Senin, 26 Desember 2011

DPD Dari Rakyat Untuk Rakyat

DPD adalah salah satu lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi memberi usul dan mengawasi undang-undang yang berjalan. DPD adalah perwakilan putra-putri terbaik daerah yang didelegasikan untuk berperan aktif di kancah perpolitikan nasional. Putra-putri terbaik bangsa yang diamanahi tanggung jawab dan harapan besar oleh daerah asal mereka.  Sudah menjadi kewajiban bagi anggota DPD untuk memberikan kontribusi nyata bagi daerahnya meski dalam waktu yang hanya lima tahun. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang menurut penulis harus menjadi perhatian penting bagi anggota DPD dalam memberikan sumbangsing bagi daerahnya. 

Jika penulis berkesempatan untuk menjadi anggota DPD, ada hal-hal yang akan penulis utamakan dalam memberikan sumbangsih nyata bagi daerah yaitu :
  1. Anggota DPD harus memiliki mindset membangun. Tanggung jawab sebagai anggota DPD bukan hanya untuk andil dalam perpolitikan nasional tetapi anggota DPD harus memiliki visi membangun daerah asalnya. Peran yang diemban bagi anggota DPD adalah untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang tinggal di daerah agar didengar oleh para pemimpin bangsa yang duduk dikursi yang lebih tinggi. Agar tercipta masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
  2. Anggota DPD harus berjuang untuk mengembangkan pendidikan daerah. Pendidikan adalah cara terbaik dalam membangun masyarakat yang cerdas dan terdidik. Anggota DPD harus betul-betul paham bahwa pendidikan di Indonesia saat ini kurang merata baik kualitas maupun kuantitas. Lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan pengajaran tambahan hanya ada di kota-kota besar. Kualitas pendidikan dikota kecil tentu sangat berbeda dengan kualitas pendidikan dikota besar. Juga jumlah sekolah didaerah sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah sekolah yang ada di daerah. Maka anggota DPD harus berperan aktif dalam menyuarakan pendapat untuk pengembangan pendidikan didaerah. Penataran guru-guru, beasiswa, subsidi silang, agar dapat dirasakan oleh masyarakat daerah diseluruh negeri ini.
  3. Anggota DPD harus betul-betul memperhatikan kondisi ekonomi daerah. Pengadaan lapangan pekerjaan dan penyuluhan kewirausahaan menjadi poin penting dalam membangun daerah. Wirausaha menurut penulis adalah solusi yang baik dalam membangun ekonomi daerah. Banyak kekayaan alam didaerah yang mampu diolah menjadi produk yang memiliki nilai jual tinggi. Tidak cukup disitu, masyarakat daerah harus diberikan pelatihan dan penyuluhan dalam berwirausaha. Kelemahan masyarakat daerah yang sering terjadi adalah mereka tidak mampu bersaing di pasar dalam menjual produk yang ditawarkan. Mereka kalah bersaing dengan perusahaan asing yang memiliki kekuatan modal lebih besar. Dari sini pula anggota DPD harus berjuang keras agar produk lokal negeri ini mampu bersaing dipasar dengan cara menyuarakan pendapat agar kebijakan ekonomi berpihak pada pengembangan ekonomi daerah. Dan dari wirausaha inilah akan banyak menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran serta mencegah arus urbanisasi.
  4. Kekayaan alam daerah mampu menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ditempat-tempat wisata. Anggota DPD agar mampu berjuang untuk menyuarakan aspirasi yang berbuah kebijakan dalam pengembangan potensi wisata daerah. Pengadaan fasilitas, keamanan, serta penyediaan transportasi agar menjadi prioritas dalam pengembangan wisata daerah lokal.
Poin-poin diatas menurut penulis merupakan hal-hal penting yang patut diperhatikan dalam membangun daerah di Indonesia. Anggota DPD sepatutnya memiliki perhatian khusus dalam membangun daerah tidak hanya mengawasi roda pemerintahan. Karena anggota DPD ada dari rakyat untuk rakyat dan demi rakyat daerah.

Sabtu, 24 Desember 2011

SEDEKAT DENGANNYA


“masa iya Renald deket ama seseorang”
“Iyaa aku denger dari temen aku, katanya dia lagi deket ama seseorang”
“Siapa ya orang yang beruntung itu?”

Sejak tersiarnya kabar burung tentang kedekatan salah satu idola kampus, para wanita mulai kasak-kusuk mencari informasi tentang siapakah orang yang dekat dengan sang idola. Idola yang sangat populer dikalangan wanita seantero jurusan. Bahkan tidak sedikit senior yang mengidolakan dan rela menjual muka demi meminta foto bareng atau sekadar ngobrol-ngobrol ringan. Sekilas sang idola hanya lelaki biasa. Tetapi suara romantisnya ketika membawakan salah satu acara di stasiun radio membuat namanya melambung. Suara berat dan kata-kata romantis yang muncul dari mulutnya membuat siapapun yang mendengar akan luluh dan jatuh hati. 

Mungkin kata-kata itu hanyalah sedikit gambaran betapa banyak wanita di kampus yang memuja keistimewaan seorang Renald. Namanya Renaldy Ashraf. Lelaki dengan badan tidak terlalu tinggi dan juga tidak bisa dikatakan pendek. Tinggi 172 cm mungkin kalah bila dibanding dengan pemain basket. Kulitnya pun tidak begitu putih. Bila dibandingkan dengan artis korea mungkin akan sangat jauh perbedaannya. Meski demikian ia gagal untuk dibilang hitam atau sawo matang. Sepintas tidak ada yang istimewa, tapi banyak wanita yang takluk dengan senyum, lirikan, dan suara berat Renald. Ia terkenal dengan gaya casual yang tidak begitu banyak menambah aksesoris. Bila dibandingkan, banyak pria yang lebih gaya, atau lebih tampan dari dia. Dan ternyata, para wanita ternyata lebih terpesona dengan Renald yang apa adanya

“Dia tuh cuek, gak banyak gaya, tapi senyumnya ituloh”
“Kalo dia udah ngomong, duuuhh, bikin gereget deh suaranya”
“Banyak sih yang lebih ganteng, tapi tetep deh aku milih Renald” 

Ternyata sang idola hanyalah mahasiswa semester tiga jurusan komunikasi di salah satu universitas negeri di negeri ini. Dia memulai karir sebagai penyiar radio sejak tiga bulan yang lalu. Awalnya ia termasuk jajaran pria “biasa” yang tidak populer dikalangan mahasiswa. Tapi setelah prestasi yang ia capai, namanya meroket dan melambung ke angkasa.  Ia pun hanya diam dan cuek ketika melihat tingkah beberapa teman wanita yang baginya mulai bertingkah aneh. Ia hanya berbicara ketika ia perlu. Dan juga akan tertawa, bercanda, dan kadang berbuat hal gila ketika ia perlu.

Dan yang paling geger mendengar kedekatan Renald dengan seseorang yang masih misterius ini adalah Silvi. Mahasiswi yang terkenal dengan kecantikannya dan seringnya ia muncul di beberapa majalah remaja. Bahkan tak jarang ia membintangi beberapa iklan dan produk kecantikan. Cantik dan sempurna. Itulah komentar para pria bila ditanya tentang Silvi. Bahkan beberapa mahasiswa rela mengerjakan hal bodoh demi mendapat sedikit perhatian darinya. Silvi hanya menanggapinya dengan mendelik. Meski jelas ia merendahkan lelaki yang meminta perhatian darinya, si lelaki akan dengan bangga dan mengatakan

“Gue diliat ama Silvi !!”.

***      ***      ***

Silvi sang primadona masuk kelas dengan gusar. Ia mendengar dari temannya bahwa Renald akan pergi dan tidak kuliah untuk suatu urusan.  Dan yang membuat ia sangat gusar adalah Renald pergi untuk mendekati seseorang itu. Ia tak habis pikir. Sejak mulai masuk kuliah, ia tak pernah segila ini demi mendapatkan perhatian seorang lelaki. Tapi kini ia harus menjual segala gengsi dan egonya hanya untuk sedikit perhatian. 

“Kenapa Vi ? bete amat” Sarah teman dekat Silvi bertanya

“Kemana sih tuh anak, ngilang ga jelas gitu” Silvi mengikatkan rambut panjangnya kebelakang. Beberapa lelaki yang lewat kelasnya berhenti dan tersenyum padanya. Silvi hanya diam.

“Oh, Renald?” 

“Iya”

“Aneh yah tuh orang, dideketin ama kamu koq gak mau” Sarah mencoba berkomentar. Meski didalam lubuk hatinya, ia juga mengagumi Renald diam-diam. 

“Kenapa sih tuh anak, gila ya?” 

Silvi terdiam. Ia memikirkan apa sebenarnya yang terjadi dengan Renald. Terakhir ia ngobrol ketika makan siang di kantin jurusan. Sebenarnya percakapan itu adalah percakapan yang memukul batin Silvi. Sebuah percakapan yang membuat Silvi gusar dan kesal bukan main. Baru kali ini Silvi dijatuhkan oleh seorang lelaki dan diragukan kecantikannya. Renald sama sekali tidak menggubris perasaan Silvi dan dengan dingin mengatakan

“Kamu cantik modal duit”

Singkat namun dalam bukan main. Silvi memang orang kaya. Bapaknya adalah salah satu manager di perusahaan ternama di negeri ini. Ibunya adalah seorang dokter disebuah rumah sakit internasional. Namun sungguh Silvi memang terlahir dengan kecantikan alami dan sempurna. Hanya Renald tahu bahwa selama ini Silvi memasang dirinya dengan kelas tinggi. Dan enggan bergaul dengan orang-orang “biasa”. Mungkin itu yang Renald tidak suka darinya. Silvi dinilai angkuh oleh Renald.

“Aku bener-bener penasaran siapa orang yang deket ama Renald itu” Silvi menaikan suaranya.

 Dosen matakuliah pada jam ini  tidak masuk karena suatu alasan. Suasana kelas cukup ramai meski tidak berisik atau bising. Banyak mahasiswa yang hanya mengobrol atau sekedar baca-baca.

“Demi orang itu, Renald rela meninggalkan kuliah buat dua minggu” Silvi menyambungkan

“Trus kamu mau gimana vi?, orang Renaldnya juga ga masuk”

“Gue harus ngusut siapa aja yang deket ama Renald seminggu terakhir ini”

Silvi menemukan ide. Ide gila tepatnya. Ia berencana untuk mengusut dan mengintrogasi siapa saja yang selama ini dekat dengan Renald. Mengapa Renald rela meninggalkan kuliah deminya. Dan tentu senjata ampuh Silvi untuk menilai kelayakan orang itu, seberapa cantikkah orang itu dibanding dia. Silvi keluar kelas, dan bergegas menuju kelas lain di lantai dua. Ia melancarkan aksinya dan mulai menanyai orang-orang yang menurut dia memiliki kedekatan dengan Renald. Silvi beranggapan Renald menyukai perempuan yang labih cantik dari dia. Dan  target selanjutnya adalah Farah,  teman satu jurusan, namun masih satu divisi dalam kepengurusan himpunan. Silvi menemukan mereka tengah mengobrol di selasar kantor jurusan dan sempat saling tertawa. 

***      ***      ***

“Bener kamu gak tau dia kemana?” Silvi membawa Farah kesebuah lorong sepi.

“Engg .. enggak tau Silvi, aku cuma ngobrolin dosen waktu itu” Farah tergagap menjawab pertanyaan Silvi yang sebenarnya adalah desakan.

“Ya gak mungkin kamu gak tau, orang jelas aku ngeliat kalian ketawa gitu” Silvi mulai menekan Farah.

“A .. a.. aku gatau Silvi, bener, tapi pas Renald ngobrol ama aku, katanya dia lagi nyari Karin, ada yang mau diomongin .. gi .. gitu” Farah mencoba melepaskan diri dari desakan Silvi, tapi pegangan erat Silvi di lengannya tak mampu membuatnya bebas. Farah adalah orang ke tujuh yang diperlakukan seperti ini oleh Silvi.

“Karin? Anak kelas A3?” 

“I .. Iya, Karina “

Silvi terdiam sesaat. Meski tangannya belum lepas dari lengan Farah, Silvi seperti menemukan harapan agar dapat tahu kemana Renald pergi. Karin memang termasuk perempuan cantik di kampus. Karin adalah seorang penyiar radio juga seperti Renald. Silvi meyakinkan diri bahwa perempuan yang selama ini dekat dengan Renald adalah Karin. 

“Oh gitu, oke, kalo kamu tau info lagi,  cepat kasih tahu aku” Silvi melepaskan genggamannya.

“Hmmm, iya iya, nanti aku kasih tahu” Farah cepat-cepat bergegas, dia tak ingin kembali dalam keadaan terdesak.

Sang primadona pun bergegas menuju tujuan selanjutnya. Kelas A3. Kelas dimana Karin belajar. Langkah gusarnya membuat beberapa orang yang sedang duduk diselasar gedung jurusan -menyingkir. Mereka tentunya tak ingin tertabrak, tertendang, dan ujung-ujungnya bermasalah dengan sang primadona. Langkah gusar Silvi telah sampai dipintu kelas. Matanya menyapu seluruh ruangan dan mencari seseorang yang sedang ia cari. Dan ... Karin sedang duduk dikursi dan matanya fokus pada notebook didepannya. Silvi bergegas mendekati Karin. Tanpa basa-basi Silvi menarik tangan Karin dan menyeretnya keluar kelas

“Apa-apaan sih lu? Permisi dulu dong” Karin tampak menahan diri. Ia membetulkan posisi notebooknya yang hampir jatuh lantaran tangannya tertarik-tarik. Ia masih duduk dikursi dan enggan beranjak.

            “Gue pengen ngomong bentar, ikut gue cepet” Silvi menaikan nada bicaranya, anak-anak seisi kelas spontan memperhatikan dua perempuan yang tampak mulai menegang.

“Yaudah sih bilang langsung aja disini, pake acara narik-narik segala” Karin tampak tak mau kalah. Bagi Karin, mengikuti apa yang dimau Silvi bukanlah kepentingannya. Karin memang tipikal perempuan keras. Sang juara satu Karate nasional mungkin akan sulit  untuk dibujuk.

“Fine ! ...Gue pengen nanya ama lo, dimana Renald sekarang, gue denger dia terakhir ngobriol ama lo? “ Silvi sepertinya tak mampu menyeret Karin keluar.

Karin sedikit terhenyak. Karin tak mengira Silvi akan menanyakan hal itu padanya. Dilubuk hati yang paling dalam, Karin memang menyukai Renald juga. Alasannya, bukan seperti perempuan kebanyakan dikampus yang mengelu-elukan ketenaran Renald. Tapi Karin kenal baik dengan ia tahu apa yang Renald alami. Dan saat terakhir Renald berbincang dengan Karin, Karin tahu apa yang memang Renald cari saat ini. Renald tak mencari popularitas, ketenaran atau bahkan pengagum seperti apa yang terjadi sekarang. Dan alasan Renald akan hal itulah yang membuat Karin begitu bersimpati pada Renald. Karin memang tidak secantik Silvi, tapi Karin juga memiliki pesona seperti Silvi. Karin manis. Setelan rapi dan tidak banyak beratribut membuatnya tampil apa adanya. Meski ia seorang atlet karate, sisi kewanitaannya tidak hilang. Ia tetap anggun dan menawan sebagai seorang perempuan. 

“Emang mau kamu apa dari dia?” Karin mulai menurunkan nada bicaranya, tidak setinggi tadi.

“Bukan urusan lo, sekarang gue nanya dan gue cuma butuh jawaban dari lo !” tampaknya sifat tempramen Silvi mulai naik. 

“Ya bukan urusan lo juga dong tentang Renald, kenapa lo nanya ke gue” ternyata darah karate nya mulai naik  ke ubun-ubun. Beberapa lelaki dikelas mulai beranjak dari duduknya, khawatir akan terjadi perang dunia ketiga. Mereka mendekati dua perempuan yang sedang berselisih paham.

“Lo tinggal bilang kan dimana dia, kasih tau ke gue nomer yang bisa gue hubungi gitu aja susah amat” Silvi menyilangkan kedua tangannya. Silvi sebenarnya takut kalau emosi Karin menaik. Silvi tahu Karin seorang atlet. Tapi kecerdasan Silvi mengatur gestur membuatnya tampak santai dan tidak gugup.

“Yaa mana gue tahu, Renald cuma bilang kalo dia mau rehat kuliah, that’s all” Karin memberi jawaban diplomatis. 

Silvi tercengang, ia semakin penasaram akan apa yang dimau Renald. Rehat  kuliah? Silvi tak percaya Renald akan mengambil keputusan itu. Kecuali Renald memang memiliki alasan yang kuat. Silvi terdiam. Ia tak tahu apa yang harus ia tanyakan.

“Kalo lo emang mau hubungin dia, gue ada nomer pamannya di Madiun” Karin tampaknya mulai paham apa yang dimau sang primadona.

“Berapa?” Silvi mendapatkan harapan.

 “08562069783 .... Pak Hardi” Karin memeberikan nomer itu pada Silvi. 

“Makasih Rin” Silvi menurunkan nada suaranya. Para lelaki yang semula bersiap membuat barisan perdamaian kembali duduk ketempat semula. Silvi keluar kelas Karin. Membiarkan Karin yang duduk dikursi dan kembali berkutat dengan motebooknya. 

*** *** ***

Silvi pulang dengan memilih menaiki bus DAMRI dan tidak menelpon supir pribadinya untuk menjemput. Silvi duduk didekat kaca. Debu yang menempel tidak membuatnya risih. Ia memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Silvi masih kacau dan penasaran apa sebetulnya yang dimau oleh Renald. Silvi sadara bahwa kini Silvi bukan hanya menyukai Renald tapi teramat sangat mencintainya. Perkenalannya dengan Renald di awal MOKA sudah membuat Silvi tertarik dengannya. Memang Renald dulu tidak seperti sekarang yang digandrungi banyak wanita. Silvi dulu juga tidak seperti sekarang. Renald dulu tetap Renald yang apa adanya, tidak banyak gaya, dan cenderung penyendiri. Tapi Silvi merasakan Renald adalah seseorang yang sangat berati bagi hidupnya. Interaksinya di dunia maya membuat Silvi lebih mengenal siapa Renald sebelum orang lain tahu. Renald adalah seorang yang puitis dan melankolis. Namun disisi lain, ia gemar bergaul dan aktif seperti seorang sanguinis.  Renald selalu ceria dan senang bergaul dengan siapa saja. Ketertarikan Silvi pada Renald mulai tumbuh dari hal yang simpel. Namun bagi Silvi, itu adalah hal yang jarang ia dapati dari lelaki lain.

“Alasan kamu kuliah disini apa Nald?”

“Biar bisa bermanfaat buat orang lain”

Percakapan singkat tapi memiliki banyak arti. Sejak perkenalan itulah sebetulnya Silvi telah menyukai Renald dengan alasan yang berbeda. Tapi Silvi tak mengerti mengapa Renald begitu menjauh darinya dan sering memberikan kata-kata tajam yang membuat hati Silvi menangis. Memang Silvi sadar perubahannya terpengaruhi oleh pergaulan dia di dunia erntertainment dan modelling. Sejak Silvi memutuskan untuk aktif didunia model, Renald mulai berubah dan menjauhinya. Renald bukanlah tipe cowok yang suka memaksa perempuan untuk mengikuti kemauannya. Tapi Renald akan berubah dan berbeda perlakuannya pada perempuan yang tidak “sreg” dengannya. Silvi menyadari hal itu terjadi padanya sekarang. Silvi dulu adalah perempuan lugu, manis, dan disukai banyak orang karena keramahannya.

 Semenjak semester tiga Silvi terjun di dunia model, mengikuti banyak iklan produk kecantikan dan sering tampil di televisi. Mulai saat itulah Renald menjauhi Silvi dan terjun dalam dunia kepenyiaran dan broadcasting. Renald semakin menjauh dan jarang berkomunikasi dengan Silvi. Silvi pun mulai menaikan prestise dan gengsinya sebagai bintang. Dan Renald mulai naik popularitasnya sebagai penyiar radio. Tapi itu tidak membuat komunikasinya berjalan baik dengan Renald.  Dan kini, Renald hilang bagai ditelan bumi. Tak ada yang tahu Renald kemana. Hanya kabar burung tentang rehatnya saja yang tersiar seantero jurusan.

*** *** ***

Adzan subuh berkumandang. Ia mengambil peci dan sejadah lalu menggantungkannya dibahu. Ia bergegas menuju tempat wudhu di sebelah masjid. Air dingin menyapu wajahnya. Ia menyelesaikan wudhunya dan masuk ke masjid lalu menggelar sajadahnya.  Kedua tangannya diangkat sambil mengucapkan takbir dan menaruhnya diatas dadanya. Ia menunaikan solat qobliyah subuh. Solat yang para ulama mengatakan memiliki pahala seluas langit dan bumi. Shalat yang dulu ia jarang lakukan. Dan selepas salam, ia beranjak menuju shaff terdepan dan duduk menunggu iqomah dilafazkan. Ia berdzikir dan mengagungkan asma Allah. Matanya terpejam tapi hatinya terbuka dan terbangun. Selepas iqomah dilafazkan, ia pun solat berjamaah bersama para jama’ah lainnya. Kicauan burung dan kokok ayam menambah suasana khusyuk. Disaat orang-orang tertidur, mereka terbangun dan menunaikan kewajiban sebagai hamba yang rendah dihadapanNya. Memenuhi perintah dan anjuran Tuhan.

Selepas menunaikan solat subuh, Ia kembali kekamarnya dan duduk didepan meja belajar sambil mengambil sebuah buku yang belum selesai ia baca sejak semalam. Matanya menari diatas kata-kata yang terukir, namun pikirannya melayang jauh entah kemana. Ia membuka halaman awal buku tersebut dan membaca tulisan yang tertulis indah dan rapi

“Selamat Ulang Tahun, semoga kita dapet apa yang kita mimpikan, Silviana Dewiyanti”

Buku yang mengingtkannya pada seseorang. Seseorang yang ia sendiri tidak tahu harus disebut sebagai apa. Sahabat? Teman? Pacar? kata ketiga adalah kata yang paling ia benci. Ia tak mau kehilangan seseorang lalu menambah atribut “mantan” bila menyebut namanya. Teman? Ia merasakan hal lain ketika duduk berbincang dengannya. Sahabat? Mungkin ia tak ingin menjadi sahabat biasa dan akhirnya seseorang itu menaruh hati pada orang lain. Lalu apa yang ia inginkan? Ia tak ingin mengganggu orang yang dicintainya itu. Dan ia tak mau orang yang ia cinta harus hancur kelakuan dan kepribadiannya hanya karena mengikuti hawa nafsunya sebagai lelaki. Ia sadar ia bukanlah malaikat yang diciptakan tanpa emosi. Ia tak ingin mengganggu kehormatan dan perasaannya. Meski banyak teman-temannya yang menjalin hubungan satu sama lain, ia tetap banyak menemukan kenyataan pahit. Mereka harus putus dan berubah menjadi orang yang tidak saling kenal. Memang banyak yang berubah menjadi “sahabat” atau “teman baik”. Tapi sejak berkecimpung didunia kepenyiaran dan menyiarkan salah satu program “cinta”, ia sadar bahwa banyak wanita yang sesungguhnya tersakiti oleh pasangannya selepas mereka putus. Banyak yang mengatakan “sahabat” setelah mereka tak kembali menjalin hubungan, namun disaat ia siaran, ia menjadi tempat curhat banyak perempuan via telepon.

Dan kini dia terpaksa menjauhi orang yang ia cintai demi menjaga segala kemungkinan buruk yang terjadi. Meski ia sadar hal ini adalah keputusan pahit, namun ia selalu yakin bahwa segala yang ia mulai dengan niat baik, akan berbuah menjadi kenyataan manis pada waktu yang tepat, bersama orang yang tepat, dan dengan alasan yang tepat. Dan sekarang ia sudah bulat untuk menentukan siapa orang yang akan menjadi pendampingnya, yang menemaninya disaat ia jatuh dan tersungkur, dan yang menyemangatinya dengan penuh kasih sayang. Sebuah keindahan yang dijanjikan Tuhan bila hal itu dilakukan dengan ikatan suci dan sah. Tapi ia sadar, ini bukanlah waktu yang tepat untuk segera mengesahkan ikatan itu. Ada kewajiban yang harus ia penuhi lebih dahulu agar menjadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab. Juga sebuah kewajiban agar ia tidak lalai dalam menunaikan perintah sang Maha Kuasa. Karena ia tahu, cinta yang harus ia penuhi dahulu adalah cinta padaNya. Agar Dia meridhai, dan memberkahi setiap keputusan yang akan ia ambil.

Suasana syahdu begitu terasa di pagi yang cerah ini. Sebagian murid berkumpul di  masjid sembil belajar tilawah dengan Ustadz wali kelas masing-masing. Sebagian lain membersihkan sekeliling masjid dan asrama. Keberadaan Renald ditempat ini bukan tanpa alasan atau pertimbangan. Keputusannya untuk melanjutkan studi di Al-Azhar Kairo telah ia ambil. Dan kini, ia sedang memantapkan hapalan Qur’an dan belajar bahasa negeri Kinanah. Keputusan yang orang tuanya pun tidak setujui. Namun bukan Renald bila ia tidak memiliki kemauan yang kuat.

Ia menutup buku tersebut. Dan mengambil Al-qur’an yang berada di tengah-tengah meja. Ia mulai melantunkan ayat demi ayat. Meresapi firman Tuhan yang dulu banyak ia abaikan. Disetiap segala permasalahan yang terjadi, orang-orang hanya berkutat pada penyelesaian masalah dan enggan berinteraksi pada Ia yang Memberi Kemudahan. Ia menyelami dalamnya bukti kuasa Tuhan pada lafaz yang ia ucapkan. Sebuah petunjuk hidup yang selalu manusia abaikan, dan lebih memilih membaca buku sejarah atau kisah orang-orang yang tidak dipastikan hidup atau tidaknya. Sejenak ia larut dalam tafakkur tiba-tiba ia dikagetkan dengan bunyi ponsel diatas meja belajarnya.

“Assalamualaikum, pakabar Renald, maaf kalo aku ganggu kamu. Udah sebulan kamu gak kuliah dan gak ada kabar pasti. Oke aku ga perlu tahu kamu dimana, dan apa yang kamu kerjakan. Aku cuma mau kasih kabar, aku udah gak aktif di modelling dan yang lainnya. Aku tahu kamu gak suka akan hal itu. Aku ngerti alasannya meski kamu ga pernah bicara sama aku. Kita masih sahabatkan? Atau kamu udah ga anggap aku sahabat lagi? .. heheh anyway, aku cuma ada satu pertanyaan ama kamu, yaaa dijawab atau enggak, gapapa, aku udah siap akan keputusan yang bakal terjadi, so .... kamu lagi deket ama seseorang ya? Hmmm aku cuma pengen jawaban iya atau enggak. Aku ga ada hak buat tahu siapa orang itu. cuma yaa... biar aku ga tersiksa nungguin kamu, dan memendam rasa ini sendirian. Thanks .... Silvi”

Renald tertegun sejenak. Dengan cepat ia membalas pesan singkat tersebut

“Aku lagi dekat ama Allah”

Kamis, 22 Desember 2011

Surat di Hari Ibu

Untuk Ibu tersayang ....


Meski seharusnya ucapan ini tidak kukatakan dihari ini saja, mungkin saat inilah yang ku rasa sangat tepat untuk mengucapkan ungkapan rasa sayang padamu. Kudengar pekik teriakan, kudengar untaian kata, kubaca secarik kertas, kuresapi lantunan syair, dimana semua anak di Bumi Pertiwi ini bersama-sama mengucapkan
"Selamat Hari Ibu ... kami mencintaimu Ibu"

Ibu, anakmu bukanlah anak yang selalu rela membasuh  kedua kakimu selepas kau seharian berpeluh demi mengurus kami. Anakmu bukanlah anak yang selalu rela menemanimu ketika kau kesepian tinggal dirumah. Anakmu bukanlah anak yang selalu patuh atas semua nasihatmu. Tapi bu, anakmu ini adalah anak yang selalu merindukan setiap untaian hangat nasihatmu, anakmu ini adalah anak yang selalu merindukan setiap usapan cintamu, kata-katamu menenangkan kami, pelukanmu menyemangati kami, dekapanmu adalah jawaban disetiap kegelisahan yang anakmu rasakan.

Ibu, telah lama kau mengurus kami. Sembilan bulan kau rela berkorban demi anakmu yang tidak tahu diri ini. Kau mengandung seorang bayi. Tidur dan bangun kau merasa susah. Makan dan minum kau merasa sulit. Namun kau rela melakukan itu semua demi anak yang kini selalu meresahkanmu. Ketika kami sudah tak mampu tinggal dalam rahimmu, kau korbankan jiwa ragamu agar anakmu lahir kedunia. Meski kau berada dalam dua pilihan besar, yaitu hidup dan mati, kecintaan dan kasih sayangmu membuatmu memilih untuk berkorban bersimbah darah. Agar anakmu terlahir kedunia.

Ibu, tetesan darah itu bukanlah tanpa arti, peluh keringat itu bukanlah sia-sia, senggal napasmu bukanlah tak berharga, betapa anakmu kini hanya bisa berbuat semampu kami. Kami sadar ibu, kami tidak akan mampu membalas semua peluh dan jasamu, anakmu terlalu lemah untuk berbuat seperti apa yang telah engkau lakukan. Anakmu masih memerlukanmu ibu, hadirmu adalah semangatku, sungguh apa yang anakmu lakukan, tak akan mampu membalas segala jasa dan kasihmu.

Ibu, disaat kau tertidur, kau rela untuk bangun ketika mendengar tangisanku. Disaat kami lapar, kau rela menyusui meski kau sendiri belum makan. Disaat kami sakit, kau rela mengurusku meski kau sendiri merasa sakit. Ketika kami kedinginan, kau rela menghangatkanku meski kau sendiri merasa kedinginan.

Ibu, disaat kami terpojok, hanya kaulah yang membantuku untuk berdiri. Disaat anakmu terjatuh, hanya kaulah yang membantuku untuk bangkit. Disaat anakmu menangis, hanya kaulah yang mengusap air mataku. Disaat anakmu kesepian, hanya kaulah yang mau menemaniku. Semua kau lakukan tanpa mengharap apapun dari kami. Cinta kasihmu lah yang anakmu rasa patut hamba utamakan. Bukan orang lain, bukan siapapun yang baru anakmu kenal.

Namun kini ibu, anakmu kini terlalu lalai dalam menjalankan tugas kami. Anakmu terlalu banyak bermain dan bercanda ketimbang belajar dan mencari pengetahuan. Anakmu sudah berani melakukan hal-hal yang dulu engkau larang. Anakmu tak peduli pada mereka yang tidak mampu. Anakmu terlalu asyik dengan berbagai kesenangan dan tak peduli dengan sekitar.

Ibu, doakanlah kami yang sedang berjuang demi cita-cita kami.Maafkan kami yang selalu menyusahkanmu. Maafkan kami yang tidak patuh atas nasihatmu. Maafkan kami yang selalu malas dalam belajar. Maafkan segala kelalaian kami dalam tanggung jawab yang seharusnya kami lakukan dengan penuh kesadaran. Kami tahu dan kami sadar ibu. Surga ada dibawah telapak kakimu, dan doamu adalah doa yang paling pertama dikabulkan Tuhan. Semoga Tuhan menjaga dan menyayangimu Ibu, sebagaimana engkau menyangiku sejak kecil. 

Untuk ibu juara satu di dunia ....
WE LOVE YOU MOM

Minggu, 18 Desember 2011

PILIHAN KEDUA



“Tuhan tidak memberi apa yang kau inginkan, tapi Tuhan memberi apa yang kau butuhkan”
Sungguh hari itu tak akan pernah kulupakan. Ketika aku menerima hasil SNMPTN dan ternyata keinginanku untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional Unpad pupus. Sakit? Iya, itu yang kurasa, meski orang tuaku selalu berkata “syukurilah nak”, tetap saja aku belum mau menerima. Kurasa ini  jiwa mudaku yang selalu bergejolak. Tapi untuk hal ini, nampaknya batinku tak bisa berkompromi. Ku selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dan aku mendapatkannya!. Tapi untuk hal ini, ku harus mengubur semua rasa percaya diriku dan tinggal dalam kekecewaan. Sakit.
Dan bulan ini adalah bulan ketiga untukku duduk dibangku kuliah. Kurasa datar-datar saja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang menggairahkan, dan hari-hariku semakin gamang. Bayangan hari itu masih saja tergambar dalam benakku. Kekecewaan masih saja menghantui pikiranku. Apa yang kurang dalam diriku? Ketika menjalani masa bimbingan aku selalu mendapat nilai bagus, bahkan dipastikan lolos untuk pilihan satu. Berbagai konsultasi telah kujalani dan  hasilnya pun demikian. Aku dinyatakan mampu untuk masuk pada pilihan kesatu. Ibadah dan doapun kencang kulakukan. Puasa, tahajjud, dhuha, rajin kukerjakan. Ahh, itu masa lalu, biarkan saja berlalu. Tapi tetap saja hingga hari ini aku belum merasakan enjoy dalam kuliah. Rasanya aku lebih baik keluar secepatnya dari kampus ini, dan kukerjakan apa yang aku mau, untuk mengobati segala kekecewaanku.
“Hasil UTS kamu tidak memuaskan Dan, belajarlah yang rajin”
“Oh iya pak, akan saya lakukan”
Itulah kata-kata pak Warsito padaku. Dosen yang ramah dan baik dalam mengajar. Kuakui itu. Beliau mengajar dengan sepenuh hati dan tidak pernah membuat suasana kelas alot atau bosan. Kalau melihat penampilannya, beliau sama sekali tidak terkesan sebagai orang dengan materi yang melimpah. Sederhana dan santun. Suatu hari aku melihatnya mengisi seminar dalam acara Festival Ilmiah Mahasiswa. Tak kusangka, beliau menyelesaikan studinya selama sepuluh tahun di Yale University. Tanpa biaya sedikitpun. Setelah kucoba mencari profil beliau di internat dan Youtube, aku sungguh kaget melihat beliau pernah menjadi narasumber dalam acara “Kick Andy”.
“Kamu punya potensi bagus bapak kira, tapi bapak lihat kamu selalu lesu dalam kuliah, kenapa nak?”
“oh, tidak pak, gak apa-apa, saya cuma masih bingung dengan mata kuliah  yang bapak ajarkan” Aku mencoba berkilah,
“Tidak mungkin mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar ke Irlandia bingung gara-gara Grammar”
Aku terhenyak. Selama ini aku menyembunyikan identitasku dari siapapun. Tapi mana mungkin bapak ini tahu? Pak Warsito melanggeng dengan tenang. Meninggalkanku duduk sendiri di selasar gedung jurusan. Akupun merenung pada diriku sendiri, “memang tidak sulit pak, tapi siapa yang tidak sakit ketika apa yang diinginkan tidak tercapai?” . Aku mengambil tasku yang tergeletak disampingku. Kuberanjak dari tempatku, dan pergi ke tempat parkir. Pulang.
***      ***      ***      ***      ***
Jarak kampus dan rumahku memang tidak terlalu jauh. Tapi gagal untuk dikatakan dekat. Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapainya. Dan perjalanan pulang sore ini terasa sangat lambat. Awan mendung memayungiku. Gelap dan sesekali menyambarkan petir. Dan itu pun kurasa dalam hatiku, gelap dan mendung. Aku berkata-kata sendiri selama dijalan. Mengeluhkan akan apa kekuranganku selama ini. “Apa yang kurang dalam diriku?”  aku membayangkan dulu ketika aku pulang dari Irlandia. Semua murid di SMA memuji dan membanggakanku. Pilihanku semakin mantap untuk meneruskan studi di jurusan Hubungan Internasional. Berbagai les dan bimbingan kulakukan agar kemampuanku naik. Hasik try out pun selalu memuaskan. Namaku terpampang diurutan paling atas, “bagus”, aku selalu puas dan
TTETTTTETTTTTTT !!!!
“Hoy seenaknya dijalan! Pake mata kalau bawa motor!!”
Astagfirullah. Aku nyaris menyerempet sebuah motor. Sang pengendara marah-marah. Sambil mengacungkan tangannya dia menatapku tajam. Akupun hanya bisa menatapnya datar. Aku mendesiskan maaf dalam hati. Kupelankan laju motorku. Sungguh hari ini hari yang mengesalkan. Hujan turun. Perlahan namun pasti. Hingga akhirnya ku terpaksa untuk berteduh sejenak disalah satu halteu bus. Ku berhentikan motorku dan ikut berkumpul bersama orang-orang yang sama-sama  berteduh. Hujan, turunlah sepuasmu ...
Hujan turun deras namun berirama. Rintikan hujan memaksa beberapa orang yang baru turun dari angkot melangkahkan kaki lebih cepat. Tukang becak menjadi laris sesaat. Kulihat warung kopi diseberang dipenuhi orang-orang yang mencari kehangatan. Hujan membasahi pepohonan dan membuatnya nampak lebih segar. Namun hujan tak mampu menyegarkan hatiku. Kekecewaanku semakin meluap. Seperti luapan air yang keluar dari gorong-gorong jalan. Entah kenapa pikiranku gelap, aku tidak bisa berpikir  jernih. Aku keluarkan kunci motor dari saku celanaku, kunyalakan motorku, dan bersiap untuk pergi. Ku tak peduli hujan turun semaikin deras. Kumasukan persneling motor dan menancap gas dengan kencang. Kubangan air terbelah oleh laju ban motorku. Dalam derasnya hujan, aku berteriak
“Aku akan keluaaarrr dariii kamppuuussssssss .......”
****    ****    ****    ****
Semua buku sudah kubereskan. Kumasukkan dalam kardus dan meletakkanya dipojok kamarku. Aku merapihkan semua atribut yang berhubungan dengan kampusku. Kampusku? mungkin beberapa hari lagi aku sudah akan meninggalannya. Jas almamater yang dibagikan pada saat ospek kampus sudah kurapihkan dan kusimpan ditempat terbawah dilemariku. Foto kelas, pin, dan semua embel-embel kampus sudah aku tanggalkan. Dan hari ini aku akan mengurus semua surat dan administrasi keluarnya aku dari kampus ini. Jam menunjukkan puku tujuh lima puluh. Mata kuliah pukul tujuh sudah aku lewati. Sengaja. Karena hari ini aku akan melepas namaku sebagai mahasiswa.
Kukeluarkan motorku dari rumah dan berangkat kekampus. Kedua orangtuaku sudah pergi sejak pukul enam. Aku tak perlu berpamitan untuk pergi, toh juga ketika aku mandi, mereka sudah pergi dan harus segera berada di Jakara pukul tujuh. “Orang sibuk”, itu kata-kataku pada mereka. Akupun tidak cengeng dalam menanggapinya. Tidak seperti anak-anak lain yang selalu mengeluh dan dengan cengeng mengatakan “orang tuaku sibuk, aku tidak diperhatikan”. Kata-kata tak berguna bagiku.
Sesampainya dikampus aku segera menuju kantor jurusan. Beberapa mahasiswa ada yang  baru datang dan tergopoh-gopoh masuk ke lift. “Gak niat” lirihku dalam hati. Kuliah itu dimulai jam delapan lima puluh, dan sekarang pukul setengah sepuluh. Kalau memang tidak niat belajar, ya tidak usah saja. Langkah kakiku sampai dikantor jurusan. Kulihat pak Herdi, staff administrasi, sedang membereskan kantor jurusan. Kuhampiri dia
“Pak maaf, minta formulir untuk pindah bisa?”
Pak Herdi seperti terhenyak mendengar kata-kataku. Kulihat beliau sedang membereskan beberapa surat dalam amplop. Matanya memperlihatkan pandangan yang tidak biasa. Beliau sedikit geleng-geleng menanggapi pertanyaanku
“Kamu mau pindah kemana?, jurusan lain?”
Kumenelan ludahku sendiri. Kukira pak Herdi akan menanyakan alasan atau memberiku nasihat yang biasa dia berikan pada mahasiswa yang terkena masalah akibat sering membolos atau hilang pada jam-jam kuliah tertentu.
“Bukan pak, pindah kampus” suaraku lirih.
Pak Herdi semakin kaget dengan kata-kataku, bahkan beberapa surat yang dia pegang sempat jatuh dan berantakan.
“kamu mau pindah kampus? Pindah kemana nak?”
Suara berat pak Herdi malah membuatku sedikit gusar. Niatku sudah bulat untuk pindah. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk hal ini.
“Maaf pak, saya harus menemui siapa? Saya tidak ingin berdebat dengan bapak”
Kini pak Herdi tampak mengalah. Kata-kata singkatku membuat mulutnya bungkam. Hinga akhirnya mengalah dan berkata
“Kamu temui pak Warsito, di kantornya, beliau kosong hari ini, ini ambil formulirnya” ujar pak Herdi sambil menyodorkan kertas formulir.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pak Herdi, akupun menuju ruang pak Warsito. Ruangan yang sederhana namun berwibawa. Kuketuk pintu ruangan pak Warsito
Tok tok tok
“Assalamu alaikum pak” kupelankan suaraku.
“Wa’alaikum salam, masuk silahkan” suara bariton terdengar oleh telingaku.
“Saya pak, Dani” ku masuk dan melangkahkan kaki kedalam ruangan beliau.
 Setelah mempersilahkan duduk, pak Warsito memulai pembicaraan denga bertanya kepadaku
“ Ada apa Dan?”
Akupun menceritakan apa yang selama ini aku rasakan. Tentang masa laluku, tentang keluargaku, dan tentang hidupku yang saat ini kurasa sangat rumit. Tentang keadilan Tuhan yang selama ini aku yakini. Mengapa Tuhan berbuat tidak adil padaku? Padahal semua anjuran dan perintah sudah aku kerjakan. Usahapun tak kalah aku lakukan. Doa dan tawakkal sudah aku penuhi, tapi hasilnya tidak memuaskan dalam hati. Aku bertanya pada pak Warsito, dimanakah hasil usahaku selama ini? Apakah Tuhan mempunyai rencana lain tapi tetap membiarkanku dalam kekecewaan?. Aku tak tahu harus berlari kemana. Aku tak tahu harus menangis pada siapa. Aku tak tahu harus berteriak dimana. Kuluapkan segala kekesalanku ini pada pak Warsito. Aku bosan dengan tujuan hidupku yang tak tercapai. Hingga akhirnya dengan tegas kukatakan pada beliau
“Saya akan keluar dari kampus pak”
Pak Warsito hanya diam. Matanya tenang dan syahdu. Dia seolah mengerti apa yang aku rasa. Tapi justru pak Warsito hanya mengomentari dengan singkat
“mana formulirnya, saya tanda tangani, tapi sebelum kamu keluar, bapak ada titipan”
Kuserahkan formulir yang sudah aku isi. Perasaanku tercampur antara bingung dan senang. Satu sisi aku senang bahwa aku akan segera pindah dari kampus ini, tapi di sisi lain, aku bingung harus berbuat apa setelah ini.
“titipan apa pak?” aku mencoba memastikan pada pak Warsito
“Bapak kamu ingin membawa uang ini ke panti asuhan. Ini alamatnya. Sekalian kamu pulang kan? Kalau sudah sms bapak saja”
Aku terdiam. Aku tak mengerti apa yang pak Warsito mau dariku. Mengantarkan surat ke suatu panti asuhan bukanlah hal sulit. Alamatnya pun dekat dengan rumahku. Aku mengira beliau memberi syarat yang sulit atau apapun. Berkas dan formulir pun sudah beliau teken. Tinggal tiga hari nanti aku datang ke rektorat dan menandatangani surat keputusanku.
Aku melangkahkan kaki dari ruangan pak Warsito. Beliau mengantarku ke depan pintu layaknya tuan rumah mengantar tamu ke depan pintu. Aku terdiam sesaat. Tak sadar aku menangis dan meneteskan air mata. Sesak. Itulah yang kurasa. Ini sebuah dilema besar untukku. Untuk hidupku. Namun keputusan sudah aku ambil dan aku harus siap menanggung resikonya. Kupeluk erat pak Warsito, dan kukatakan pada beliau
“amanat bapak akan saya sampaikan”.
***      ***      ***      ***
Jalan Purbasari nomor 21, kecamatan Cibeureum, kota Bandung.
Kuparkirkan motorku didepan gerbang suatu rumah. Rumah yang aku rasa bisa menampung puluhan orang. Ku melihat ke sekeliling rumah. Kutatap setiap sudut teras dan pekarangan rumah, seorang satpam menghampiriku dan bertanya
“Nyari siapa ya mas?” satpam itu tampak sopan bertanya padaku
“ini pak, saya ada titipan, ini ...” ku menyerahkan amplop yang terdapat label dan nama suatu lembaga
“ohh, silahkan masuk mas, sudah ada yang nunggu” sikap satpam ini berubah. Dia menjadi lebih sopan dalam menyambutku. Padahal aku baru pertama kali datang ke rumah besar ini.
Satpam itu mempersilakanku duduk disebuah sofa berukuran sedang yang berada diteras rumah. Ku melihat beberapa anak muda seusiaku berjalan berlalu-lalang di pekarangan rumah. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang membersihkan taman, ada yang  melukis, ada yang membuat janur dengan gedebok pisang, ada pula yang membuat ukiran dari kayu. Semua anak muda disini tidak ada yang diam. Semua bergerak dan mengerjakan kegiatan. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Pakaian koko coklat tua dan celana katun hitam membuat bapak ini terlihat berwibawa. Si bapak mengucapkan salam dan duduk berseberangan denganku. Namanya pak Ramdhan. Beliau adalah teman dekat pak Warsito ketika dulu masih menjadi aktivis mahasiswa. Kini beliau mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang beliau dirikan bersama-sama kawan aktivisnya sejak duduk di bangku kuliah. Beliau menceritakan tentang bagaimana panti asuhan Karya Muda ini berdiri. Setelah panjang lebar pak Ramdhan bercerita, beliau mengatakan sesuatu padaku
“Kamu lihat anak itu yang sedang melukis?” si bapak melirikkan matanya ke si anak yang tengah melukis.
“Dia salah satu mahasiswa ITB yang terpaksa drop out karena tak mampu membayar biaya kuliah, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan”
Aku terhenyak. Mendengar penjelasan pak Ramdhan aku masih belum percaya dengan kata-kata beliau
“Dan yang itu,  yang sedang membuat ukiran, dia salah satu mahasiswa terbaik fakultas Seni Rupa UPI yang harus berhenti karena biaya”
Aku tak bisa meneruskan kata-kata dalam hatiku. Pak Ramdhan menatap mataku dalam-dalam. Tatapan bijaksana seorang bapak sungguh amat terasa padaku. Tatapan yang sungguh memberikan banyak arti. Tatapan yang mengajak seorang mahasiswa sepertiku untuk merasakan betapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita. Tatapan hangat yang mengumpulkan serpihan-serpihan semangat dalam dadaku.  Tatapan yang sejuk dan masuk kedalam hatiku. Tatapan yang kini membuatku bangkit.
“Kau tidak semestinya melakukan ini nak, lihatlah diluar sana. Banyak orang-orang yang tidak seberuntung kamu. Bapak juga dulu merasakan apa yang kamu rasakan. Dulu bapak keukeuh untuk kuliah di Tehnik Informatika tapi bapak diterima di jurusan Sosiologi”
Aku terdiam sesaat.
“Lalu apa yang bapak lakukan?”
“Syukurilah nak, Tuhan sedang memperisapkan yang terbaik ..... “
Kata-kata pak Ramdhan menyejukan hatiku. Bagai embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan. Bagai udara pegunungan yang sejuk dan segar. Kata-kata itu masuk kedalam relung hatiku. Menyentuh endapan darah yang menggumpal jauh dibalik katup-katup jantung. Membangkitkan asa yang dulu pecah dan tersebar. Dan kini terkumpul dan terajut menjadi suatu untaian mutiara indah dan berkilauan. Kini ku sadar akan ketentuan Tuhan yang tidak semua manusia dapat fahami. Sebuah kenyataan pahit namun menuai hasil yang manis diakhir cerita. Bahwa Sang Maha Kuasa selalu  menetapkan semua kejadian atas cintaNya, dan menjadikannya indah pada waktunya.
“Ingat Dani, Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kamu inginkan, namun Tuhan memberikanmu apa yang sesungguhnya kamu butuhkan”.
*** *** *** ***
Washington DC, Kedutaan Besar Republik Indonesia.
“Tolong rapihkan dan simpan semua berkas diatas meja, setelah itu susun jadwal untuk mengadakan pertemuan secepatnya dengan kepala departemen dan semua anggota biro di ruang utama. “
“Baik pak, pertemuan bapak dengan Presiden USA sudah kami jadwalkan pukul tiga nanti, bapak Presiden meminta anda untuk hadir, anda diminta menjadi penerjemah beliau”
Loh?, mengapa beliau tidak memakai jasa penerjemah kedutaan saja?”
“Pak Presiden langsung yang meminta pak, baliau ingin Duta Besar yang baru yang menerjemahkan. Pak Presiden bilang, tata bahasa bapak bagus sekali ...”
Setelah ajudan keluar ruangan, ku kembali ke meja kerjaku. Tanpa sengaja ku ingin memeriksa berkas pelantikanku menjadi Duta Besar. Aku membuka laci dan sekilas  kulihat foto masa laluku yang sedang bergaya bersama kawan-kawan dikampus. Kuambil foto tersebut dan kutatap dalam-dalam. Ku melihat pak Warsito yang ikut bergaya bersama kami. Foto ini mengingatkanku pada dua belas tahun lalu. Ketika aku masih menimba ilmu bahasa dan menjalani berbagai aktifitas sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa yang dulu sempat ingin keluar dan putus asa gara-gara pilihan yang tidak terlaksana. Mahasiswa  yang sempat menangis dan tersungkur dalam kekecewaan. Namun kusadar, selama ini aku berada didekat orang-orang yang selalu mencintai dan mendukungku. Tapi peran dosenku yang bernama pak Warsito-lah yang kurasa memberikanku dorongan terbesar. Aku masih ingat kata-kata singkat beliau yang kini menjadi motivasi terbesar dalam hidupku. Kata-kata singkat namun sangat berarti bagiku
“Bersyukurlah atas apa yang kamu dapat, niscaya Tuhan memberikan balasan yang tak terhitung ....”
Tuhan, Ku bersyukur atas segala nikmatMu yang sangat banyak kurasakan. Jadikan hambaMu ini hamba yang pandai bersyukur atas segala nikmatMu meski sekadar setetes embun dipagi hari. 


Bandung, 2nd of December 2011. At my living room.
Cerpen ini dilombakan pada Lomba Cerpen Program Tutorial UPI 2011

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish