Malam tahun
baru, menjelang 1 Januari 2012.
“Kenapa kamu
gak cerita sama emak Di? Uang tiga puluh lima ribu kan bukan angka yang kecil.
Emak juga bisa kasih,” ucap Emak sambil mengelus kepala Adi lembut. Adi
hanya menutup wajahnya dengan bantal.
Adi membuka
wajahnya “Adi pengen kasih hadiah buat emak. Adi ingat betul kata-kata emak kalo emak pengen Adi
jadi sarjana,”
Emak terdiam.
Ia tersenyum mendengar kata-kata anaknya yang sangat ia sayangi.
“Emak gak
pernah dapet hadiah apa-apa di hari ulang tahun Emak. Adi gamau ngerepotin Emak. Biar Emak capek
buat biaya Adi sekolah. Masa hadiah ulang tahun uangnya dari Emak sendiri.”
“Iya emak tahu,
tapi kan kamu sendiri yang jadi begini. Sudah dipalak preman, dijambret juga.
Waktu kamu dipalak kamu juga ga cerita sama Emak,” kata-kata emak terdengar hendak tertawa.
Adi hanya tersenyum kesal.
“Iya mak maafin
Adi, Adi juga mikir-mikir mau ngamen lagi. Mana Adi udah dimarahin ama emak gak
boleh ngamen lagi,” ucap Adi. Alasan yang membuat emak
tersenyum semakin lebar.
“Adi sayang
sama emak. Adi juga pengen jadi sarjana, tapi Adi gak mau bikin emak repot.
Biar adi belajar berusaha buat apa yang Adi mau,”
“Yaudah Di,
semuanya udah terjadi. Emak seneng Adi mau berusaha buat itu semua. Emak
bahagia punya Adi. Emak seneng dengernya.” kata Emak sambil beranjak dari kasur. Adi
masih telungkup sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Sekarang emak
yang punya hadiah buat Adi. Tuh ambil sana, dimeja makan,”
“Apa mak?” Adi
terperangah dari tidurnya.
Beberapa buah
jagung mentah tergeletak dibalik tudung saji lengkap dengan bumbu dan
perlengkapan lainnya. Seplastik arang tersimpan dibawah meja makan. Malam tahun
baru kini emak mempunyai agenda khusus. Mereka hendak menghabiskan malam tahun
baru dengan membakar jagung bersama. Adi senang bukan main. Jagung bakar adalah
makanan favorit Adi. Tak lupa Adi mengajak Kang Maman untuk berpesta bersama.
“Waahh… si Adi
bikin bakar jagung euy!”
teriak Kang Maman tampak bersemangat. Bersama Adi, ia mempersiapkan
pembakaran didepan halaman sempit rumahnya. Asap mengepul kesegala arah. Wangi jagung
bakar kini menghiasi gang sempit itu.
Malam tahun
baru kali ini terasa hangat. Kini Adi sudah bisa menerima kejadian-kejadian
yang ia alami dengan ikhlas. Dan bagi Emak, usaha Adi selama ini adalah hadiah ulang tahun terindah yang
pernah Emak dapat. Kasih
sayang seorang anak angkat yang berusaha keras membuktikan usaha terbaik
baginya. Emak memang tidak dikaruniai anak dari rahimnya, tapi Tuhan
mengkaruniai Emak dengan
seorang anak yang tulus menyayanginya. Emak bersyukur usahanya selama ini
membuahkan hasil yang manis. Seorang anak yang berbakti baginya dan sangat
menyayanginya. Mungkin Emak
tidak perlu meminta hadiah dari siapapun untuk ulang tahunnya. Karena hadiah
itu telah Emak miliki untuk
menemani hari-harinya.
*** *** ***
2 Januari 2012
Udara pagi di
tahun yang baru terasa lebih segar. Burung-burung berceloteh di ujung tangkai pepohonan. Cahaya matahari
menyapu hangat keseluruh penjuru mata angin. Ditiap permulaan tahun,
orang-orang mulai menyusun resolusi baru untuk satu tahun kedepan. Harapan,
cita-cita, dan tujuan baru dirangkai dan diatur dengan penuh optimis dalam doa
yang dipanjatkan. Awal yang baik diyakini akan membuahkan akhir yang baik. Dan
di awal tahun ini, tiap orang berusaha untuk membukanya dengan sebuah permulaan
yang baik.
Hari kedua di
tahun baru. Adi masih menikmati sisa-sisa liburan sekolahnya. Ia membuka buku
tulis kosong dan menulis beberapa harapan dan target selama satu tahun kedepan. Emak sedang memasak
didapur. Ternyata para ibu di komplek sebelah memberikan libur juga pada Emak.
Adi yang sedang
berdiam dikamar dikagetkan dengan bunyi ketukan pintu diruang depan. Terdengar
beberapa pria saling berbicara dari balik pintu. Merasa tuan rumah tidak
mendengar, para tamu kembali mengetuk pintu.
“Assalamualaikum!”
Emak berjalan
tergopoh-gopoh. Ia segera menuju ruang tamu dan membukakan pintu bagi tamu yang
datang itu.
“Waalaikumsalam!”
Emak menatap
tamu yang datang dengan wajah keheranan. Tiga orang pria berseragam pabrik
minyak nasional tersenyum padanya.
“Maaf ibu, betul
ini rumah dari Adi Nurrahman?” tanya
salah seorang dari tiga pria itu memastikan alamat rumah yang dituju.
“Betul ini
rumahnya Adi, hmmmm .. ada apa ya sama Adi?” tanya Emak. Ia
masih keheranan dengan apa yang ia lihat. Tiga tamu ini tampak rapi dan tampan.
Setahu emak, Adi tidak pernah memiliki teman dari perusahaan minyak.
“Selamat ibu
atas keberhasilan anak ibu,”
Emak semakin
tak mengerti apa yang terjadi. Selamat apa? Hadiah apa? Emak bertanya-tanya dalam hati. Dari balik
tirai kamar Adi mengintip tiga tamu yang masih berdiri di ruang tamu. Ia
menyelidiki label perusahaan yang tertempel disaku kemeja mereka. Sebuah nama
perusahaan minyak terbesar di negeri ini. Adi mencoba mengingat-ingat kembali.
Hingga ia menyadari bahwa perusahaan itu adalah panitia penyelenggara lomba
yang gagal ia ikuti.
“Anak ibu
mendapat juara satu.”
Senyap. Hanya
terdengar antukkan kening yang bersujud diatas lantai.
*** *** ***
5 Februari
2015
Gemuruh suara
gamelan terdengar keseluruh penjuru gedung. Prosesi wisuda untuk tingkat
sarjana membuat orang berdecak kagum. Penyambutan barisan berbaju toga diiringi
dengan musik gamelan khas sunda dan paduan suara mahasiswa. Wajah-wajah penuh
senyum berjalan seirama dengan alunan musik menuju tempat duduk yang sudah berjajar
rapi. Gedung megah itu bernama Gymnasium. Gedung yang menjadi saksi tiap
mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia ketika memulai dan menutup lembaran
kisah sebagai mahasiswa. Gedung yang menyambut mahasiswa pertama kali dengan
Masa Orientasi Kampus dan melepas mahasiswa dengan Prosesi Wisuda.
Setelah para
wisudawan duduk rapi, bapak rektor
naik keatas podium dan memberikan sambutan bagi para wisudawan. Senyum bahagia
bapak rektor tersungging dibibirnya. Kebahagiaan seorang guru adalah ketika
muridnya berhasil menyelesaikan program studi yang diemban. Dan itu Adi rasakan
saat ini.
“Selamat bagi
para wisudawan yang lulus tahun ini, semoga ilmu kalian bermanfaat, dan dapat
mengabdi pada masyarakat dengan ilmu yang kalian kuasai.”
Sontak para
wisudawan bertepuk tangan. Kebahagiaan muncul dari wajah tiap orang yang berada
di gedung itu.
“Baiklah, saya
akan memanggil seorang wisudawan dengan prestasi yang sangat baik. Yang
mendapatkan predikat cumlaude. Ia adalah …. “
Para wisudawan
bertanya-tanya siapakah orang yang akan dipanggil.
“Adi Nurrahman
… silakan maju kedepan dan memberikan orasinya.”
Gemuruh tepuk
tangan wisudawan membahana ketika Adi berjalan menuju podium. Ia betul-betul
tak menyangka akan hasil yang ia dapat.
“Terima kasih
untuk semuanya. Terima kasih untuk Bapak
Rektor yang sudah memberikan
saya kesempatan,”
Emak yang duduk
agak jauh dari pandangan Adi tak kuasa menahan tangis. Anaknya kini sudah
memenuhi cita-citanya.
“Sungguh
meruapakan kesyukuran yang luar biasa. Bagi kita semua, yang telah menyelesaikan
studi di kampus yang sangat kita cintai ini, Universitas Pendidikan Indonesia. Toga
ini saya persembahkan untuk seorang yang sangat saya sayangi.Seorang yang
selalu berjuang bagi saya khususnya,
dan seorang
yang sangat berarti bagi kita semua. Ia adalah Ibu kita tercinta,”
Para wisudawan
tak henti-hentinya bertepuk tangan. Beberapa wisudawati meneteskan ait mata.
“Dan ucapan
terima kasih saya ucapkan pada segenap dosen yang telah membimbing kami, yang
rela membantu kami dalam menuntut ilmu. Sungguh jasa dan pengorbanan bapak ibu,
memberikan arti yang begitu mendalam dihati kami,”
Pada dosen
tersenyum dengan penuh kebahagiaan. Mereka bangga dengan torehan prestasi Adi.
“Terakhir yang
ingin saya sampaikan. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih. Pada
seseorang yang telah membantu saya. Seseorang
yang sampai saat ini tidak saya ketahui. Seseorang yang tidak pernah
memberi tahu identitasnya. Dalam mengupayakan saya, untuk mengenyam pendidikan
di kampus ini. Entah siapa dan dimana, tetapi ia telah memberikan sumbangsih
besar bagi saya. Saya betul-betul mendoakan, supaya ia diberi balasan yang
berlipat dari Yang Maha Kuasa. Sekiranya saya diberi kesempatan untuk bertemu dengannya, saya ingin berterima
kasih sebesar-besarnya pada orang itu.” Adi menutup orasinya. Gemuruh tepuk
tangan menyeruak keseantero ruangan. Hari itu tidak akan Adi lupakan. Gelar
sarjana telah ia dapatkan.
*** *** ***
8 Desember 2011
“Wah
Pak Heri rajin bener, periksa
tugas Pak?” Pak Budi, guru bahasa Indonesia, menyapa Pak Heri yang membawa tumpukkan
buku tulis. Pak Heri tersenyum lebar.
“Iya
Pak Budi, anak-anak saya
suruh buat essai, tentang sejarah bangsa,” kata Pak Heri sambil meletakkan tumpukkan buku
itu diatas meja kerjanya. Mengambil tempat duduk dan membuka satu per satu buku
dihadapannya.
Pak
Heri memeriksa essai yang ditulis oleh anak-anak dengan cermat. Beberapa tokoh
disebutkan dalam essai itu. Pak Heri senyam-senyum sendiri melihat tulisan
anak-anak yang terkadang polos,lucu dan ngelantur kemana-mana.
“Dasar
anak-anak …” lirih Pak
Heri dalam hati. Ia cukup
bangga dengan hasil kerja anak didiknya. Tetapi ada yang aneh dengan sebuat
tulisan yang baru saja ia periksa. Sebuah essai tertulis runtut dan rapi dengan tema yang berbeda dari apa yang ia perintahkan.
Tulisan yang berisi gagasan tentang pemberdayaan dan pergerakan pemuda. Melihat
keganjilan yang ia dapati, Pak
Heri memanggil Pak Budi untuk
mendekatinya. Ia menunjukkan sebuat essai yang ditulis rapi itu.
“Wah
Pak Her, jarang ada siswa
kita mampu menulis seperti itu, saya rasa itu bukan untuk tugas Pak,” Pak Budi
membolak-balikkan lembar demi lembar buku tulis itu.
“Saya
rasa juga demikian. Ada alamat yang tercantum dihalaman pertama. Juga ada
tulisan seperti … apa itu namanya… syarat dan ketentuan. Apa mungkin dia ingin mengikti lomba?”
“Hmmm,
coba saya lihat … wah Pak
Her, sebentar lagi ini deadline nya, harus segera dikumpulkan. Coba saya
periksa dulu Pak, barang kali
ada yang salah,” Pak Budi membawa buku tulis itu ke
meja kerjanya. Ia meneliti kata demi kata dari essai yang ia baca.
“
Kalo bisa sekalian diketik juga Pak
Budi, biar nanti saya yang urus selanjutnya,”
“Oh
siap siap Pak! “ kata Pak Budi. Ia lantas menyalakan komputer tua milik sekolah.
Semenjak
satu minggu Pak Heri memperhatikan
tingkah laku Adi. Ia melihat ada yang berbeda dengannya. Adi tampak sedikit
lebih murung dan banyak diam. Tak sengaja Pak Heri melihatnya terpaku didepan mading saat sedang mengecek
ruangan kelas lain. Ia mendapati Adi menyobek sebuah pengumuman yang tertempel.
Sebelumnya ia tak menyadari apa yang Adi lakukan. Ternyata Adi hendak mengikuti
lomba menulis essai tingkat nasional.
Tiga
puluh menit kemudian, Pak
Budi menyerahkan beberapa lembar kertas
HVS yang telah ia print.
“Ini
Pak, sudah saya ketik.
Tulisannya bagus sekali. Isinya berbobot.” tukas Pak Budi.
“Hmm, itu mau diikutkan lomba Pak Bud. Saya minta tolong juga pak,
sekalian bapak masukkan dalam flashdisk lalu emailkan essai itu di
warnet sebelah, alamat email
nya ada dilembar sampul
buku,” ucap Pak Heri
sambil membereskan mejanya. Ia mengambil kunci motor dan memakai jaket kulit
tuanya.
“Lalu
bapak mau kemana toh Pak?”
“Ke
Bank Pak Bud. Transfer uang
untuk melengkapi persyaratannya.”
*** *** ***
Ilustrasi |
13 Shafar 1432 H / 7th of January 2012. 05.49 PM. At my lovely castle.
Cerpen ini dilombakan pada Lomba Essay dan Cerpen Online Nasional jilid 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar