25 Nopember 2011
“Emak ga suka Adi
turun ke jalan terus. Emak khawatir ada apa-apa sama kamu, kalo uang jajan
kurang, bilang sama emak, gausah ngamen...”
Adi hanya
tertunduk. Bukan pertama kali ia diomeli oleh
Emak kesayangannya itu. Emak yang mengurus dia sejak ia bayi hingga ia duduk di
bangku SMA kelas 3. Adi tahu Emak angkatnya itu bekerja seharian sebagai buruh
cuci dikomplek sebelah. Penghasilannya pun hanya cukup untuk biaya makan dan
uang spp bulanan. Tempat yang kini ia tinggali adalah peninggalan ayah
angkatnya. Sebuah kontrakan kecil yang terletak dipemukiman perkampungan yang
diapit oleh komplek gedong tempat para jutawan tinggal. Adi adalah bayi yang
ditemukan sekarat disebuah kotak dus yang ditinggal oleh orang tuanya di
musholla. Pasangan mulia itu rela mengasuh bayi mungil itu dan mengurusnya. Semenjak
suami Emak meninggal karena penyakit pernafasan yang sudah lama diderita, Emak
kini harus bekerja keras. Dan sehari-hari, Adi hanya bisa jajan dari uang hasil
mengamen dijalan. Dan kini, Emak tersayangnya mengomeli dia lagi.
“Kamu ga usah
ikut-ikutan si Dudung dan si Emon itu, pergaulanmu itu gak baik nak, jalanan
bukan tempat kamu bermain,”
Adi hanya bisa
diam. Ia tahu Emaknya tak pernah memaksa dirinnya untuk membantu mencuci.
Bahkan Emaknya akan marah besar bila Adi ikut-ikutan membantunya.
Emak tak ingin kewajibannya sebagai ibu diganggu. Adi hanya bisa diam bila
emaknya sudah melarang ia untuk tidak membantu. Emak hanya ingin Adi belajar
dan mengerjakan tugas sekolahnya.
“Emak ingin kamu
jadi sarjana Di, ga usah ikut nasib emak, biar kamu yang jadi orang besar, emak
yang berusaha, “ Emak mengelus kepala Adi lembut. Pakaian yang emak lipat kini
sudah rapi dan siap untuk dikembalikan ke pemilik baju.
Adi tidak lantas
mengiyakan apa yang emak mau. Dengan cermat Adi menyerap baik kata-kata Emak
yang baru kali ini ia dengar, sarjana. Adi
bahkan tak berharap banyak setelah ia lulus dari SMA. Ia tak bisa membayangkan
berapa biaya yang akan dikeluarkan bila ia menjadi mahasiswa. Tingginya biaya
perkuliahan membuat Adi tak tega melihat emaknya bekerja keras demi uang semesteran
agar ia bisa tetap belajar. Sekilas ia menatap mata Emaknya. Ia tertegun
sejenak. Mata Emak betul-betul menaruh harapan besar padanya. Ia kini hampir
menangis melihat Emak namun ia masih mampu menahan sesak yang muncul di dada. Adi
berpikir keras. Apa itu hanya mimpi atau harapan kosong? Ia tak mampu menjawab
pertanyaan yang muncul dipikirannya itu.
“Janji sama Emak
ya, kamu gak akan ngamen lagi dijalan, “ Emak kini memberikan perjanjian.
Keinginan Emak sudah tidak bisa ia sangkal. Ia tak mampu berdiplomasi lagi.
Sejenak Adi tak
bersuara. Selama ini ia mengamen memang hanya untuk menambah uang jajan yang ia
anggap kurang. Tetapi tidak memenuhi keinginan Emak bukanlah keputusan yang
tepat pula. Akhirnya
ia hanya mampu mengangguk sambil bersuara lirih
“Ia Mak, Adi janji.”
*** *** ***
30 Nopember 2011
Suasana kelas kali ini sangat ramai. Bukan karena guru yang
mendadak rapat lalu anak-anak leluasa membuat keributan, tetapi pelajaran yang diajarkan menuntut anak-anak untuk bercerita satu sama lain tentang cita-cita mereka. Pelajaran Sejarah
yang diajarkan pak Heri selalu memukau murid dengan pekikan dan kata-kata yang
membakar semangat. Meski umurnya hampir menyamai umur sekolah ini, Pak Heri tak
kalah bersemangat dengan anak muda masalah bercerita dan berorasi. Beliau
selalu membawakan pelajaran dengan penuh gairah. Dan tema pergerakan nasional
menambah riuhnya teriakan dan tepuk tangan para murid
“Sukarno muda dulu
itu ......”
“Sudah berani
berteriak didepan para penjajah......”
“Di Gedung
Indonesia menggugat .....”
“Di depan para Belanda ......”
“Sukarno berteriak lantang ....”
“Indonesia memiliki cita-cita luhur .....”
“Yaitu Indonesia Merdeka !! ...”
“Sukarno tak segan membuka borok Belanda ....”
“Tak takut berhadapan dengan musuh ...”
“Karena Sukarno memiliki cita-cita tinggi ....”
“Indonesia Merdeka !!!! .....”
Teriakan pak Heri disambut oleh pekikan para murid
“MERDEKA !!!”
“Apa cita-cita
kalian anak-anak! Bapak minta kalian ceritakan pada teman sebangku kalian,
katakan pada dunia siapa kalian, dan akan menjadi apa kalian nanti!”
Keriuhan
itu membuat anak-anak bersemangat. Mereka seakan lupa dengan kondisi mereka
masing-masing. Mereka adalah para murid yang nasibnya sama dengan Adi. Tinggal
diperkampungan kumuh yang sering terendam banjir bila hujan deras datang. Dan SMA
itu hanya sekolah menengah atas satu-satunya yang ada di perkampungan tempat
Adi tinggal. Sekolah yang dihuni oleh anak-anak pemulung, buruh cuci, pembantu,
bahkan pengamen jalanan. Para guru pun tak dapat ditentukan kehadirannya. Mereka selalu beralasan yang tak jelas bila hendak meninggalkan
kelas. Kenyataannya, mereka sudah tak ingin mengajari anak-anak kampung yang sulit
diatur dan diarahkan itu. Tapi itu tak
berlaku bagi Pak Heri. Ia selalu bersemangat dalam mengajari mereka meski ia sudah
diperbolehkan pensiun. Pengabdiannya yang ikhlas membuat sekolah ini selalu
gagal untuk ditutup. Baginya, pendidikan bukan masalah siapa murid atau berapa
muridnya. Tetapi siapkah guru dalam mengajar dimanapun dan bagaimanapun.
“Ayo para pemuda,
katakan pada dunia, ingin menjadi apa kalian nanti!”
Anak-anak mulai
berbincang satu sama lain. Ada yang ingin menjadi pilot, dokter, polisi,
tentara, tetapi begitu ada yang mengatakan ingin jadi pejabat, semua menyoraki
dan meledek.
“Huuu, bisanya
korupsi mereka itu ... huuuuu.”
Adi hanya
tersenyum melihat kawannya yang disoraki. Ia kembali berbincang dengan Anna.
Teman sebangku dia.
“Kami ingin jadi
apa Anna?”
“Kalo aku, hmmm
aku ingin jadi perawat. Bisa bantu dokter kalo ngurus yang sakit, kalo kamu? “
Adi yang semula
bersemangat kini tiba-tiba diam. Ia teringat kejadian minggu lalu ketika ia
diomeli oleh Emaknya. Sebuah keinginan dari orang yang sangat ia cintai. Tetapi
ia merasa ragu untuk mengatakannya. Ia sadar ia hanya bermimpi. Ia tak ingin
orang yang disayanginya terlalu capek dalam bekerja
“Apa Adi ? kok
bengong?”
“Eh iya ... hmm
aku ... “ Adi tergagap mendengar pertanyaan Anna. Anna tampak heran dengan
tingkah Adi yang tidak biasa. Adi memang tidak terlalu banyak bicara. Tapi
bukan Adi kalo ia tiba-tiba melamun dan memasang wajah murung.
“Apa Adi ? kan
sama bapak disuruh cerita ....” Anna mencoba menyelidiki .
“Hmmm aku ingin jadi
sarjana, penuhi keinginan Emak.” Adi terdiam. Ia tertunduk dan tak mau mengangkat
kepalanya. Ada sesak yang tiba-tiba muncul didadanya. Anna heran melihat
tingkah kawannya yang tidak biasa ini.
“Wahh, hebat
cita-cita kamu Di, tetep semangat ya ... “ Anna paham Adi tak ingin banyak
ditanyai lagi. Adi terdiam dan senyum dengan terpaksa.
*** *** ***
Bel tanda
istirahat berbunyi. Semua anak-anak bersorak-sorai sambil keluar kelas untuk
istirahat. Tempat jajanan kini dipenuhi oleh para murid. Meski makanan yang
dijual sederhana , para murid tetap menyambangi kantin yang tidak terlalu besar
itu. Jajanan
yang paling penuh diisi oleh para murid adalah cakue mini. Bukan saja karena
cakue yang dijual lembut dan gurih, tapi bapak
penjual cakue memiliki anak perempuan yang cantik. Para siswa selalu menggoda
anak penjual cakue itu, dan si bapak hanya tersenyum melihat tingkah kocak para
siswa.
Adi berjalan menyusuri lorong sekolah. Ia masih teringat dengan kata-kata Pak Heri tadi, cita-cita.
Ia merasa bingung apakah cita-cita hanya dimilki oleh orang-orang
yang berkecukupan, dan apakah orang seperti dia tak memiliki hak untuk itu ? Atau
cita-cita adalah barang mahal yang dapat diambil oleh siapa saja. Ia selalu merasa bersalah bila ia memiliki cita-cita dan harapan yang
terlalu tinggi. Beban Emak pasti semakin berat bila ia mulai berkeinginan yang
aneh-aneh. Bahkan dulu untuk lanjut ke SMA pun Adi sudah sering meminta keluar
dan memilih membantu Emak bekerja sebagai buruh cuci. Dan Emak berkali-kali menolak
keinginannya dan memaksa Adi untuk terus sekolah. Emak yang sangat dicintainya
itu berjuang keras untuknya.
Sekilas ia berhenti di
mading kelas, dan ia terpaku pada sebuah pamflet yang tertempel di majalah
dinding yang sudah reyot itu.
“LOMBA MENULIS ESSAI BERHADIAH
BEASISWA”
Mata Adi berbinar
ketika melihat info tersebut. Ia membaca huruf demi huruf dari pamflet yang
tertempel. Lomba itu disponsori oleh salah satu perusahaan minyak di negeri
ini. Disitu dikatakan, pemenang juara satu akan mendapatkan
sejumlah uang untuk beasiswa masuk perguruan tinggi. Meski penerimaan mahasiswa
baru masih satu semester lagi, pihak penyelenggara menetapkan moment tahun baru
untuk memeriahkan acara itu. Lomba itu sengaja diadakan untuk memicu minat
siswa dalam berkreasi. Adi mengingat-ingat tanggal hari ini. Hari ini tanggal tiga puluh Nopember. Pengumpulan naskar terakhir tanggal 25 Desember. Dan
pengumuman lomba akan diumumkan tanggal satu sampai lima Januari. Ia masih
berkesempatan untuk mengikuti lomba. Ia teringat hari ulang tahun Emak
kesayangannya, tanggal satu Januari. Ulang tahun Emak memang selalu ramai karena bertepatan
dengan tahun baru. Tapi Emak tidak pernah merayakannya. Adi membaca informasi
dari awal hingga akhir, tetapi ia kembali tertunduk dan sedikit kecewa
“Pendaftaran
dikenakan Rp35.000,- tiap karya.”
Lagi-lagi Adi
tertunduk. Ia merasa kesal dengan informasi ini. Mengapa selalu ada biaya bila
ingin ikut lomba ? lirih Adi dalam hati. Mata Adi melirik ke kiri dan ke kanan. Tidak
ada yang melihat dan tidak ada yang
berjalan dilorong sekolah saat itu. Para murid lebih banyak berada di tempat
jajan dan lapangan basket.
“srreeeekk!”
Adi mencabut
kertas pamflet itu dan melipatnya. Ia
memasukannya kedalam saku celana dan bergegas menuju kelas sebelum ada
orang lain yang datang. Buru-buru Ia memasuki ruangan kelas dan duduk di
kursinya. Dikeluarkanlah pamflet itu dari saku celananya. Dibacalah informasi itu dan kembali berpikir bagaimana
caranya ia bisa mengikuti lomba itu. Meminta uang kepada Emak mungkin bukan
pilihan yang tepat. Setelah lama ia termenung, ia mendapatkan ide meski ia tahu
itu akan ditentang oleh Emak kesayangannya, bila emak tahu.
“Oke ... Sip.” Adi
mengepalkan tangannya dan tersenyum lebar. Sebuah kejutan untuk emak
tersayang telah ia rencanakan. Dan ia tak ingin Emak tahu.
*** *** ***
5 Desember 2011
“Adi mau kerja kelompok Mak,
abis ashar Adi mau pergi kerumah temen di kampung sebelah,” Sambil merapikan
buku dan tas, Adi meminta izin kepada emak.
“Mau pulang jam
berapa Di? Biar nanti kamu pulang Emak siapin kamu makan,” emak yang sedang menyetrika
baju sedikit mengangkat
suaranya. Mereka
terpisah oleh triplek tipis yang sudah lapuk.
“Mungkin agak
malem Mak, abis Isya.” Adi berjalan mendekati Emaknya. Ia menyandarkan tubuhnya
didekat plafon pintu.
“Yaudah Emak
izinkan. Udah solat ashar kamu Di?” mata Emak tetap tertuju pada tumpukan
cucian yang harus ia lipat.
“Iyaa mak, sebentar lagi.
Nunggu adzan dulu.” Adi tersenyum lebar. Ia merasa senang diperbolehkan untuk keluar rumah setelah solat
Ashar. Bergegaslah ia menuju musholla di sebelah rumah. Menuju tempat wudhu dan membasuh
wajah, lengan, rambut dan kakinya. Lalu memasuki
musholla dan duduk menunggu adzan Ashar.
Kumandang adzan Ashar yang
dilantunkan Bilal menyeruak seantero kampung. Ditengah berbagai permasalahan
yang terjadi, diantara kerja keras yang diusahakan, Tuhan memberikan waktu dan
ruang bagi hambanya untuk menyegarkan hati dan pikiran kembali. Sebuah ibadah
yang ditetapkan Tuhan dengan waktu dan kaifiatnya. Disitulah hati hamba
dan Tuhannya berinteraksi. Memberikan
secercah cahaya bagi hati yang muram. Menyalakan optimisme bagi pikiran yang pesimis. Tuhan selalu ada bagi
hambaNya yang berusaha dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Dan menjanjikan bagi
siapapun bahwa rezekinya sudah ditanggung di tangan Yang Maha Kuasa. Ia membagikannya
dengan adil sesuai dengan niat dan
usahanya. Dan perhitungannya bukanlah teorema aljabar yang dapat dipelajari.
Bukan pula tatanan rumus trigonometri, ataupun persamaan kuadrat. Tetapi
perhitungan Tuhan adalah kalkulasi karunia dan rahmatNya. Yang selalu didasari
cintaNya pada makhlukNya. Bahwa rahman dan rahimNya diperuntukan bagi hamba
yang selalu mengingatNya. Dikala susah ataupun senang.
Iqomah dikumandangkan. Adi
berdiri dan mengambil shaff terdepan. Tampak tiga baris jama’ah sudah siap
untuk menunaikan ibadah solat Ashar. Gema takbir membahana disekeliling
musholla. Tasbih dan tahmid pun dibacakan dalam hati. Mereka tenggelam dalam
kekhusyukan ibadah. Melupakan segala permasalahan sejenak dan menambatkan hati
pada Sang Maha Kuasa. Menundukan segala ego dan kegelisahan hati setelah
bekerja seharian. Memohon petunjuk dan arahan agar selalu tabah dalam setiap
permasalahan kehidupan.
Setelah solat, Adi buru-buru
kembali kerumah dan bersiap untuk berangkat. Ia memasukkan sarung, baju, buku,
dan topi kekantongnya. Ia memeriksa setiap bawaan yang akan ia bawa. Setelah
semuanya siap ,Adi keluar kamar dan meminta izin kepada Emaknya tersayang.
Adi menyalami Emak dan
mencium punggung tangannya. Ia pamit dan
bergegas keluar rumah. Langkah kakinya sedikit terburu-buru. Setelah ia lepas
dari pandangan Emak, ia berbelok
menuju salah satu warung kopi disudut gang. Seorang pemuda yang sedang melayani
pembeli menyambutnya dengan lambaian tangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Kang Maman,
gitarnya Adi ambil ya, “ Adi mendekati orang yang ia panggil Kang Maman itu.
“Oh ambil tah
disana , dibawah rak, mau jalan kemana lagi Di?” tanpa menatap Adi, Kang Maman
menanyainya meski ia sedang sibuk mondar-mandir menyajikan kopi bagi para
pembeli.
“Paling ke
Cicaheum kang.“ Adi memeriksa setelan nada gitar sambil memainkan beberapa kunci
gitar.
“Oh sok
atuh.“ kang Maman berdiri tegak didepan Adi. Ia menepuk pundak Adi dengan
tangan kanannya
“Akang dukung Adi
... semangat Di!” pekik Kang Maman. Adi tersenyum lebar. Pada Kang Maman lah
Adi mengutarakan rencananya itu. Gitar Kang
Maman pun dipinjamkan padanya agar Adi bisa berkreasi dengan baik. Gitar tua
tetapi masih memiliki suara yang indah. Kang Maman bilang gitar itu milik Iwan
Fals ketika masih muda. Adi percaya tak percaya menanggapi hal itu. Mana
mungkin Iwan Fals bisa terdampar di kampung kecil ini. Dan
ia hanya meng-iyakan agar Kang Maman mau mengajarinya beberapa lagu untuk ia
nyanyikan.
“Adi berangkat ya
Mang.“ Adi bergegas meninggalkan Kang Maman yang mengacungkan jempol padanya.
Ia tersenyum pada Kang Maman dan mempercepat langkahnya agar bisa naik bus kota
menuju terminal Cicaheum. Dalam hati Adi berkata
“Emak, anakmu
pasti bisa .... “
*** *** ***
Tak
ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali semua yang terlah terjadi
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
…..
Petikan senar gitar menghiasi perjalanan
para penumpang dari terminal Kebon Kalapa menuju Cicaheum. Cahaya matahari sore
membelai wajah-wajah penuh peluh setelah seharian bekerja. Keringat menetes
dari kening salah satu penumpang yang duduk dekat dengan jendela. Tidak
biasanya di musim hujan seperti ini Bandung ditemani lembayung sore. Deru mesin
mobil dan sesekali rem mendadak membuat para penumpang harus menahan mual yang
muncul dari ulu hati. Terdengar beberapa penumpang yang mengomel karena
kelakuan si supir bus. Namun itu semua tidak berlaku bagi Adi. Ia terus
menyanyikan bait demi bait dari syair lagu yang ia bawakan. Petikan gitar
akustik dan suara merdunya seakan menyihir bus DAMRI menjadi sebuah kafe yang
diiringi dengan lagu-lagu klasik. Beberapa penumpang ikut menyanyikan lagu yang
dibawakan Adi.
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Jangan menyerah jangan menyerah
Jangan menyerah ….
Sore ini ia nekat kembali turun ke jalanan
dan mengamen dari bus ke bus. Ia mengharapkan akan mendapat uang tambahan agar
bisa mendaftar untuk mengikuti lomba menulis yang sudah ia rencanakan. Mungkin
bukan hanya sore ini ia harus turun ke jalan. Beberapa hari kedepan ia sudah
berniat untuk kembali turun ke jalan dan mencari alasan agar tidak ketahuan Emak. Emak
pasti marah besar bila tahu Adi kembali turun ke jalanan. Tapi kali ini Adi
memiliki alasan berbeda. Ia tidak lagi mencari uang untuk menambah uang jajannya. Sebuah kejutan akan ia persembahkan
bagi Emaknya tersayang di tahun baru nanti.
“Terima kasih bapak ibu penumpang atas
perhatiannya, selamat menikmati perjalanan dan semoga selamat sampai tujuan.”
Adi menyudahi konser dadakannya itu dan menyodorkan sebuah gelas air mineral
kosong ketiap penumpang.
“Terima kasih bu, terima kasih pak.“ beberapa uang
receh masuk kedalam gelas. Ada beberapa uang seribuan lembar yang ikut masuk.
Setelah bus tiba pada salah satu halte, ia
turun bersama para penumpang yang ikut keluar. Ia terdiam sejenak sambil
menghitung uang yang sudah ia dapat dari hasil mengamen tadi.
“Alhamdulillah, tiga ribu.”
Butuh tiga puluh dua ribu lagi untuk Adi
agar bisa mengikuti lomba. Dan ini adalah hari pertamanya ia mengumpulkan uang dari hasil mengamen. Ia melihat sekeliling halte. Tidak
ada bus lain yang mengetem. Sambil merapikan uang dan memasukannya kedalam
dompet lusuhnya, Adi melihat sebuah angkot yang sudah mulai dipenuhi penumpang.
Tidak ada bus angkot pun jadi. Akhirnya Adi turun dan mendekati sebuah angkot
yang sedang menunggu penumpang.
“Assalamualaikum bapak ibu, mohon
maaf mengganggu perjalanannya.” Adi berdiri didepan pintu masuk angkutan umum
dan mulai menyanyikan sebuah lagu.
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
walau tapak kaki panuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas
Ibu
Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan
fals ini menggetarkan hati Adi. Ia teringat bagaimana Emaknya
dirumah. Seorang wanita paruh baya yang rela berpeluh agar anaknya mampu
belajar dan duduk mengenyam bangku pendidikan. Ia ingat betul ketika Emak
terserang TBC ,seperti almarhum Abah dulu, Emak tetap
bekerja demi uang SPP yang sudah tiga bulang ia tunggak. Adi tak mampu menahan
sesak yang muncul didadanya. Beberapa penumpang yang mendengar lagu yang
dibawakan Adi ikut terdiam. Air mata menetes dari seorang penumpang wanita yang
duduk paling dekat dengan pintu keluar mobil angkutan. Ia terisak dan mengusap
matanya dengan tissue sambil menutup mulutnya.
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sluruh tubuhku
Dengan apa ku membalas
Lantunan suara Adi mengalun merdu. Sebuah
lagu yang mengingatkan siapapun pada seorang yang sangat berarti keberadaannya.
Seorang manusia yang dikirim Tuhan untuk menjaga dan memberikan kasih sayang. Seorang
yang rela mengorbankan segala kebahagiaanya demi anak yang ia cintai. Seorang
yang selalu mendoakan meski yang didoakan telah terlelap dalam tidur. Seorang
yang selalu memberi semangat untuk bangkit disaat terjatuh dan tersungkur.
Disaat semua menjauhi dan memusuhi, hanya ia yang selalu menemani. Dia adalah orang
yang paling berjasa bagi setiap ayah didunia. Orang yang paling berjasa bagi
setiap anak didunia.
Ibu ……
Adi kembali menyodorkan gelas air mineral
kosong ke setiap penumpang yang duduk di angkutan umum tersebut. Beberapa
wanita merogoh kantong cangklongannya dan mengeluarkan uang lembaran dan
memasukannya ke gelas kosong itu. Wanita yang tadi sempat meneteskan air
mata memasukan selembar uang dua ribuan.
Adi mengucapkan terima kasih dan meninggalkan angkutan umum itu. Supir yang
tadi duduk disebuah kios kecil ditepi halte mulai beranjak dan menyalakan mesin
mobil. Angkot itu melaju meninggalkan Adi yang sudah berdiri ditepi trotoar. Ia
mengumpulkan uang yang ia dapatkan dan memasukannya kedalam dompet lusuhnya
“Alhamdulillah ya Allah, delapan ribu …”
Adi menengok pada jam dinding yang
tertempel di halte bus. Jam menunjukan pukul 17.45. Segera ia menaiki bus
selanjutnya. Dan pergi menuju terminal Cicaheum .
*** *** ***
Selepas menunaikan solat magrib, Adi duduk
selonjoran di musholla terminal Cicaheum. Ia menghitung kembali uang yang ia
dapat dari hasil mengamen. Seribu, dua ribu, tiga ribu dan … Alhamdulillah
kini ia mengumpulkan uang sejumlah sebelas ribu. Lumayan, lirih Adi dalam hati,
Mungkin ia tidak akan terlalu lama mengamen untuk mengumpulkan uang pendaftaran
demi mengikuti lomba. Dan setelah ini ia akan pulang kerumah tidak sambil
mengamen. Terlalu beresiko bila malam-malam mengamen. Tidak semua orang suka
kebisingan di malam hari.
Ardi menaiki bus DAMRI menuju terminal
Kebon Kalapa. Ia sengaja mengambil kursi terdekat dengan pintu keluar. Kali ini
ia menjadi seorang penumpang yang resmi membayar ongkos perjalanan. Tidak
sebagai seorang pengamen. Sepenjang jalan, Adi sudah sibuk memikirkan apa yang
akan ia tulis untuk mengikuti lomba . Tema yang akan ia tulis berkaitan dengan
isu sosial tentang pemberdayaan remaja dikalangan kurang mampu. Sebuah isu
sosial yang ia sendiri berada didalamnya. Ia berpikir bahwa harus ada sebuah gerakan yang didorong
oleh para pemuda untuk memberdayakan remaja yang kurang mampu. Yang ia tahu,
berbagai konferensi, forum pelajar, lomba tingkat nasional maupun internasional
lebih banyak didominasi oleh mereka yang mampu. Kalangan kurang mampu hanya
minoritas dan tidak terlalu menonjol. Harus ada sebuah gerakan untuk mendorong
kaum minoritas agar mampu tampil ke permukaan. Sebuah ide cemerlang kini muncul
di kepala Adi.
Bus sampai di terminal Kebon Kalapa. Adi
turun bersama para penumpang lainnya. Ia segera bergegas menuju salah satu
angkot yang menuju perkampungannya. Tak sampai dua puluh menit, Adi telah tiba
pada gang sempit dan lorong-lorong dekat gubuk yang ia tinggali. Ia turun dan
membayar ongkos pada supir. Lalu bergegas menuju gang tersebut dan berjalan ke
salah satu warung kopi tempat Kang Maman berjualan. Ia mengucapkan salam dan
duduk dikursi bersama para pembeli lain.
“Kumaha Di? Banyak dapet hari ini?”
Kang Maman keluar dari balik tirai. Ia menjinjing beberapa gelas yang baru ia
cuci.
“Alhamdulillah Kang, dapet sebelas ribu, dipotong ongkos
jadi tinggal delapan ribu mang,”
“Hmm .. mau minum Di ? ngeteh?” Kang Maman
menyodorkan segelas teh manis hangat untuk Adi.
“Nuhun Kang, mungkin besok ga akan
ngamen dulu kayanya Kang.” Adi menyeruput teh yang masih hangat itu.
Tenggorokannya terasa hangat.
“Kenapa
emang Di?”
“Yaa ..
ini kang, Adi harus mulai nulis, lombanya lumayan berat,” setengah
gelas teh sudah masuk ke tenggorokannya.
“Ohh.. emang mau nulis tema apa ?”
“Pergerakan pemuda kang, tentang gerakan
pemberdayaan pemuda saat ini.” Adi mengeluarkan dompetnya dan hendak
membayar pada Kang Maman
“Eh eh, udah gak usah, eehhh kenapa atuh
Adi, udah itung-itung Akang juga bantu Adi kan, udah gausah bayar!” Kang Maman
menolak dan menahan sodoran uang yang hendak dibayar oleh Adi.
“Duuh, makasih atuh Kang, Adi mau
pulang atuh ya .. emak udah nunggu kayaknya mah,”
“Sip sip. Sok sing sukses nya.”
Setelah Adi mengembalikan gitar pada Kang Maman,
ia pulang ke rumah yang ia rindukan itu. Emak pasti sudah menunggu dirumah.
Makan malam pasti sudah tersedia diatas meja. Perut Adi keroncongan menahan
lapar sejak tadi sore. Otak adi seliweran membayangkan apa yang akan dimasak
emak. Tumis kangkung? Ikan tongkol? atau tempe goreng kesukaannya? Mulut Adi
mendadak dibasahi liur. Ia segera mempercepat langkahnya tiba didepan rumah dan
membuka pintu.
“Assalamualaikum Mak !”
“Wa alaikum salam! “
Adi mencium tangan emak. Dari mulai masuk
pintu tadi hidungnya sudah mencium bau masakan dari atas meja. Perut
keroncongannya sudah mulai memberontak ingin diisi makanan. Setelah mencuci
tangan dan mengganti baju, ia menuju meja makan dan membuka tudung saji.
“Wahhhh .. tumben Mak masak cumi-cumi? “
Mata Adi berbinar melihat masakan yang sudah Emak buat.
“Alhamdulillah
Di, dikasih sama bu Makmur pas tadi emak nyuci disana. Lagi ada selametan. emak
disuruh bawa berkat tuh,” Emak mengambilkan
satu centong nasi untuk Adi.
“Wahhh … pasti enak ini,”
“Tadi belajar apa Di?” Emak menanyai Adi.
Sebetulnya Emak tidak curiga dengannya yang pergi
keluar rumah dan baru pulang malam hari.
Adi tersedak. Ia mengambil segelas air
minum dan meneguknya cepat. Emak hanya geleng-geleng melihat Adi yang makan tergesa-gesa.
“Oh, tadi Mak, tadi Adi diskusi tentang
pergerakan pemuda Mak.” Adi berpikir keras. Kata-kata yang ia
keluarkan tidak boleh menampakkan keraguan.
“Diskusi apa Di? Kok sampai malam begini?”
“Ehh itu mak, Adi ada tugas buat essai.
Temanya tentang pergerakan pemuda. Jadi butuh banyak inspirasi mak. Gitu…”
Kata-kata itu keluar dengan lancar dari mulut Adi. Apa ia berbohong? Adi
meyakinkan tidak. Tadi ia sedikit menceritakan pada Kang Maman tentang apa yang
menjadi idenya. Ya, hanya sedikit. Dan tepatnya hanya memberi tahu, bukan
diskusi ataupun jejak pendapat.
“Ohh, yasudah sana makan yang banyak. emak
mau nyetrika baju dulu. Baju bu Andika belum beres emak setrika.” Emak
beranjak dari meja makan mungil itu. Adi menghela napas panjang. Sepeninggal Emak, Adi
mencomot satu potong besar cumi-cumi dan memasukkanya ke mulutnya. Rasa lapar
telah menyihirnya menjadi seorang monster rakus.
Setelah makan dan menunaikan solat Isya,
Adi mulai berkonsentrasi dengan ide yang akan ia tulis. Ia mencoba merangkai huruf
demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Sebuah ide tentang
pergerakan pemuda untuk memberdayakan pemuda yang lain. Dengan berbagai isu dan
permasalahan yang terjadi dikalangan pemuda, Adi berpikir harus ada tindakan
nyata untuk membantu sesama pemuda yang terhimpit dalam kesulitan. Dalam
lantunan kata, dalam irama kalimat, Adi tenggelam dalam ukiran gagasan diatas
secarik kertas. Yang kini ia tulis dan ia beri judul
GERAKAN
PEMUDA MASA DEPAN
*** *** ***
2 komentar:
November apa Nopember?
Eh, salah, kan bahasa Indonesia ya... :D
Cerepn yang menarik... :)
Keep writing... :)
Posting Komentar