Minggu, 22 November 2015

Hello Singapore


Mungkin banyak orang yang sudah sering datang ke Singapura. Memang, lokasi singapura tidak begitu jauh dari Indonesia, bahkan sangat dekat. Sejajar dengan provinsi Riau, membuat perjalanan ke Singapura tidak begitu terasa lama. Tiba di bandara Changi, aku malah merasa begitu jauh dengan Indonesia. Sejak di atas langit, aku melihat dataran kepulauan kecil yang begitu indah, namun berlubang di tengah-tengahnya. Ada pulau dengan hutan yang lebat, namun ada penampakan seperti cakaran yang membuat hutan hijau itu compang camping. Ada pulau dengan ukuran sangat besar, hutan rimba yang begitu indah, namun lagi-lagi terdapat bangunan pabrik di tengah-tengahnya. Entahlah, pulau apa itu namanya. Tetapi, saat pilot mengatakan kita akan segera landing di Changi, aku melihat gugusan pulau kecil dengan padang golf yang ditata sangat rapi dan sedap dipandang. Mungkin yang ini baru Singapura. 

Ya, kembali aku katakana, saat tiba di Changi, aku merasa begitu jauh. Tata kelola bandara yang begitu professional, infrastruktur yang baik, dan pelayanan yang begitu prima, membuatku merasa seolah kita ada di belahan negara yang sangat jauh. Tetapi, aksen Singlish yang begitu kental seolah mengingatkanku bahwa ini adalah Singapura. Ya, negara yang presiden pertamanya adalah seorang keturunan Minangkabau, Padang.

Lagi aku katakan, di sini semua nampak begitu cepat. Eskalator dibuat lebih cepat, orang-orang berjalan sangat cepat, pemeriksaan barang dilakukan dengan tanggap dan cekatan (cepat juga). No words for leyeh-leyeh, no words for woles-woles. Sedikit kaget juga, tetapi lama-lama aku pun sadar bahwa “ini lah yang membuat mereka bergerak lebih maju. Ya, mereka bergerak lebih cepat.”

Di Singapura memang lebih senang jika kita bertujuan untuk wisata mewah, wisata belanja, dan wisata bulan madu. Pemandangan kota yang dibuat cantik, gedung-gedung tinggi nan rupawan, serta pelayanan top adalah pemandangan umum di kota ini. Ya, Singapura adalah negara yang berkembang dari sektor jasa.

Bagi backpacker pemula seperti saya, pemandangan nan cepat seperti ini cukup menguras keringat. Belum lagi saya adalah anak gunung yang tinggal di kota Bandung; kota adem dengan hawa dingin, bandrek hangat dan surabi oncom pedas adalah pasangan klop di pagi hari. Cuaca panas di Singapura memang membuat saya sedikit kewalahan. Hasilnya, naik MRT adalah suatu hiburan tersendiri: AC.

Ya, bagi backpacker seperti saya pun biaya makan membuat saya sedikit geleng-geleng kepala. Setelah mengelilingi Merlion dan foto-foto ala-ala kekinian di depan Marina Bay, Orchard adalah tujuan kami untuk santap siang. Setelah keliling beberapa menit, akhirnya kami memutuskan untuk makan di satu rumah makan yang bernama “Ayam Penyet Ria”.

Ria? Penyet? Ayam? Ya, ini adalah restoran yang dimiliki orang Indonesia. Banyaknya orang melayu dan Indonesia yang tinggal di Singapura menjadi target pasar yang cukup tepat sasaran. Tak aneh, saat duduk di restoran ini, ada banyak wajah-wajah khas Suroboyo, khas Malang, khas Padang, Arab-Melayu, bahkan tampang Sunda seperti saya ini. Kasirnya tetap orang Chinese dan pelayanan tetap berbahasa Inggris. Tapi tetap dengan khas Singapura “How many person laaa?”, “Over there la, that desk over there is dirty laaa,~”

Makan di sini memang harus ikhlas. Dengan ayam penyet yang cukup untuk dimakan di siang dan malam hari, serta minum es jeruk satu gelas, kita harus ikhlas mengeluarkan kurang lebih 10 SGD. Di Bandung, dengan nilai uang 10 SGD, kita sudah bisa memesan nasi box ayam penyet 5 porsi (sudah dengan tahu tempe dan lalapan plus sambal terasi maknyos). Ya, harus ikhlas ya …

Tetapi jangan takut, kalau haus setelah makan, tak usah bingung beli air mineral. Cukup cari keran air minum yang tersedia di banyak titik, atau cari masjid terdekat (sedekat kawasan Bugis :’) ). Di sana air sudah steril dan siap minum. Bahkan di masjid, disediakan dispenser yang ada air dingin sedingin kulkas. Alhamdulillah …

Yang menarik di Singapura adalah kita tidak perlu kaget, tak perlu mencibir, atau tak perlu berdemo besar-besaran karena para orang tua yang sudah lanjut usia masih dipekerjakan. Ada yang menjadi petugas kebersihan, penunggu kamar kecil, petugas penitipan, atau petugas tiket di terminal. Gak perlu. Gak usah sedih. Gak usah bilang “dasar, ke mana anaknya nih? Udah tua begini masih disuruh kerja sampe malem, dasar anak durhaka!” atau bilang “ini bagaimana negara semaju ini orang tua masih harus bekerja?” atau berdemo di depan gedung sate sambil teriak “kita perjuangkan hak para orang tua Singapura, tuntut para kapitalis yang mempekerjakan orang tua di Singapura!” gak perlu mas. Capek. Gak perlu ya.

Di Singapura, para orang tua ini memang sengaja dipekerjakan. Pernah dengar cerita bahwa dahulu ada kabar seorang anak yang menelantarkan orang tuanya di rumah dan tidak diurus? Anaknya sibuk bekerja (karena kebutuhan di Singapura yang tinggi) lalu orang tuanya malah tak terurus?
Mendengar kabar ini, pemerintah lantas membuat kebijakan: orang tua boleh bekerja kembali di posisi yang tidak begitu berat. Memang, terkadang pensiun dianggap seperti “Waahh, aku sudah pensiun, saatnya aku menimang cucu, duduk-duduk di ruang depan sambil baca koran, memotong rumput taman, atau memandikan burung kenari yang aku pelihara”. Wew~ jika pensiunan ini adalah seorang mantan pejabat tinggi negara, bisa saja hal ini terjadi. Tapi, jika kenyataannya adalah bahwa para orang tua ini dulunya bukan pejabat negara, lalu apakah pensiun merupakan masa purnabakti yang menjanjikan kenyamanan? Tentu tidak. Tetapi kenyataannya, tetap bekerja bagi orang tua (orang muda juga) memberikan dampak positif karena tubuh terus bergerak. Malah kalo badan kurang gerak, penyakit gampang tiba kan?

Well, Singapura memberiku banyak pelajaran. Dari cara berjalan, cara bergerak, cara beli tiket, thank you di setiap pelayanan, dan tentunya ANTRE.

Di malam hari, saat kita menuju Bugis untuk naik bus ke Johor Bahru, kita melihat ada terminal kecil di sana. Katanya itu pool bus menuju Johor Bahru. Lalu kita mendatangi loket dan bertanya berapa harga tiket ke Johor Bahru. Tiba-tiba muncul kakek-kakek sambil sedikit membentak “Be queue up, be queue up!” Kita terhenyak sejenak, dan “ooohh” maksudnya disuruh antre. Memang saat kita lihat, ada antrean orang-orang yang hendak membeli tiket. Maafin ya kek, ane kagak tahu …

Antre menjadi budaya di sini. Tak peduli mau berdasi, mau ibu-ibu, mau anak gaul, mau orang kaya, mau pensiunan, mau backpacker, semua kudu antre. Value yang saya rasakan adalah “karena bukan kita yang urusannya harus selalu diutamakan”. Makanya antre. Tapi kalau inget di kota sendiri, kadang adaaaaa aja yang nyempil-nyempil dengan muka cuek tak berdosa seolah-olah manusia polos. Terus nyelak, terus ribut, terus kacau, apalagi kalo di pasar. Mohon maaf sebelumnya, tapi sebagai seorang anak lelaki yang gak bisa terlalu cerewet, biasanya ya ibu-ibu yang suka nyelak di antrean atau kerumunan. Dalihnya sih biasanya “Maaf ya dek buru-buru”, atau di undangan pas prasmanan terus pura-pura polos “Eeehh ibu Mawar, katanya anaknya bla bla bla … (lalu nyelak antrean)” atau “maaf ya dek anak saya udah nunggu”. Yah, kalo di kereta atau bus, memang ibu-ibu pasti aku utamakan dalam perihal duduk. 

Tapi kalo antre, please atulah ….

Anyway, kita naik bus sekarang menuju Johor Bahru. Perjalanan kurang lebih dua jam. Setibanya di kantor imigrasi, lagu mendiang Broery Marantika yang berjudul Jangan Ada Dusta Di Antara Kita terngiang syahdu …

Oh God, How I miss my country (baca: Oh God, lagu kita laris di sini) …


Bersambung ….

Gimana ya skripsi gue ...

Attack COC kaga ada wifi nih :(

Tidak ada komentar:

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish