akhir yang harus dikejar. Semua berpadu menjadi suatu suasana yang nyaman.

Ya, ini adalah salah satu terapi sebenarnya. Karena mengerjakan tugas akhir di kamar yang sempit, dihalangi oleh dinding dan tentunya sendirian sedikit menyiksa. Meski jaringan wi-fi di rumah lebih kencang, suasana perempatan Braga dan hangatnya para pengunjung lain tidaklah tergantikan. Ya, Wiki Koffie jadi kedai yang sangat tepat. Dulu, aku duduk di sini saat menyelesaikan tugas terjemahan dari Naver Line. Tapi sekarang, aku kembali duduk untuk mengerjakan skripsi.

taken by me

Sebelum memulai tugas akhirku, ada sedikit cerita yang ingin aku bagikan. Cerita sederhana sebetulnya, hanya buah pikiran setelah sering berdiskusi dengan teman dari berbagai komunitas.

Saat itu aku sedang duduk di rumah Tria, lalu aku ditelpon oleh teman dari komunitas Sabalad, Pangandaran. Namanya kang Ai. Aku diajak untuk mengobrol tentang berbagai hal. Intinya sih silaturrahim. Kang Ai mengajakku mengobrol di daerah Gazibu.

Setibanya di daerah cisangkuy (karena gazibu sedang ramai karena banyak razia), aku lalu duduk bercengkrama. Ada teh Lina selaku perwakilan dari International Indonesia Working Camp. Obrolan pun dimulai. Sebetulnya hanya obrolan sederhana tapi berbobot.

Saat itu Kang Ai menanyakan padaku bagaimana tugas akhirku. Teman-temanku yang lain dari Unpad sudah pada beres dan lulus, hanya aku yang duduk di angkatan 2011 yang masih berkutat dengan skripsi. Aku jawab saja, masih bab 3.

Kang Ai lalu bilang "Gausah dulu banyak gaya dan sombong kalau skripsi saja belum beres" dengan nada bercanda.

Ya, akupun mengiyakan. Jangan dulu sombong atau banyak tingkah kalo skripsi saja belum beres. Skripsi memang tugas akhir yang menjadi mata kuliah, tetapi mengerjakannya butuh perjuangan.

Mengapa skripsi begitu penting? Saya bisa saja berpikir sedikit oportunis, pragmatis, atau bahkan naif. hahaha .... Isi skripsi sebetulnya ya bisa dibilang sama saja. Sama buat saya yang mengambil jurusan bahasa. Isi skripsi ga akan jauh dari metode mengajar, evaluasi, analisis teks, dan berbagai cabang linguistik yang lain. Isinya pun bisa dibilang sama saja. Mungkin judul yang aku tulis sudah pernah dimuat oleh orang lain, hanya saja lokasi dan fokus sedikit berbeda. Jadi apa yang membedakan?

Tanggung jawab.

Tanggung jawab dalam proses penulisan skripsi lah yang membedakan. Saya sadar akan hal itu. Skripsi untuk jurusan bahasa memang (perlu diakui) tidak serumit jurusan kimia atau fisika nuklir hehehe. Tetapi, proses penulisan yang melibatkan integritas dan kejujuran itulah yang membedakan. Banyak mahasiswa yang menggunakan jasa joki agar skripsinya cepat lulus. Ada yang beralasan sudah malas, sudah tua, sudah mandek, dan bla bla bla ...

Saya berpikir, apakah jika lantas skripsi kita selesai, lalu mendapatkan pengakuan, apakah kita bisa berbangga saat kita ingat bahwa skripsi kita dikerjakan oleh orang lain?

Sekarang pergerakan mahasiswa begitu bervariasi dan unik. Ada yang fokus di bidang politik, ekonomi kreatif, pergerakan, pemuda, pariwisata, dan berbagai isu yang hangat untuk dijadikan fokus kegiatan. Gak jarang pemuda menjadi sangat idealis. Tetapi, kalau ingat skripsi kita dikerjakan orang lain, apakah kita masih bisa seidealis itu?

Bukan bermaksud menggeneralisasi, tetapi memang potret yang ada seperti itu. Bisa saja kita terus menggaungkan mahasiswa sebagai agen perubahan, tapi jangan sampai agen kita ini malah su'ul khatimah (berakhir buruk) karena skripsi yang sebetulnya menjadi tolak ukur tanggung jawab dan kejujurannya malah dikorbankan hanya karena alasan "sudah capek".

He he he he

Kopi itu pahit, tapi sepahit-pahitnya kopi, kita bisa memadu-padankannya dengan bahan lain sehingga terasa nikmat.
Skripsi itu pahit, tapi sepahit-pahitnya skripsi, kita bisa memadu-padankannya dengan pengalaman dan pekerjaan lain sehingga terasa nikmat.

Yuk lanjut skripsian ....

di @wikikoffie

maaf bercampur antara saya dan aku ....

taken by me

Selasa, 27 Oktober 2015

Kembali Menulis

Sebenarnya ini adalah hal kurang baik. Mengapa? Karena menulis dalam benakku hanyalah kegiatan yang dapat dilakukan saat kosong dari berkegiatan. Lalu apakah sekarang ini kosong? Jawabannya tentu tidak.

Ada banyak kesyukuran yang aku alami sejak aku berhenti menulis. Kalau dilihat, tulisanku terakhir ada pada tahun 2012. Ya, mungkin blogku ini sudah menjadi ruang gelap berdebu yang dipenuhi dengan sarang laba-laba. Hehehe. Tetapi, aku meninggalkan kegiatan yang menyehatkan ini bukan karena malas. Tapi karena banyak petualangan yang aku alami.

Saat 2012 aku masih duduk di semester 3. Saat aku masih begitu ambisius dan masih merasa sedikit kecewa karena fakta kuliah yang aku rasakan bukan seperti yang aku idamkan. Saat masih duduk di bangku pesantren, aku selalu membayangkan bahwa kuliah adalah dunia akademis yang begitu dinamis. Dipenuhi dengan nuansa diskusi dan debat, membicarakan permasalahan masyarakat dari sisi sosial dan politik, lalu aktif turun ke lapangan membuat sedikit perubahan. Tapi ternyata, jurusan yang aku ambil tidak mengajari hal itu secara langsung. Aku banyak dihadapkan dengan materi bagaimana menjadi guru, membuat silabus, memahami kurikulum, membuat RPP, dan tentunya membuat evaluasi. Saat itulah pandanganku pada dunia kuliah sedikit bias.

Di situlah aku berubah pikiran. Lebih baik menyibukkan dengan berbagai kegiatan yang membuat pikiranku terbuka luas. Di sinilah aku memulai petualangan. Saat semester tiga, aku mencoba mengikuti kegiatan Model United Nations yang diadakan oleh Kemenlu. Bertempat di Asia Afrika, nuansa internasional begitu kental terasa. Kami berdebat seolah kami adalah para wakil negara yang sedang ruwet memikirkan berbagai masalah. Faktanya, aku hanya duduk diam dan sama sekali tidak berbicara di hari pertama. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku bukan anak HI meski ingin sekali kuliah di HI. Tapi aku bersyukur karena di sebelahku, Bang Sabir, anak HI Unhas, memberi tahuku tentang sistem dan teknik persidangan. Ya, inilah pelajaran pertama. Inilah tempat yang dulu aku idamkan.

Masuk di semester tiga pula, aku mengikuti kegiatan MUN yang sama, yaitu Diponegoro Model United Nations. Bekal yang aku bawa sejak ikut MUN di NuMUN (Nusantara MUN) kini mendorong diriku untuk memahami MUN lebih baik. Alhamdulillah aku mendapatkan Best Delegates saat itu. Meski aku sadari bahwa yang mengikuti DMUN bukanlah anak-anak HI yang sudah pergi ke luar negeri seperti saat aku mengikuti NuMUN. Ya, di sana hanya aku yang sudah berpengalaman. hehehe.

Tak apa, toh prestasi ini mendorongku untuk mengikuti kegiatan lebih banyak. Masuk semester empat aku mengikuti lomba pidato di Unpad. ALSA UNPAD tepatnya. Dan dari sana pula aku mendapatkan juara 2. Jujur, rasa percaya diriku semakin bertambah. Hingga inilah yang mendorongku untuk mengikuti MUN kembali di UI. Lalu mengikuti ALSA kembali di UI. Intinya, hampir tiap semester aku selalu pergi ke luar. Jatah bolos tak pernah aku sia-siakan. hehehe

Masuk semester lima, aku lebih betah di kampus. Terpilih sebagai ketua himpunan membuatku lebih banyak tinggal di kampus. Tapi aku bersyukur pula karena dari situ aku diterima sebagai salah satu penerima Beswan Djarum. Ya, lagi-lagi jatah bolos tak akan aku sia-siakan.

Masuk semester enam, aku lebih asyik di dunia wirausaha. Program PMW yang aku impikan sejak mahasiswa baru kini aku raih. Alhamdulillah usaha skala mahasiswa yang aku jalani ini berjalan baik. Hingga memasuki semester 7, aku masih menjalankan usaha ini.

Semester 7 aku coba menjajal kemampuan di dunia kedutaan. hehehe. Ya aku mencoba untuk daftar di Duta Bahasa Jawa Barat. Setelah melewati proses yang sangat panjang, aku mendapatkan juara 1 dan mewakili Jabar ke tingkat nasional. Mimpiku tercapai! aku mewakili Jabar ke ajang nasional. Dan di sana aku mendapatkan juara harapan 3. Akhir tahun aku mencoba mengikuti lomba fahmil quran di Telkom. Dan alhamdulillah untuk regional Jabar aku mendapatkan juara 2.

Masuk semester 8, kesibukan usaha, PPL, dan skripsi sangat menyita waktuku. Semester 8 nampaknya aku harus sedikit bersabar karena PCMI yang sejak lama aku usahakan tidak berhasil menjadi pencapaianku. Tak apa-apa. Semoga menjadi pelajaran bagiku.

Masuk semester 9, kini aku hanya berkutat dengan skripsiku saja. Tentu ini adalah bagian yang paling menantang bagiku. Karena jika skripsi terus berlarut-larut, aku susah bergerak. Banyak program di depan yang menantiku dan aku ingin mencapai itu kembali.

Mungkin ini pula alasan mengapa aku tidak kembali menulis. hehehe. Terkadang terharu juga jika membayangkan bagaimana saat masih semester muda dulu berjibaku di berbagai kegiatan. Niatku menulis bukan untuk pamer atau riya. Aku hanya ingin refleksi, melakukan self-healing karena selama ini aku selalu merasa bingung. Selalu merasa bahwa apa yang aku lakukan sekarang mengurung kreatifitasku. Semoga skripsi ini cepat selesai, setelah itu, mari kita berpetualang lagi!

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish