Minggu, 18 Desember 2011

PILIHAN KEDUA



“Tuhan tidak memberi apa yang kau inginkan, tapi Tuhan memberi apa yang kau butuhkan”
Sungguh hari itu tak akan pernah kulupakan. Ketika aku menerima hasil SNMPTN dan ternyata keinginanku untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional Unpad pupus. Sakit? Iya, itu yang kurasa, meski orang tuaku selalu berkata “syukurilah nak”, tetap saja aku belum mau menerima. Kurasa ini  jiwa mudaku yang selalu bergejolak. Tapi untuk hal ini, nampaknya batinku tak bisa berkompromi. Ku selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dan aku mendapatkannya!. Tapi untuk hal ini, ku harus mengubur semua rasa percaya diriku dan tinggal dalam kekecewaan. Sakit.
Dan bulan ini adalah bulan ketiga untukku duduk dibangku kuliah. Kurasa datar-datar saja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang menggairahkan, dan hari-hariku semakin gamang. Bayangan hari itu masih saja tergambar dalam benakku. Kekecewaan masih saja menghantui pikiranku. Apa yang kurang dalam diriku? Ketika menjalani masa bimbingan aku selalu mendapat nilai bagus, bahkan dipastikan lolos untuk pilihan satu. Berbagai konsultasi telah kujalani dan  hasilnya pun demikian. Aku dinyatakan mampu untuk masuk pada pilihan kesatu. Ibadah dan doapun kencang kulakukan. Puasa, tahajjud, dhuha, rajin kukerjakan. Ahh, itu masa lalu, biarkan saja berlalu. Tapi tetap saja hingga hari ini aku belum merasakan enjoy dalam kuliah. Rasanya aku lebih baik keluar secepatnya dari kampus ini, dan kukerjakan apa yang aku mau, untuk mengobati segala kekecewaanku.
“Hasil UTS kamu tidak memuaskan Dan, belajarlah yang rajin”
“Oh iya pak, akan saya lakukan”
Itulah kata-kata pak Warsito padaku. Dosen yang ramah dan baik dalam mengajar. Kuakui itu. Beliau mengajar dengan sepenuh hati dan tidak pernah membuat suasana kelas alot atau bosan. Kalau melihat penampilannya, beliau sama sekali tidak terkesan sebagai orang dengan materi yang melimpah. Sederhana dan santun. Suatu hari aku melihatnya mengisi seminar dalam acara Festival Ilmiah Mahasiswa. Tak kusangka, beliau menyelesaikan studinya selama sepuluh tahun di Yale University. Tanpa biaya sedikitpun. Setelah kucoba mencari profil beliau di internat dan Youtube, aku sungguh kaget melihat beliau pernah menjadi narasumber dalam acara “Kick Andy”.
“Kamu punya potensi bagus bapak kira, tapi bapak lihat kamu selalu lesu dalam kuliah, kenapa nak?”
“oh, tidak pak, gak apa-apa, saya cuma masih bingung dengan mata kuliah  yang bapak ajarkan” Aku mencoba berkilah,
“Tidak mungkin mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar ke Irlandia bingung gara-gara Grammar”
Aku terhenyak. Selama ini aku menyembunyikan identitasku dari siapapun. Tapi mana mungkin bapak ini tahu? Pak Warsito melanggeng dengan tenang. Meninggalkanku duduk sendiri di selasar gedung jurusan. Akupun merenung pada diriku sendiri, “memang tidak sulit pak, tapi siapa yang tidak sakit ketika apa yang diinginkan tidak tercapai?” . Aku mengambil tasku yang tergeletak disampingku. Kuberanjak dari tempatku, dan pergi ke tempat parkir. Pulang.
***      ***      ***      ***      ***
Jarak kampus dan rumahku memang tidak terlalu jauh. Tapi gagal untuk dikatakan dekat. Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapainya. Dan perjalanan pulang sore ini terasa sangat lambat. Awan mendung memayungiku. Gelap dan sesekali menyambarkan petir. Dan itu pun kurasa dalam hatiku, gelap dan mendung. Aku berkata-kata sendiri selama dijalan. Mengeluhkan akan apa kekuranganku selama ini. “Apa yang kurang dalam diriku?”  aku membayangkan dulu ketika aku pulang dari Irlandia. Semua murid di SMA memuji dan membanggakanku. Pilihanku semakin mantap untuk meneruskan studi di jurusan Hubungan Internasional. Berbagai les dan bimbingan kulakukan agar kemampuanku naik. Hasik try out pun selalu memuaskan. Namaku terpampang diurutan paling atas, “bagus”, aku selalu puas dan
TTETTTTETTTTTTT !!!!
“Hoy seenaknya dijalan! Pake mata kalau bawa motor!!”
Astagfirullah. Aku nyaris menyerempet sebuah motor. Sang pengendara marah-marah. Sambil mengacungkan tangannya dia menatapku tajam. Akupun hanya bisa menatapnya datar. Aku mendesiskan maaf dalam hati. Kupelankan laju motorku. Sungguh hari ini hari yang mengesalkan. Hujan turun. Perlahan namun pasti. Hingga akhirnya ku terpaksa untuk berteduh sejenak disalah satu halteu bus. Ku berhentikan motorku dan ikut berkumpul bersama orang-orang yang sama-sama  berteduh. Hujan, turunlah sepuasmu ...
Hujan turun deras namun berirama. Rintikan hujan memaksa beberapa orang yang baru turun dari angkot melangkahkan kaki lebih cepat. Tukang becak menjadi laris sesaat. Kulihat warung kopi diseberang dipenuhi orang-orang yang mencari kehangatan. Hujan membasahi pepohonan dan membuatnya nampak lebih segar. Namun hujan tak mampu menyegarkan hatiku. Kekecewaanku semakin meluap. Seperti luapan air yang keluar dari gorong-gorong jalan. Entah kenapa pikiranku gelap, aku tidak bisa berpikir  jernih. Aku keluarkan kunci motor dari saku celanaku, kunyalakan motorku, dan bersiap untuk pergi. Ku tak peduli hujan turun semaikin deras. Kumasukan persneling motor dan menancap gas dengan kencang. Kubangan air terbelah oleh laju ban motorku. Dalam derasnya hujan, aku berteriak
“Aku akan keluaaarrr dariii kamppuuussssssss .......”
****    ****    ****    ****
Semua buku sudah kubereskan. Kumasukkan dalam kardus dan meletakkanya dipojok kamarku. Aku merapihkan semua atribut yang berhubungan dengan kampusku. Kampusku? mungkin beberapa hari lagi aku sudah akan meninggalannya. Jas almamater yang dibagikan pada saat ospek kampus sudah kurapihkan dan kusimpan ditempat terbawah dilemariku. Foto kelas, pin, dan semua embel-embel kampus sudah aku tanggalkan. Dan hari ini aku akan mengurus semua surat dan administrasi keluarnya aku dari kampus ini. Jam menunjukkan puku tujuh lima puluh. Mata kuliah pukul tujuh sudah aku lewati. Sengaja. Karena hari ini aku akan melepas namaku sebagai mahasiswa.
Kukeluarkan motorku dari rumah dan berangkat kekampus. Kedua orangtuaku sudah pergi sejak pukul enam. Aku tak perlu berpamitan untuk pergi, toh juga ketika aku mandi, mereka sudah pergi dan harus segera berada di Jakara pukul tujuh. “Orang sibuk”, itu kata-kataku pada mereka. Akupun tidak cengeng dalam menanggapinya. Tidak seperti anak-anak lain yang selalu mengeluh dan dengan cengeng mengatakan “orang tuaku sibuk, aku tidak diperhatikan”. Kata-kata tak berguna bagiku.
Sesampainya dikampus aku segera menuju kantor jurusan. Beberapa mahasiswa ada yang  baru datang dan tergopoh-gopoh masuk ke lift. “Gak niat” lirihku dalam hati. Kuliah itu dimulai jam delapan lima puluh, dan sekarang pukul setengah sepuluh. Kalau memang tidak niat belajar, ya tidak usah saja. Langkah kakiku sampai dikantor jurusan. Kulihat pak Herdi, staff administrasi, sedang membereskan kantor jurusan. Kuhampiri dia
“Pak maaf, minta formulir untuk pindah bisa?”
Pak Herdi seperti terhenyak mendengar kata-kataku. Kulihat beliau sedang membereskan beberapa surat dalam amplop. Matanya memperlihatkan pandangan yang tidak biasa. Beliau sedikit geleng-geleng menanggapi pertanyaanku
“Kamu mau pindah kemana?, jurusan lain?”
Kumenelan ludahku sendiri. Kukira pak Herdi akan menanyakan alasan atau memberiku nasihat yang biasa dia berikan pada mahasiswa yang terkena masalah akibat sering membolos atau hilang pada jam-jam kuliah tertentu.
“Bukan pak, pindah kampus” suaraku lirih.
Pak Herdi semakin kaget dengan kata-kataku, bahkan beberapa surat yang dia pegang sempat jatuh dan berantakan.
“kamu mau pindah kampus? Pindah kemana nak?”
Suara berat pak Herdi malah membuatku sedikit gusar. Niatku sudah bulat untuk pindah. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk hal ini.
“Maaf pak, saya harus menemui siapa? Saya tidak ingin berdebat dengan bapak”
Kini pak Herdi tampak mengalah. Kata-kata singkatku membuat mulutnya bungkam. Hinga akhirnya mengalah dan berkata
“Kamu temui pak Warsito, di kantornya, beliau kosong hari ini, ini ambil formulirnya” ujar pak Herdi sambil menyodorkan kertas formulir.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pak Herdi, akupun menuju ruang pak Warsito. Ruangan yang sederhana namun berwibawa. Kuketuk pintu ruangan pak Warsito
Tok tok tok
“Assalamu alaikum pak” kupelankan suaraku.
“Wa’alaikum salam, masuk silahkan” suara bariton terdengar oleh telingaku.
“Saya pak, Dani” ku masuk dan melangkahkan kaki kedalam ruangan beliau.
 Setelah mempersilahkan duduk, pak Warsito memulai pembicaraan denga bertanya kepadaku
“ Ada apa Dan?”
Akupun menceritakan apa yang selama ini aku rasakan. Tentang masa laluku, tentang keluargaku, dan tentang hidupku yang saat ini kurasa sangat rumit. Tentang keadilan Tuhan yang selama ini aku yakini. Mengapa Tuhan berbuat tidak adil padaku? Padahal semua anjuran dan perintah sudah aku kerjakan. Usahapun tak kalah aku lakukan. Doa dan tawakkal sudah aku penuhi, tapi hasilnya tidak memuaskan dalam hati. Aku bertanya pada pak Warsito, dimanakah hasil usahaku selama ini? Apakah Tuhan mempunyai rencana lain tapi tetap membiarkanku dalam kekecewaan?. Aku tak tahu harus berlari kemana. Aku tak tahu harus menangis pada siapa. Aku tak tahu harus berteriak dimana. Kuluapkan segala kekesalanku ini pada pak Warsito. Aku bosan dengan tujuan hidupku yang tak tercapai. Hingga akhirnya dengan tegas kukatakan pada beliau
“Saya akan keluar dari kampus pak”
Pak Warsito hanya diam. Matanya tenang dan syahdu. Dia seolah mengerti apa yang aku rasa. Tapi justru pak Warsito hanya mengomentari dengan singkat
“mana formulirnya, saya tanda tangani, tapi sebelum kamu keluar, bapak ada titipan”
Kuserahkan formulir yang sudah aku isi. Perasaanku tercampur antara bingung dan senang. Satu sisi aku senang bahwa aku akan segera pindah dari kampus ini, tapi di sisi lain, aku bingung harus berbuat apa setelah ini.
“titipan apa pak?” aku mencoba memastikan pada pak Warsito
“Bapak kamu ingin membawa uang ini ke panti asuhan. Ini alamatnya. Sekalian kamu pulang kan? Kalau sudah sms bapak saja”
Aku terdiam. Aku tak mengerti apa yang pak Warsito mau dariku. Mengantarkan surat ke suatu panti asuhan bukanlah hal sulit. Alamatnya pun dekat dengan rumahku. Aku mengira beliau memberi syarat yang sulit atau apapun. Berkas dan formulir pun sudah beliau teken. Tinggal tiga hari nanti aku datang ke rektorat dan menandatangani surat keputusanku.
Aku melangkahkan kaki dari ruangan pak Warsito. Beliau mengantarku ke depan pintu layaknya tuan rumah mengantar tamu ke depan pintu. Aku terdiam sesaat. Tak sadar aku menangis dan meneteskan air mata. Sesak. Itulah yang kurasa. Ini sebuah dilema besar untukku. Untuk hidupku. Namun keputusan sudah aku ambil dan aku harus siap menanggung resikonya. Kupeluk erat pak Warsito, dan kukatakan pada beliau
“amanat bapak akan saya sampaikan”.
***      ***      ***      ***
Jalan Purbasari nomor 21, kecamatan Cibeureum, kota Bandung.
Kuparkirkan motorku didepan gerbang suatu rumah. Rumah yang aku rasa bisa menampung puluhan orang. Ku melihat ke sekeliling rumah. Kutatap setiap sudut teras dan pekarangan rumah, seorang satpam menghampiriku dan bertanya
“Nyari siapa ya mas?” satpam itu tampak sopan bertanya padaku
“ini pak, saya ada titipan, ini ...” ku menyerahkan amplop yang terdapat label dan nama suatu lembaga
“ohh, silahkan masuk mas, sudah ada yang nunggu” sikap satpam ini berubah. Dia menjadi lebih sopan dalam menyambutku. Padahal aku baru pertama kali datang ke rumah besar ini.
Satpam itu mempersilakanku duduk disebuah sofa berukuran sedang yang berada diteras rumah. Ku melihat beberapa anak muda seusiaku berjalan berlalu-lalang di pekarangan rumah. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang membersihkan taman, ada yang  melukis, ada yang membuat janur dengan gedebok pisang, ada pula yang membuat ukiran dari kayu. Semua anak muda disini tidak ada yang diam. Semua bergerak dan mengerjakan kegiatan. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Pakaian koko coklat tua dan celana katun hitam membuat bapak ini terlihat berwibawa. Si bapak mengucapkan salam dan duduk berseberangan denganku. Namanya pak Ramdhan. Beliau adalah teman dekat pak Warsito ketika dulu masih menjadi aktivis mahasiswa. Kini beliau mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang beliau dirikan bersama-sama kawan aktivisnya sejak duduk di bangku kuliah. Beliau menceritakan tentang bagaimana panti asuhan Karya Muda ini berdiri. Setelah panjang lebar pak Ramdhan bercerita, beliau mengatakan sesuatu padaku
“Kamu lihat anak itu yang sedang melukis?” si bapak melirikkan matanya ke si anak yang tengah melukis.
“Dia salah satu mahasiswa ITB yang terpaksa drop out karena tak mampu membayar biaya kuliah, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan”
Aku terhenyak. Mendengar penjelasan pak Ramdhan aku masih belum percaya dengan kata-kata beliau
“Dan yang itu,  yang sedang membuat ukiran, dia salah satu mahasiswa terbaik fakultas Seni Rupa UPI yang harus berhenti karena biaya”
Aku tak bisa meneruskan kata-kata dalam hatiku. Pak Ramdhan menatap mataku dalam-dalam. Tatapan bijaksana seorang bapak sungguh amat terasa padaku. Tatapan yang sungguh memberikan banyak arti. Tatapan yang mengajak seorang mahasiswa sepertiku untuk merasakan betapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita. Tatapan hangat yang mengumpulkan serpihan-serpihan semangat dalam dadaku.  Tatapan yang sejuk dan masuk kedalam hatiku. Tatapan yang kini membuatku bangkit.
“Kau tidak semestinya melakukan ini nak, lihatlah diluar sana. Banyak orang-orang yang tidak seberuntung kamu. Bapak juga dulu merasakan apa yang kamu rasakan. Dulu bapak keukeuh untuk kuliah di Tehnik Informatika tapi bapak diterima di jurusan Sosiologi”
Aku terdiam sesaat.
“Lalu apa yang bapak lakukan?”
“Syukurilah nak, Tuhan sedang memperisapkan yang terbaik ..... “
Kata-kata pak Ramdhan menyejukan hatiku. Bagai embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan. Bagai udara pegunungan yang sejuk dan segar. Kata-kata itu masuk kedalam relung hatiku. Menyentuh endapan darah yang menggumpal jauh dibalik katup-katup jantung. Membangkitkan asa yang dulu pecah dan tersebar. Dan kini terkumpul dan terajut menjadi suatu untaian mutiara indah dan berkilauan. Kini ku sadar akan ketentuan Tuhan yang tidak semua manusia dapat fahami. Sebuah kenyataan pahit namun menuai hasil yang manis diakhir cerita. Bahwa Sang Maha Kuasa selalu  menetapkan semua kejadian atas cintaNya, dan menjadikannya indah pada waktunya.
“Ingat Dani, Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kamu inginkan, namun Tuhan memberikanmu apa yang sesungguhnya kamu butuhkan”.
*** *** *** ***
Washington DC, Kedutaan Besar Republik Indonesia.
“Tolong rapihkan dan simpan semua berkas diatas meja, setelah itu susun jadwal untuk mengadakan pertemuan secepatnya dengan kepala departemen dan semua anggota biro di ruang utama. “
“Baik pak, pertemuan bapak dengan Presiden USA sudah kami jadwalkan pukul tiga nanti, bapak Presiden meminta anda untuk hadir, anda diminta menjadi penerjemah beliau”
Loh?, mengapa beliau tidak memakai jasa penerjemah kedutaan saja?”
“Pak Presiden langsung yang meminta pak, baliau ingin Duta Besar yang baru yang menerjemahkan. Pak Presiden bilang, tata bahasa bapak bagus sekali ...”
Setelah ajudan keluar ruangan, ku kembali ke meja kerjaku. Tanpa sengaja ku ingin memeriksa berkas pelantikanku menjadi Duta Besar. Aku membuka laci dan sekilas  kulihat foto masa laluku yang sedang bergaya bersama kawan-kawan dikampus. Kuambil foto tersebut dan kutatap dalam-dalam. Ku melihat pak Warsito yang ikut bergaya bersama kami. Foto ini mengingatkanku pada dua belas tahun lalu. Ketika aku masih menimba ilmu bahasa dan menjalani berbagai aktifitas sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa yang dulu sempat ingin keluar dan putus asa gara-gara pilihan yang tidak terlaksana. Mahasiswa  yang sempat menangis dan tersungkur dalam kekecewaan. Namun kusadar, selama ini aku berada didekat orang-orang yang selalu mencintai dan mendukungku. Tapi peran dosenku yang bernama pak Warsito-lah yang kurasa memberikanku dorongan terbesar. Aku masih ingat kata-kata singkat beliau yang kini menjadi motivasi terbesar dalam hidupku. Kata-kata singkat namun sangat berarti bagiku
“Bersyukurlah atas apa yang kamu dapat, niscaya Tuhan memberikan balasan yang tak terhitung ....”
Tuhan, Ku bersyukur atas segala nikmatMu yang sangat banyak kurasakan. Jadikan hambaMu ini hamba yang pandai bersyukur atas segala nikmatMu meski sekadar setetes embun dipagi hari. 


Bandung, 2nd of December 2011. At my living room.
Cerpen ini dilombakan pada Lomba Cerpen Program Tutorial UPI 2011

5 komentar:

denaamsar mengatakan...

huaaaa congrats yaaa :D
ada unsur pengalaman pribadikah ?? :p
ceritanya bagus! semangat buat karya selanjutnya yaa ;)

Unknown mengatakan...

Thanks Dena ... hahaha

Diotra Henriyan mengatakan...

Nice story bro :)
Gw anak informatika, tapi minat gw sebenernya di desain. alasan knp masuk informatika krna jurusan desain ga ada yg kelas karyawan. dan gw harus "ngambil kelas karyawan" utk berkuliah. tapi tak apalah, gara2 baca cerita ini. gw jadi lebih bersemangat :D

Unknown mengatakan...

Wah bro ... makasih atas apresiasinya, jujur gw seneng banget denger komen dari bro/sis semua, gue bener2 seneng bisa share ama kalian, apalagi kalo dari cerita ini, kita semua bisa ngambil hikmah, semangat terus sob !! Do your best where ever you are !

Diotra Henriyan mengatakan...

Sama2 bro, ditunggu cerita2 bagus lainnya :D

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish