Senin, 16 Januari 2012

Kado di Tahun Baru (part1)


25 Nopember 2011
            “Emak ga suka Adi turun ke jalan terus. Emak khawatir ada apa-apa sama kamu, kalo uang jajan kurang, bilang sama emak, gausah ngamen...”
            Adi hanya tertunduk. Bukan pertama kali ia diomeli oleh Emak kesayangannya itu. Emak yang mengurus dia sejak ia bayi hingga ia duduk di bangku SMA kelas 3. Adi tahu Emak angkatnya itu bekerja seharian sebagai buruh cuci dikomplek sebelah. Penghasilannya pun hanya cukup untuk biaya makan dan uang spp bulanan. Tempat yang kini ia tinggali adalah peninggalan ayah angkatnya. Sebuah kontrakan kecil yang terletak dipemukiman perkampungan yang diapit oleh komplek gedong tempat para jutawan tinggal. Adi adalah bayi yang ditemukan sekarat disebuah kotak dus yang ditinggal oleh orang tuanya di musholla. Pasangan mulia itu rela mengasuh bayi mungil itu dan mengurusnya. Semenjak suami Emak meninggal karena penyakit pernafasan yang sudah lama diderita, Emak kini harus bekerja keras. Dan sehari-hari, Adi hanya bisa jajan dari uang hasil mengamen dijalan. Dan kini, Emak tersayangnya mengomeli dia lagi.
            “Kamu ga usah ikut-ikutan si Dudung dan si Emon itu, pergaulanmu itu gak baik nak, jalanan bukan tempat kamu bermain,”
            Adi hanya bisa diam. Ia tahu Emaknya tak pernah memaksa dirinnya untuk membantu mencuci. Bahkan Emaknya akan marah besar bila Adi ikut-ikutan membantunya. Emak tak ingin kewajibannya sebagai ibu diganggu. Adi hanya bisa diam bila emaknya sudah melarang ia untuk tidak membantu. Emak hanya ingin Adi belajar dan mengerjakan tugas sekolahnya.
            “Emak ingin kamu jadi sarjana Di, ga usah ikut nasib emak, biar kamu yang jadi orang besar, emak yang berusaha, “ Emak mengelus kepala Adi lembut. Pakaian yang emak lipat kini sudah rapi dan siap untuk dikembalikan ke pemilik baju.
            Adi tidak lantas mengiyakan apa yang emak mau. Dengan cermat Adi menyerap baik kata-kata Emak yang baru kali ini ia dengar, sarjana. Adi bahkan tak berharap banyak setelah ia lulus dari SMA. Ia tak bisa membayangkan berapa biaya yang akan dikeluarkan bila ia menjadi mahasiswa. Tingginya biaya perkuliahan membuat Adi tak tega melihat emaknya bekerja keras demi uang semesteran agar ia bisa tetap belajar. Sekilas ia menatap mata Emaknya. Ia tertegun sejenak. Mata Emak betul-betul menaruh harapan besar padanya. Ia kini hampir menangis melihat Emak namun ia masih mampu menahan sesak yang muncul di dada. Adi berpikir keras. Apa itu hanya mimpi atau harapan kosong? Ia tak mampu menjawab pertanyaan yang muncul dipikirannya itu.
            “Janji sama Emak ya, kamu gak akan ngamen lagi dijalan, “ Emak kini memberikan perjanjian. Keinginan Emak sudah tidak bisa ia sangkal. Ia tak mampu berdiplomasi lagi.
            Sejenak Adi tak bersuara. Selama ini ia mengamen memang hanya untuk menambah uang jajan yang ia anggap kurang. Tetapi tidak memenuhi keinginan Emak bukanlah keputusan yang tepat pula. Akhirnya ia hanya mampu mengangguk sambil bersuara lirih
            “Ia Mak, Adi janji.”
***      ***      ***
30 Nopember 2011
Suasana kelas kali ini sangat ramai. Bukan karena guru yang mendadak rapat lalu anak-anak leluasa membuat keributan, tetapi pelajaran yang diajarkan menuntut anak-anak untuk bercerita satu sama lain tentang cita-cita mereka. Pelajaran Sejarah yang diajarkan pak Heri selalu memukau murid dengan pekikan dan kata-kata yang membakar semangat. Meski umurnya hampir menyamai umur sekolah ini, Pak Heri tak kalah bersemangat dengan anak muda masalah bercerita dan berorasi. Beliau selalu membawakan pelajaran dengan penuh gairah. Dan tema pergerakan nasional menambah riuhnya teriakan dan tepuk tangan para murid
            “Sukarno muda dulu itu ......
            “Sudah berani berteriak didepan para penjajah......
            “Di Gedung Indonesia menggugat .....
“Di depan para Belanda ......
“Sukarno berteriak lantang ....
“Indonesia memiliki cita-cita luhur .....
“Yaitu Indonesia Merdeka !! ...
“Sukarno tak segan membuka borok Belanda ....
“Tak takut berhadapan dengan musuh ...
“Karena Sukarno memiliki cita-cita tinggi ....
“Indonesia Merdeka !!!! .....”
Teriakan pak Heri disambut oleh pekikan para murid
“MERDEKA !!!”
            “Apa cita-cita kalian anak-anak! Bapak minta kalian ceritakan pada teman sebangku kalian, katakan pada dunia siapa kalian, dan akan menjadi apa kalian nanti!”
            Keriuhan itu membuat anak-anak bersemangat. Mereka seakan lupa dengan kondisi mereka masing-masing. Mereka adalah para murid yang nasibnya sama dengan Adi. Tinggal diperkampungan kumuh yang sering terendam banjir bila hujan deras datang. Dan SMA itu hanya sekolah menengah atas satu-satunya yang ada di perkampungan tempat Adi tinggal. Sekolah yang dihuni oleh anak-anak pemulung, buruh cuci, pembantu, bahkan pengamen jalanan. Para guru pun tak dapat ditentukan kehadirannya. Mereka selalu beralasan yang tak jelas bila hendak meninggalkan kelas. Kenyataannya, mereka sudah tak ingin mengajari anak-anak kampung yang sulit diatur dan diarahkan itu. Tapi itu tak berlaku bagi Pak Heri. Ia selalu bersemangat dalam mengajari mereka meski ia sudah diperbolehkan pensiun. Pengabdiannya yang ikhlas membuat sekolah ini selalu gagal untuk ditutup. Baginya, pendidikan bukan masalah siapa murid atau berapa muridnya. Tetapi siapkah guru dalam mengajar dimanapun dan bagaimanapun.
            “Ayo para pemuda, katakan pada dunia, ingin menjadi apa kalian nanti!”
            Anak-anak mulai berbincang satu sama lain. Ada yang ingin menjadi pilot, dokter, polisi, tentara, tetapi begitu ada yang mengatakan ingin jadi pejabat, semua menyoraki dan meledek.
            “Huuu, bisanya korupsi mereka itu ... huuuuu.
            Adi hanya tersenyum melihat kawannya yang disoraki. Ia kembali berbincang dengan Anna. Teman sebangku dia.
            “Kami ingin jadi apa Anna?”
            “Kalo aku, hmmm aku ingin jadi perawat. Bisa bantu dokter kalo ngurus yang sakit, kalo kamu? “
            Adi yang semula bersemangat kini tiba-tiba diam. Ia teringat kejadian minggu lalu ketika ia diomeli oleh Emaknya. Sebuah keinginan dari orang yang sangat ia cintai. Tetapi ia merasa ragu untuk mengatakannya. Ia sadar ia hanya bermimpi. Ia tak ingin orang yang disayanginya terlalu capek dalam bekerja
            “Apa Adi ? kok bengong?”
            “Eh iya ... hmm aku ... “ Adi tergagap mendengar pertanyaan Anna. Anna tampak heran dengan tingkah Adi yang tidak biasa. Adi memang tidak terlalu banyak bicara. Tapi bukan Adi kalo ia tiba-tiba melamun dan memasang wajah murung.
            “Apa Adi ? kan sama bapak disuruh cerita ....” Anna mencoba menyelidiki .
            “Hmmm aku ingin jadi sarjana, penuhi keinginan Emak.” Adi terdiam. Ia tertunduk dan tak mau mengangkat kepalanya. Ada sesak yang tiba-tiba muncul didadanya. Anna heran melihat tingkah kawannya yang tidak biasa ini.
            “Wahh, hebat cita-cita kamu Di, tetep semangat ya ... “ Anna paham Adi tak ingin banyak ditanyai lagi. Adi terdiam dan senyum dengan terpaksa.
***      ***      ***
            Bel tanda istirahat berbunyi. Semua anak-anak bersorak-sorai sambil keluar kelas untuk istirahat. Tempat jajanan kini dipenuhi oleh para murid. Meski makanan yang dijual sederhana , para murid tetap menyambangi kantin yang tidak terlalu besar itu. Jajanan yang paling penuh diisi oleh para murid adalah cakue mini. Bukan saja karena cakue yang dijual lembut dan gurih, tapi bapak penjual cakue memiliki anak perempuan yang cantik. Para siswa selalu menggoda anak penjual cakue itu, dan si bapak hanya tersenyum melihat tingkah kocak para siswa.
Adi berjalan menyusuri lorong sekolah. Ia masih teringat dengan kata-kata Pak Heri tadi, cita-cita. Ia merasa bingung apakah cita-cita hanya dimilki oleh orang-orang yang berkecukupan, dan apakah orang seperti dia tak memiliki hak untuk itu ? Atau cita-cita adalah barang mahal yang dapat diambil oleh siapa saja. Ia selalu merasa bersalah bila ia memiliki cita-cita dan harapan yang terlalu tinggi. Beban Emak pasti semakin berat bila ia mulai berkeinginan yang aneh-aneh. Bahkan dulu untuk lanjut ke SMA pun Adi sudah sering meminta keluar dan memilih membantu Emak bekerja sebagai buruh cuci. Dan Emak berkali-kali menolak keinginannya dan memaksa Adi untuk terus sekolah. Emak yang sangat dicintainya itu berjuang keras untuknya.
 Sekilas ia berhenti di mading kelas, dan ia terpaku pada sebuah pamflet yang tertempel di majalah dinding yang  sudah reyot itu.
“LOMBA MENULIS ESSAI BERHADIAH BEASISWA”
            Mata Adi berbinar ketika melihat info tersebut. Ia membaca huruf demi huruf dari pamflet yang tertempel. Lomba itu disponsori oleh salah satu perusahaan minyak di negeri ini. Disitu dikatakan, pemenang juara satu akan mendapatkan sejumlah uang untuk beasiswa masuk perguruan tinggi. Meski penerimaan mahasiswa baru masih satu semester lagi, pihak penyelenggara menetapkan moment tahun baru untuk memeriahkan acara itu. Lomba itu sengaja diadakan untuk memicu minat siswa dalam berkreasi. Adi mengingat-ingat tanggal hari ini. Hari ini tanggal tiga puluh Nopember. Pengumpulan naskar terakhir tanggal 25 Desember. Dan pengumuman lomba akan diumumkan tanggal satu sampai lima Januari. Ia masih berkesempatan untuk mengikuti lomba. Ia teringat hari ulang tahun Emak kesayangannya, tanggal satu Januari. Ulang tahun Emak memang selalu ramai karena bertepatan dengan tahun baru. Tapi Emak tidak pernah merayakannya. Adi membaca informasi dari awal hingga akhir, tetapi ia kembali tertunduk dan sedikit kecewa
            “Pendaftaran dikenakan Rp35.000,- tiap karya.”
            Lagi-lagi Adi tertunduk. Ia merasa kesal dengan informasi ini. Mengapa selalu ada biaya bila ingin ikut lomba ? lirih Adi dalam hati. Mata Adi melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak ada yang melihat dan tidak ada  yang berjalan dilorong sekolah saat itu. Para murid lebih banyak berada di tempat jajan dan lapangan basket.
            “srreeeekk!”
            Adi mencabut kertas pamflet itu dan melipatnya. Ia  memasukannya kedalam saku celana dan bergegas menuju kelas sebelum ada orang lain yang datang. Buru-buru Ia memasuki ruangan kelas dan duduk di kursinya. Dikeluarkanlah pamflet itu dari saku celananya.  Dibacalah informasi itu dan kembali berpikir bagaimana caranya ia bisa mengikuti lomba itu. Meminta uang kepada Emak mungkin bukan pilihan yang tepat. Setelah lama ia termenung, ia mendapatkan ide meski ia tahu itu akan ditentang oleh Emak kesayangannya, bila emak tahu.
            “Oke ... Sip.” Adi mengepalkan tangannya dan tersenyum lebar. Sebuah kejutan untuk emak tersayang telah ia rencanakan. Dan ia tak ingin Emak tahu.
***      ***      ***
            5 Desember 2011
“Adi mau kerja kelompok Mak, abis ashar Adi mau pergi kerumah temen di kampung sebelah,” Sambil merapikan buku dan tas, Adi meminta izin kepada emak.
            “Mau pulang jam berapa Di? Biar nanti kamu pulang Emak siapin kamu makan,” emak yang sedang menyetrika baju sedikit mengangkat suaranya. Mereka terpisah oleh triplek tipis yang sudah lapuk.
            “Mungkin agak malem Mak, abis Isya.” Adi berjalan mendekati Emaknya. Ia menyandarkan tubuhnya didekat plafon pintu.
            “Yaudah Emak izinkan. Udah solat ashar kamu Di?” mata Emak tetap tertuju pada tumpukan cucian yang harus ia lipat.
“Iyaa mak, sebentar lagi. Nunggu adzan dulu.” Adi tersenyum lebar. Ia merasa senang  diperbolehkan untuk keluar rumah setelah solat Ashar. Bergegaslah ia menuju musholla di sebelah rumah. Menuju tempat wudhu dan membasuh wajah, lengan, rambut dan kakinya. Lalu memasuki musholla dan duduk menunggu adzan Ashar.
 Kumandang adzan Ashar yang dilantunkan Bilal menyeruak seantero kampung. Ditengah berbagai permasalahan yang terjadi, diantara kerja keras yang diusahakan, Tuhan memberikan waktu dan ruang bagi hambanya untuk menyegarkan hati dan pikiran kembali. Sebuah ibadah yang ditetapkan Tuhan dengan waktu dan kaifiatnya. Disitulah hati hamba dan Tuhannya berinteraksi.  Memberikan secercah cahaya bagi hati yang muram. Menyalakan optimisme bagi  pikiran yang pesimis. Tuhan selalu ada bagi hambaNya yang berusaha dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Dan menjanjikan bagi siapapun bahwa rezekinya sudah ditanggung di tangan Yang Maha Kuasa. Ia membagikannya dengan adil sesuai dengan  niat dan usahanya. Dan perhitungannya bukanlah teorema aljabar yang dapat dipelajari. Bukan pula tatanan rumus trigonometri, ataupun persamaan kuadrat. Tetapi perhitungan Tuhan adalah kalkulasi karunia dan rahmatNya. Yang selalu didasari cintaNya pada makhlukNya. Bahwa rahman dan rahimNya diperuntukan bagi hamba yang selalu mengingatNya. Dikala susah ataupun senang.
 Iqomah dikumandangkan. Adi berdiri dan mengambil shaff terdepan. Tampak tiga baris jama’ah sudah siap untuk menunaikan ibadah solat Ashar. Gema takbir membahana disekeliling musholla. Tasbih dan tahmid pun dibacakan dalam hati. Mereka tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Melupakan segala permasalahan sejenak dan menambatkan hati pada Sang Maha Kuasa. Menundukan segala ego dan kegelisahan hati setelah bekerja seharian. Memohon petunjuk dan arahan agar selalu tabah dalam setiap permasalahan kehidupan.
Setelah solat, Adi buru-buru kembali kerumah dan bersiap untuk berangkat. Ia memasukkan sarung, baju, buku, dan topi kekantongnya. Ia memeriksa setiap bawaan yang akan ia bawa. Setelah semuanya siap ,Adi keluar kamar dan meminta izin kepada Emaknya tersayang.
  Adi menyalami Emak dan mencium punggung tangannya. Ia pamit dan bergegas keluar rumah. Langkah kakinya sedikit terburu-buru. Setelah ia lepas dari pandangan Emak, ia berbelok menuju salah satu warung kopi disudut gang. Seorang pemuda yang sedang melayani pembeli menyambutnya dengan lambaian tangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
            “Kang Maman, gitarnya Adi ambil ya, “ Adi mendekati orang yang ia panggil Kang Maman itu.
            “Oh ambil tah disana , dibawah rak, mau jalan kemana lagi Di?” tanpa menatap Adi, Kang Maman menanyainya meski ia sedang sibuk mondar-mandir menyajikan kopi bagi para pembeli.
            “Paling ke Cicaheum kang.“ Adi memeriksa setelan nada gitar sambil memainkan beberapa kunci gitar.
            “Oh sok atuh.“ kang Maman berdiri tegak didepan Adi. Ia menepuk pundak Adi dengan tangan kanannya
            “Akang dukung Adi ... semangat Di!” pekik Kang Maman. Adi tersenyum lebar. Pada Kang Maman lah Adi mengutarakan rencananya itu. Gitar Kang Maman pun dipinjamkan padanya agar Adi bisa berkreasi dengan baik. Gitar tua tetapi masih memiliki suara yang indah. Kang Maman bilang gitar itu milik Iwan Fals ketika masih muda. Adi percaya tak percaya menanggapi hal itu. Mana mungkin Iwan Fals bisa terdampar di kampung kecil ini. Dan ia hanya meng-iyakan agar Kang Maman mau mengajarinya beberapa lagu untuk ia nyanyikan.
            “Adi berangkat ya Mang.“ Adi bergegas meninggalkan Kang Maman yang mengacungkan jempol padanya. Ia tersenyum pada Kang Maman dan mempercepat langkahnya agar bisa naik bus kota menuju terminal Cicaheum. Dalam hati Adi berkata
            “Emak, anakmu pasti bisa .... “
***      ***      ***
            Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali semua yang terlah terjadi
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang  berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
…..
Petikan senar gitar menghiasi perjalanan para penumpang dari terminal Kebon Kalapa menuju Cicaheum. Cahaya matahari sore membelai wajah-wajah penuh peluh setelah seharian bekerja. Keringat menetes dari kening salah satu penumpang yang duduk dekat dengan jendela. Tidak biasanya di musim hujan seperti ini Bandung ditemani lembayung sore. Deru mesin mobil dan sesekali rem mendadak membuat para penumpang harus menahan mual yang muncul dari ulu hati. Terdengar beberapa penumpang yang mengomel karena kelakuan si supir bus. Namun itu semua tidak berlaku bagi Adi. Ia terus menyanyikan bait demi bait dari syair lagu yang ia bawakan. Petikan gitar akustik dan suara merdunya seakan menyihir bus DAMRI menjadi sebuah kafe yang diiringi dengan lagu-lagu klasik. Beberapa penumpang ikut menyanyikan lagu yang dibawakan Adi.
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Jangan menyerah jangan menyerah
Jangan menyerah ….
Sore ini ia nekat kembali turun ke jalanan dan mengamen dari bus ke bus. Ia mengharapkan akan mendapat uang tambahan agar bisa mendaftar untuk mengikuti lomba menulis yang sudah ia rencanakan. Mungkin bukan hanya sore ini ia harus turun ke jalan. Beberapa hari kedepan ia sudah berniat untuk kembali turun ke jalan dan mencari alasan agar tidak ketahuan Emak. Emak pasti marah besar bila tahu Adi kembali turun ke jalanan. Tapi kali ini Adi memiliki alasan berbeda. Ia tidak lagi mencari uang untuk menambah  uang jajannya. Sebuah kejutan akan ia persembahkan bagi Emaknya tersayang di tahun baru nanti.
“Terima kasih bapak ibu penumpang atas perhatiannya, selamat menikmati perjalanan dan semoga selamat sampai tujuan.” Adi menyudahi konser dadakannya itu dan menyodorkan sebuah gelas air mineral kosong ketiap penumpang.
“Terima kasih bu, terima kasih pak.“ beberapa uang receh masuk kedalam gelas. Ada beberapa uang seribuan lembar yang ikut masuk.
Setelah bus tiba pada salah satu halte, ia turun bersama para penumpang yang ikut keluar. Ia terdiam sejenak sambil menghitung uang yang sudah ia dapat dari hasil mengamen tadi.
Alhamdulillah, tiga ribu.”
Butuh tiga puluh dua ribu lagi untuk Adi agar bisa mengikuti lomba. Dan ini adalah hari pertamanya  ia mengumpulkan uang dari hasil  mengamen. Ia melihat sekeliling halte. Tidak ada bus lain yang mengetem. Sambil merapikan uang dan memasukannya kedalam dompet lusuhnya, Adi melihat sebuah  angkot yang sudah mulai dipenuhi penumpang. Tidak ada bus angkot pun jadi. Akhirnya Adi turun dan mendekati sebuah angkot yang sedang menunggu penumpang.
Assalamualaikum bapak ibu, mohon maaf mengganggu perjalanannya.” Adi berdiri didepan pintu masuk angkutan umum dan mulai menyanyikan sebuah lagu.
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki panuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas
Ibu
Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan fals ini menggetarkan hati Adi. Ia teringat bagaimana Emaknya dirumah. Seorang wanita paruh baya yang rela berpeluh agar anaknya mampu belajar dan duduk mengenyam bangku pendidikan. Ia ingat betul ketika Emak terserang TBC ,seperti almarhum Abah dulu, Emak tetap bekerja demi uang SPP yang sudah tiga bulang ia tunggak. Adi tak mampu menahan sesak yang muncul didadanya. Beberapa penumpang yang mendengar lagu yang dibawakan Adi ikut terdiam. Air mata menetes dari seorang penumpang wanita yang duduk paling dekat dengan pintu keluar mobil angkutan. Ia terisak dan mengusap matanya dengan tissue sambil menutup mulutnya. 
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sluruh tubuhku
Dengan apa ku membalas
Lantunan suara Adi mengalun merdu. Sebuah lagu yang mengingatkan siapapun pada seorang yang sangat berarti keberadaannya. Seorang manusia yang dikirim Tuhan untuk menjaga dan memberikan kasih sayang. Seorang yang rela mengorbankan segala kebahagiaanya demi anak yang ia cintai. Seorang yang selalu mendoakan meski yang didoakan telah terlelap dalam tidur. Seorang yang selalu memberi semangat untuk bangkit disaat terjatuh dan tersungkur. Disaat semua menjauhi dan memusuhi, hanya ia yang selalu menemani. Dia adalah orang yang paling berjasa bagi setiap ayah didunia. Orang yang paling berjasa bagi setiap anak didunia.
Ibu ……
Adi kembali menyodorkan gelas air mineral kosong ke setiap penumpang yang duduk di angkutan umum tersebut. Beberapa wanita merogoh kantong cangklongannya dan mengeluarkan uang lembaran dan memasukannya ke gelas kosong itu. Wanita yang tadi sempat meneteskan air mata  memasukan selembar uang dua ribuan. Adi mengucapkan terima kasih dan meninggalkan angkutan umum itu. Supir yang tadi duduk disebuah kios kecil ditepi halte mulai beranjak dan menyalakan mesin mobil. Angkot itu melaju meninggalkan Adi yang sudah berdiri ditepi trotoar. Ia mengumpulkan uang yang ia dapatkan dan memasukannya kedalam dompet lusuhnya
Alhamdulillah ya Allah, delapan ribu …”
Adi menengok pada jam dinding yang tertempel di halte bus. Jam menunjukan pukul 17.45. Segera ia menaiki bus selanjutnya. Dan pergi menuju terminal Cicaheum .
***      ***      ***
Selepas menunaikan solat magrib, Adi duduk selonjoran di musholla terminal Cicaheum. Ia menghitung kembali uang yang ia dapat dari hasil mengamen. Seribu, dua ribu, tiga ribu dan … Alhamdulillah kini ia mengumpulkan uang sejumlah sebelas ribu. Lumayan, lirih Adi dalam hati, Mungkin ia tidak akan terlalu lama mengamen untuk mengumpulkan uang pendaftaran demi mengikuti lomba. Dan setelah ini ia akan pulang kerumah tidak sambil mengamen. Terlalu beresiko bila malam-malam mengamen. Tidak semua orang suka kebisingan di malam hari.
Ardi menaiki bus DAMRI menuju terminal Kebon Kalapa. Ia sengaja mengambil kursi terdekat dengan pintu keluar. Kali ini ia menjadi seorang penumpang yang resmi membayar ongkos perjalanan. Tidak sebagai seorang pengamen. Sepenjang jalan, Adi sudah sibuk memikirkan apa yang akan ia tulis untuk mengikuti lomba . Tema yang akan ia tulis berkaitan dengan isu sosial tentang pemberdayaan remaja dikalangan kurang mampu. Sebuah isu sosial yang ia sendiri berada didalamnya. Ia berpikir  bahwa harus ada sebuah gerakan yang didorong oleh para pemuda untuk memberdayakan remaja yang kurang mampu. Yang ia tahu, berbagai konferensi, forum pelajar, lomba tingkat nasional maupun internasional lebih banyak didominasi oleh mereka yang mampu. Kalangan kurang mampu hanya minoritas dan tidak terlalu menonjol. Harus ada sebuah gerakan untuk mendorong kaum minoritas agar mampu tampil ke permukaan. Sebuah ide cemerlang kini muncul di kepala Adi.
Bus sampai di terminal Kebon Kalapa. Adi turun bersama para penumpang lainnya. Ia segera bergegas menuju salah satu angkot yang menuju perkampungannya. Tak sampai dua puluh menit, Adi telah tiba pada gang sempit dan lorong-lorong dekat gubuk yang ia tinggali. Ia turun dan membayar ongkos pada supir. Lalu bergegas menuju gang tersebut dan berjalan ke salah satu warung kopi tempat Kang Maman berjualan. Ia mengucapkan salam dan duduk dikursi bersama para pembeli lain.
Kumaha Di? Banyak dapet hari ini?” Kang Maman keluar dari balik tirai. Ia menjinjing beberapa gelas yang baru ia cuci.
“Alhamdulillah Kang, dapet sebelas ribu, dipotong ongkos jadi tinggal delapan ribu mang,
“Hmm .. mau minum Di ? ngeteh?” Kang Maman menyodorkan segelas teh manis hangat untuk Adi.
Nuhun Kang, mungkin besok ga akan ngamen dulu kayanya Kang.” Adi menyeruput teh yang masih hangat itu. Tenggorokannya terasa hangat.
 “Kenapa emang Di?”
“Yaa ..  ini kang, Adi harus mulai nulis, lombanya lumayan berat,setengah gelas teh sudah masuk ke tenggorokannya.
“Ohh.. emang mau nulis tema apa ?”
“Pergerakan pemuda kang, tentang gerakan pemberdayaan pemuda saat ini.” Adi mengeluarkan dompetnya dan hendak membayar pada Kang Maman
“Eh eh, udah gak usah, eehhh kenapa atuh Adi, udah itung-itung Akang juga bantu Adi kan, udah gausah bayar!” Kang Maman menolak dan menahan sodoran uang yang hendak dibayar oleh Adi.
“Duuh, makasih atuh Kang, Adi mau pulang atuh ya .. emak udah nunggu kayaknya  mah,
“Sip sip. Sok sing sukses nya.
Setelah Adi mengembalikan gitar pada Kang Maman, ia pulang ke rumah yang ia rindukan itu. Emak pasti sudah menunggu dirumah. Makan malam pasti sudah tersedia diatas meja. Perut Adi keroncongan menahan lapar sejak tadi sore. Otak adi seliweran membayangkan apa yang akan dimasak emak. Tumis kangkung? Ikan tongkol? atau tempe goreng kesukaannya? Mulut Adi mendadak dibasahi liur. Ia segera mempercepat langkahnya tiba didepan rumah dan membuka pintu.
Assalamualaikum Mak !”
Wa alaikum salam!
Adi mencium tangan emak. Dari mulai masuk pintu tadi hidungnya sudah mencium bau masakan dari atas meja. Perut keroncongannya sudah mulai memberontak ingin diisi makanan. Setelah mencuci tangan dan mengganti baju, ia menuju meja makan dan membuka tudung saji.
“Wahhhh .. tumben Mak masak cumi-cumi? “ Mata Adi berbinar melihat masakan yang sudah Emak buat.
Alhamdulillah Di, dikasih sama bu Makmur pas tadi emak nyuci disana. Lagi ada selametan. emak
disuruh bawa berkat tuh,” Emak mengambilkan satu centong nasi untuk Adi.
“Wahhh … pasti enak ini,
“Tadi belajar apa Di?” Emak menanyai Adi. Sebetulnya Emak tidak curiga dengannya yang pergi keluar rumah dan baru pulang malam hari.
Adi tersedak. Ia mengambil segelas air minum dan meneguknya cepat. Emak hanya geleng-geleng melihat Adi yang makan tergesa-gesa.
“Oh, tadi Mak, tadi Adi diskusi tentang pergerakan pemuda Mak.” Adi berpikir keras. Kata-kata yang ia keluarkan tidak boleh menampakkan keraguan.
“Diskusi apa Di? Kok sampai malam begini?
“Ehh itu mak, Adi ada tugas buat essai. Temanya tentang pergerakan pemuda. Jadi butuh banyak inspirasi mak. Gitu…” Kata-kata itu keluar dengan lancar dari mulut Adi. Apa ia berbohong? Adi meyakinkan tidak. Tadi ia sedikit menceritakan pada Kang Maman tentang apa yang menjadi idenya. Ya, hanya sedikit. Dan tepatnya hanya memberi tahu, bukan diskusi ataupun jejak pendapat.
“Ohh, yasudah sana makan yang banyak. emak mau nyetrika baju dulu. Baju bu Andika belum beres emak setrika.” Emak beranjak dari meja makan mungil itu. Adi menghela napas panjang. Sepeninggal Emak, Adi mencomot satu potong besar cumi-cumi dan memasukkanya ke mulutnya. Rasa lapar telah menyihirnya menjadi seorang monster rakus.
Setelah makan dan menunaikan solat Isya, Adi mulai berkonsentrasi dengan ide yang akan ia tulis. Ia mencoba merangkai huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Sebuah ide tentang pergerakan pemuda untuk memberdayakan pemuda yang lain. Dengan berbagai isu dan permasalahan yang terjadi dikalangan pemuda, Adi berpikir harus ada tindakan nyata untuk membantu sesama pemuda yang terhimpit dalam kesulitan. Dalam lantunan kata, dalam irama kalimat, Adi tenggelam dalam ukiran gagasan diatas secarik kertas. Yang kini ia tulis dan ia beri judul
GERAKAN PEMUDA MASA DEPAN
***      ***      ***

2 komentar:

Sandi Juandi mengatakan...

November apa Nopember?

Sandi Juandi mengatakan...

Eh, salah, kan bahasa Indonesia ya... :D
Cerepn yang menarik... :)
Keep writing... :)

Translate it

ChineseFrenchGermanItalianJapaneseEnglishRussianSpanish