Permasalahan yang terjadi dikalangan pemuda
sangatlah kompleks. Ditengah kondisi jiwa yang masih terhitung labil secara
usia, juga pengaruh lingkungan yang begitu kuat, para pemuda dituntut untuk
mampu melewati masa-masa perubahan yang
terjadi pada dirinya. Belum urusan tugas. pekerjaan rumah, atau kegiatan intra sekolah, para pemuda harus betul-betul siap secara mental dalam menghadapinya.
Adi menulis kata demi kata di atas buku
tulisnya. Ia menyusun beberapa draft rancangan esai yang akan ia ikutsertakan
dalam lomba. Adi berniat untuk datang ke rental komputer dan mengetiknya agar
lebih rapi setelah tulisan itu rampung,. Baru beberapa paragraf Adi menulis, rasa
kantuk menghinggapi mata Adi. Tapi ia berusaha untuk tetap membuka matanya
meski waktu sudah menunjukan jam setengan dua belas malam. Adi beranjak menuju
kamar mandi. Ia mengambil air wudhu dan membasuh muka dan lengannya. Rasa
kantuk itu sedikit hilang. Secangkir teh hangat Adi buat untuk menemani malam
yang panjang ini. Sebelum memasuki kamarnya, Adi melewati kamar emaknya.
Daribalik tirai yang menutupi kamar Emaknya, ia mendengar dengkuran Emak yang
halus.
“Emak, maafin Adi udah bohong hari ini. Adi
ngelakuin ini buat kebahagiaan emak.”
Adi menghela napas panjang. Ia tak ingin
mengganggu Emaknya yang sedang tidur pulas itu.
Dengkuran Emak terdengar seperti orang yang kelelahan.
Memang hari ini Emak mendapatkan banyak kerjaan mencuci.
Beberapa pakaian yang masih dalam buntelan masih terletak diruang depan rumah.
Dengkuran emak tak dapat menafikan
betapa hari yang Emak lewati begitu melelahkan.
Secangkir teh hangat mampu menahan rasa
kantuk Adi beberapa jam. Ia terus menulis sambil membuka-buka referensi buku
yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Ide segar yang mengalir dikepalanya
segera ia ukir diatas coretan tinta. Rangkaian kata dan kalimat tertulis melalui pena dan tertulis diatas lembaran kertas. Tak terasa mata yang tajam itu
mulai mengendur. Tatapannya mulai sayu dan lunglai. Diatas meja, Adi menundukan
kepala diatas kedua tangannya yang saling menyilang. Suara dengkuran mulai
terdengar dari kamar yang mungil itu.
*** *** ***
8 Desember 2011
Pergerakan pemuda saat itu dihiasi dengan
munculnya berbagai organisasi pergerakan seperti Indische Partij, Perhimpunan
Indonesia, dan Budi Utomo. Pergerakan pemuda yang ditujukan untuk membangkitkan
kesadaran bangsa agar menjadi bangsa yang besar, mulai menggugah kesadaran
rakyat. Tak jarang para pemimpin pergerakan harus menerima hukuman dari
Belanda. Tapi itu semua tidak menjadikan para pemuda gentar. Mereka terus
bergerak dan menghimpun kekuatan untuk menuju satu tujuan mulia. Indonesia
Merdeka !
Kali ini Pak Heri
memberikan materi pergerakan kepemudaan. Ia bercerita bagaimana Budi Utomo,
Sarekat Islam, dan berbagai organisasi kepemudaan muncul. Zaman penjajahan yang
begitu keras ternyata tidak mempengaruhi semangat pemuda saat itu untuk terus
bergerak. Meski pergerakan tersebut dibatasi, ternyata apa yang diusahakan oleh
para pemuda bukan tanpa hasil. Belanda seakan tidak menyadari, dari pergerakan
itulah kelak muncul seorang pemuda yang menjadi motor perjuangan kemerdekaan
bangsa ini.
“Sekarang bapak ingin kalian membuat sebuah
essai sebanyak dua paragraf. Tulis siapa tokoh pemuda yang menginspirasi
kalian. Diskusikan dengan teman sebangku kalian!”
Anak-anak selalu bersemangat bila diajar
oleh Pak Heri. Semangat beliau selalu tertular pada anak
didiknya. Tatapan hangat pak Heri mampu menghipnotis anak-anak. Dan mereka
mulai sibuk menulis essai yang diperintahkan oleh Pak Heri.
Adi mengeluarkan buku tulis dari tas
lusuhnya. Ia mengeluarkan dua buku tulis dan meletakkannya diatas meja. Satu
buku adalah buku dimana ia menulis essai untuk ia ikutkan lomba. Satu buku lagi
adalah buku pelajaran sejarah. Jangan sampai kedua buku itu tertukar, batin Adi. Setelah membuka dan mengeceknya, ia membuka
buku sejarahnya dan mulai menulis apa yang diarahkan Pak Heri.
Pak Heri berjalan mengitari anak didiknya.
Ia memperhatikan setiap tulisan yang ditulis oleh anak didiknya. Ada yang
menulis tentang Soekarno, Bung Hatta, Syahrir, ada pula yang menulis tentang Amien
Rais. Pak Heri hanya bisa menahan senyum dan tawanya. Ia tak ingin anak
didiknya malu karena dilihat olehnya. Meski ia tertawa bukan bermaksud
merendahkan, jiwa kebapakan Pak Heri dapat mengerti bagaimana tingkah siswa
bila seorang guru mentertawai hasil kerjanya.
“Baik anak-anak, sekarang kalian boleh
mengumpulkan essai yang kalian tulis. Tolong ketua kelas agar mengumpulkan
buku-buku temannya,”
Seorang siswa yang duduk dikursi depan
berdiri tempat duduknya. Ia adalah Doni. Ketua murid dikelas itu. Ia menyambangi tiap meja dan mengambil tiap-tiap buku
tulis dari tangan kawan-kawannya. Setelah menghitung jumlah buku dan jumlah
siswa, Doni meletakan bukunya diatas meja Pak Heri. Jam pelajaran telah usai. Pak Heri menutup kelas dengan sedikit
nasihat.
“Baik anak-anak, dari pelajaran ini kalian
dapat mengambil hikmah. Sebuah cita-cita yang diiringi dengan tindakan dan
usaha yang keras, insya Allah akan membuahkan hasil. Siapa yang menuai akan
memanen hasilnya. Dan hasil perjuangan para pemuda terdahulu telah kita rasakan
hingga saat ini. Ingat anak-anak, barang siapa yang bersungguh-sungguh,
dapatlah ia.”
Dada para murid dipenuh semangat yang
membara. Pak Heri memiliki tempat khusus di hati para siswa. Beliau bukan hanya
sekedar guru, tapi ia adalah lentera dibalik hati yang dirundung kegelapan.
Cahaya dibalik sekolah yang selalu mendapatkan peringatan penggusuran.
*** *** ***
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk slamanya
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk slamanya
Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
Adi
menyanyikan lagu Kita Selamanya ciptaan Bondan Prakoso feat Fade to Black
dengan riang. Celotehan lagu rap dihiasi iringan gitar akustik menambah
suasana ramai disore hari. Bus melaju pelan menuju terminal Cicaheum. Beberapa
pedagang asongan ikut menjajakan makanannya. Suasana Kota Bandung saat itu tidak terlalu panas. Awan teduh
dan sedikit mendung memayungi kota yang indah ini.
Saat duka bersama, tawa bersama
berpacu dalam prestasi hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
didalam api semangat yang tak mudah padam
berpacu dalam prestasi hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
didalam api semangat yang tak mudah padam
Kuyakin kau pasti sama dengan diriku
pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
“Terima
kasih bapak ibu sekalian atas perhatiannya. Semoga bapak ibu selalu dalam
keadaan sehat dan selamat sampai tujuan,” Adi menutup nyanyiannya. Gelas air mineral kosong berkeliling
dari bangku ke bangku penumpang. Beberapa uang lembaran ikut masuk ke gelas
kosong itu. Sambil membungkukan badan, Adi mengucapkan terima kasih ke setiap
penumpang meski tidak memberinya sepeserpun.
Bus
DAMRI telah tiba di terminal Cicaheum. Para penumpang turun dari bus begitu
juga Adi. Cahaya matahari menunjukan waktu sudah hampir Magrib. Goresan cahaya merah menghiasi
langit Kota Bandung. Adi
berjalan menuju musholla yang waktu itu ia singgahi. Ia bersegera mengambil air
wudhu dan duduk di shaff paling depan di musholla mungil itu. Seorang bilal
mengumandangkan adzan dengan suara baritonnya.
Setelah
solat magrib, Adi mengumpulkan uang yang tadi ia dapatkan. Alhamdulillah,
lirih Adi. Hari ini ia mendapat dua belas ribu rupiah. Angka yang sangat besar
bagi orang seperti Adi. Ia mengambil dompet lusuhnya dari saku celananya. Hari
ini dua belas ribu, tempo hari delapan ribu, ditambah uang jajan dari Emak lima ribu, total dua puluh
lima ribu. Adi semakin optimis dengan usahanya. Setelah uang itu mencapai angka
yang cukup, ia akan mentransfer uang itu ke panitia lomba. Adi bangkit dari
duduknya, berjalan keluar musholla menuju tempat pemberhentian bus.
Langkah-langkah
riang Adi menarik perhatian orang di terminal. Beberapa pasang mata menatapnya
tajam sambil mendengus pelan. Seorang berbadan besar bangkit dari duduknya dan
berjalan dibelakang Adi. Belum sampai tempat pemberhentian bus, orang itu memegang tangan Adi dan menariknya sedikit
kasar.
“Jang,
pengamen baru disini ya?” terdengar
suara seseorang dari belakang Adi. Orang berbadan subur dan bertato
dilenganya kini berdiri tepat didepannya.
“Iya mang, dari
terminal Kebon Kalapa,” Adi
menjawab pertanyaan si badan bongsor itu polos.
“Sini-sini …. “
Orang itu
mencengkeram lengan Adi keras. Ia menyeret Adi kesebuah pojokan di sudut
terminal. Tidak ada orang yang melihatnya. Beberapa orang yang dari tadi duduk
bersama si bongsor, ikut bangkit dan berjalan mengikuti Adi yang terpojokkan.
Langkah Adi tertatih-tatih, cengkeraman itu belum lepas dari lengannya.
“Saha nama
kamu? Udah dapet izin dari Si Bos
buat ngamen disini?” tanya seorang
pria berbadan jangkung dengan
tatapan tajam. Tampaknya ia tidak hendak bermain-main.
“I ..i ..izin
apa Kang? Saya baru disini!” Adi tergagap. Ia sadar bahwa ia
dikelilingi oleh lima orang berbadan besar, kecuali si jangkung ini. Beberapa
orang diantara mereka memiliki codet di pipinya.
“Make nanya
lagi, gatau disini bos nya siapa?” pria
berkulit hitam yang membawa botol minuman membentak Adi. Orang yang
dipanggilnya bos itu berdiri disampingnya dan memerintahkannya untuk tidak
mengangkat suara.
“Duhh .. maaf
kang, saya gak tahu, saya
bukan orang sini,” nafas Adi tersenggal. Keringat
dingin mulai membanjiri punggungnya.
“Maaf maaf,
enak aja nyari uang dilahan orang!”
pria jangkung tadi memotong kata-kata Adi.
Tampaknya ia sudah tidak sabar dengan Adi yang polos ini.
“Sudah-sudah
ambil dompetnya, suruh bayar uang kemananan!“ kali ini pria
yang dipanggil Bos menyudahi
anak buahnya berbicara.
“Bayar sini,
lima puluh ribu!” Pria
bongsor yang dari tadi mencengkeram lengan Adi menyebutkan sebuah nominal yang
hampir membuat jantung Adi copot. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Air
matanya hampir keluar, tapi ia tak ingin menambah masalah dengan menangis.
Dengan cepat ia mengeluarkan dompetnya.
“Maaf … kang,
uang segitu belum ada, saya gak punya uang sebanyak itu,” Adi mencoba menekan ketakutannya. Para
preman tetap tak ingin berdiplomasi dengan alasan Adi.
“Ahhh ..
bohong, sini mana dompetnya!“
si jangkung mengambil dompet
Adi kasar.
“Jangan kang,
itu uang ….. “
“Diam kamu, belum pernah ditusuk yaa!” pria tambun yang dari tadi
mencengkram tangannya memberikan ancaman serius. Tampak pisau lipat mencuat
dari balik saku celananya.
“Hahahaha…
lumayan juga anak ini!” ujar pria jangkung tadi sambil tertawa. Ia mengeluarkan
semua isi dompet Adi dan
memasukkan uang jarahannya itu kesaku jeans kumalnya. Pria subur tadi
mulai melepaskan cengkraman tangannya.
“Sudah sana
pergi kamu, nanti kalo kamu mau ngamen disini lagi jangan lupa bayar uang
keamanan. Ngerti kamu? “ si tambun memberi nasihat yang
lebih terdengar seperti ejekan pada Adi. Nafas Adi memburu. Ia kesal bukan
main. Tapi lima orang berbadan besar dan sebilah senjata tajam membuat
keberanian Adi hanya keluar sampai tatapan matanya.
Para preman itu
kini berjalan meninggalkan Adi yang berdiri termenung. Ia menundukan kepalanya
dan terpaku sendiri dipojokan terminal. Badannya gemetaran, dadanya sesak, ia
mencoba untuk menahan emosi yang keluar dari hatinya. Setetes air mulai
membasahi pipi yang berdebu itu. Malam itu ia serasa dihajar dengan palu godam
diatas ubun-ubun dan dicambuk dengan cameti sekeras-kerasnya. Sekuat tenaga ia
mencoba menahan letusan emosi. Tapi ternyata, seorang Adi tak mampu menahan
teriakan yang keluar dari kerongkongannya.
*** *** ***
“Mungkin itu Di
kenapa emakmu melarang kamu mengamen dijalan,” ujar Kang Maman
mencoba menasihati Adi yang sedang gusar. Mukanya merah padam.
“Yaaa gimanapun
itu resiko Di, kalo emang mau turun ke jalan, ya emang harus siap berhadapan
dengan hal seperti itu,”
“Tapi Kang, itu
uang sudah Adi kumpulin dari kemarin. Bentar lagi lomba mau ditutup. Harus
cepet ditransfer!” kata Adi kesal. Ketidak adilan bukan hal yang mudah diterima olehnya.
“Yaa sudah,
sabar. Untung kamu masih hidup Di. Kamu sendiri kan bilang preman itu ada yang
bawa pisau. Bisa berabe kalo preman itu naik darah. Sabar. Insya Allah ada
jalannya,” ucap kang Maman. Nasihat Kang Maman memang
sulit Adi serap. Tapi emosinya sudah mulai turun.
“Berapa bagian
lagi essai yang kamu buat Di?” tanya
Kang Maman mencoba membuka
topik baru.
“Sedikit lagi
kang, tinggal kesimpulan aja,”
“Hmmm tunggu
sebentar...”
Kang Maman
masuk ke kios meninggalkan Adi duduk sendirian dengan wajah murungnya. Tak
lama, Kang Maman kembali dan duduk disebelah Adi.
“Ini, akang ada
rizki hari ini, ambil, “ uang sejumlah dua puluh ribu kang
Maman sodorkan pada Adi.
“Eh eh, enggak kang,
gausah ngerepotin akang,” tak biasa Adi menerima uang pemberian
tanpa ada alasan. Mungkin Kang
Maman mencoba memberinya perhatian. Tapi Adi canggung untuk menerimanya.
“Sudah ini
ambil. Anggap aja ini sepotong hadiah yang akan kamu terima nanti.” senyum tulus kang Maman tersungging di bibirnya. Sudah lama Adi menganggap
Kang Maman kakaknya sendiri.
“Duh kang,
makasih pisan. Saya gatau harus bilang apa.” Wajah Adi sedikit cerah.
Mungkin ia tak perlu mengamen lama lagi untuk mencari uang tambahan. Tinggal
lima belas ribu. Ia akan langsung mentrasnfer uang itu.
“Sok,
semangat. Gak boleh lemes gitu, Akang yakin Adi bisa menang. Jangan menyerah ya
Di.” Kang Maman menepuk halus pundak Adi.
Langit malam saat
itu gelap pekat. Bulanpun tak mau menampakan sinarnya. Suara binatang malam mulai saling bersahutan.
Hanya cahaya lampu yang menerangi gelapnya malam. Tapi jauh diatas sana, ada
satu bintang yang berpijar indah. Sebuah bintang timur memperlihatkan sinar
putih keperakan. Meski sendiri, ia tak segan untuk membagikan cahaya mungilnya
pada langit luas yang gelap itu. Ternyata dibalik gelapnya malam, masih ada
satu bintang yang rela membagikan sinarnya. Bagi siapapun yang membutuhkan penerang
dalam hatinya.
*** *** ***
10 Desember
2011
Suara
kasak-kusuk terdengar dari sepetak kamar yang mungil itu. Tas, lemari tua, rak
kecil, bahkan sprei kasur telah Adi buka. Kekesalannya karena dipalak oleh
preman tempo hari belum pulih benar. Ditambah dengan tidak ditemukannya barang
misterius yang ia cari. Ia mencoba mengeluarkan seluruh isi tas dengan
membalikkannya. Tapi barang itu belum ia temukan, ia mencoba mengeluarkan
seluruh isi lemarinya dan hasilnya nihil.
“Buku tulis itu
mana? Kemaren kan ditaruh ditas...”
Adi menggerutu sendiri. Ternyata barang itu adalah buku tulis yang ia pakai
untuk membuat essai tersebut.
Belum puas Adi
mengobrak-abrik tas dan meja belajarnya, ia kini membuka lemarinya dan
mengeluarkan semua barang yang ada didalamnya. Kemeja, kaos, celana semua ia
keluarkan. Ia ingat betul, ia tidak lupa menaruh barang-barangnya. Sebenarnya
bukan masalah harga barangnya, tetapi usahanya selama ini tertulis dibuku itu.
Tinggal beberapa hari essai itu harus segera ia kumpulkan.
“Nyari apa atuh
Di? Kok kaya orang kesurupan gitu?”
Emak yang daritadi sibuk didapur mendengar kasak-kusuk yang terdengar dari
kamar Adi.
“Buku Adi mak,
buku yang Adi tulis buat tugas,”
sebenarnya ini adalah rencana
Adi untuk memberikan kejutan pada Emaknya.
Hadiah di ulang tahun Emak
pada tanggal satu januari.
“Lah kamu taruh
dimana Di ? kok bisa hilang?” Emak menyibakkan tirai pintu kamar Adi,
memandangi wajah bingungnya.
“Disini mak, di
meja belajar.” Adi seperti tersambar petir. Usaha yang ia kerjakan selama ini
hilang gara-gara kelalaiannya. Jerih payahnya, rasa kantuknya, bahkan usahanya
mencari uang dengan mengamen, kejadian pemalakan oleh preman di terminal, semua
harus lenyap seketika. Ia mendengus kesal. Rencana besarnya harus gagal total.
Waktu tinggal beberapa hari lagi. Dan Adi harus mengulang semua dari awal. Buku
tulis itu raib, hilang entah kemana.
Adi memandang
emaknya dan tertunduk kembali. Genangan air mata tampak dipelupuk mata Adi.
Tapi menangis sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan. Ia kembali
mencari-cari buku tulis itu didalam tumpukan buku. Seketika kamar mungil Adi
berubah menjadi kapal pecah.
“Kamu taruh
dimana bukunya Di? ada ada aja kamu ini.” Emak kembali pada tumpukkan
cuciannya. Dipikulnya satu tumpuk buntelan baju bersih yang akan emak
kembalikan pada pemilik pakaian.
“Emak pergi
dulu, jaga rumah ya Di!”
“Iya mak.” Adi
masih terpaku pada buku yang hilang itu. Emaknya hanya bisa mendesah nafas
melihat tingkah anak satu-satunya itu. Emosi dalam diri Adi ditekan sekuat
tenaga. Tak bisa Adi bayangkan bila ia harus menggagalkan rencananya itu.
Rencana yang Adi yakini sebagai jalan menuju cita-citanya. Segenap usaha telah
Adi kerjakan. Kini Adi menghadapi pertaruhan dalam pilihannya. Apakah ia harus
rela cita-citanya direbut oleh orang lain, atau ia kembali berusaha dari awal
dan membuang segala kekesalannya.
Dan Adi
memutuskan untuk kembali berusaha dari awal. Sekuat tenaga ia kumpulkan
semangat yang sempat luntur. Berbagai cobaan telah Adi hadapi. Kini Adi tak
ingin cobaan itu mengganggu tujuannya. Ia akan tetap kembali menulis dari huruf
pertama. Berusaha sekuat tenaga dan memfokuskan pikiran pada essai yang harus
ia buat. Ia tak berpikir untuk mengamen lagi. Waktu semakin dekat, dan essai
harus ia kerjakan.
Akhirnya Adi
kembali menulis dari awal. Meski ia tahu tulisannya kini tidak sama seperti apa
yang ia tulis di awal, Adi tetap merangakai imajinasinya dan gagasan-gagasan
yang muncul dipikirannya. Apa boleh buat, Adi hanya bisa menancapkan
tiang-tiang kegigihan dalam kepalanya. Bila ia terus menerus meratapi semua
nasib naasnya, essai dan perlombaan tidak akan ia ikuti. Dan rencana besar
ditahun baru nanti tak akan terlaksana.
*** *** ***
23 Desember
2011
“Lain kali
jangan lalai atuh Di, masa udah kamu kerjakan capek-capek hilang begitu
saja,” tukas Kang Maman mendengar cerita Adi. Ia
hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum jahil padanya.
“Mau gimana lagi
kang, untung bisa kebut Adi kerjain yang baru,”
“Sudah kamu
ketik pake komputer?”
“Sudah kang,
kemarin saya rental, ini sudah saya masukkan dalam CD.” Adi menunjukkan sekeping Compact
Disc pada Kang Maman.
“Hmm, baguslah
kalo begitu, sekarang mau kemana? Mau
langsung kamu transfer?”
“Iya kang, ini
naskahnya sudah jadi, tinggal saya emailkan, trus mau transfer uang juga.
Tapi kang maaf sebelumnya ….”
“Maaf kenapa
Di?” Kang Maman mengernyitkan dahinya. Ia belum paham apa yang dimaksud Adi.
“Saya gak punya
uang tambahan kang, kalo boleh …. Adi pinjem dulu, kalo sudah ada uang Adi
ganti,” suara Adi terdengar lirih. Malu-malu ia
utarakan maksudnya pada kang Maman. Ini adalah rencana terakhir bagi Adi.
Meminjam uang dan mengembalikkannya nanti.
“Aduhaduh,
kenapa gak bilang dari kemarin atuh, kan Adi gausah capek ngamen buat bayar
lomba,” Kang Maman menahan
gelak tawanya. Wajah Adi yang kemerahan menampakan wajah polos.
“Adi gamau
orang lain repot kang.” Adi hanya tertunduk malu. Ia memang tak ingin siapapun repot karena tujuannya. Biar
ia yang mengusahakan segalanya. Tapi apa boleh buat, rencana terakhir harus ia
luncurkan.
“Yasudah, butuh
berapa?” Kang Maman merogoh
dompetnya.
“Dua puluh ribu
kang, buat ongkos juga,”
suara adi semakin pelan. Ia tersenyum
ketika kang Maman mulai menghitung uang dalam dompetnya.
“Ini ambil, ga
usah kembalikan. Ga usah minjam-minjam. Akang pengen Adi sukses dan maju.” kata-kata kang Maman terdengar
tegas. Ternyata ia memang tak ingin meminjamkan Adi uang.
“Duuhh kang,
merepotkan terus,” Adi
mencoba basa-basi. Diambilnya uang pemberian kang Maman.
“Sudah sana
pergi, keburu telat, bank itu tutup setiap waktu makan. Jangan sampai telat
lagi!”
“Nuhun kang,
Adi berangkat atuh, assalamualaikum.”
*** *** ***
Bus DAMRI melaju pelan. Jalanan kini dipadati
oleh wisatawan lokal yang ingin berjalan-jalan di Kota Bandung. Beberapa mobil
berplat nomer B, L, bahkan F tampak parkir di beberapa outlet. Mereka
menghabiskan akhir tahun dengan berlibur dan membeli pakaian yang diperkirakan
mendapat diskon besar-besaran. Akhir tahun selalu membawa cerita berbeda.
Begitupun dengan Adi. Akhir tahun ini ia berusaha keras untuk mengikuti sebuah
lomba penulisan essai yang berhadiah beasiswa kuliah di salah satu perguruan
tinggi. Meski Adi harap-harap cemas akan hasil perlombaan, ia selalu meyakinkan
diri bahwa ia akan mendapat hasil yang baik. Nasihat dan petuah kang Maman ia
pahami dan resapi betul.
“Semua itu kalo
kita yakini, akan terjadi Di. Itu rahasia alam. Akang baca dari buku the Secret.
Semakin kita meyakini sesuatu terjadi dan selalu berprasangka baik, itu akan
membawa hasil sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tentunya, dibarengi kerja
keras juga.”
Adi tersenyum
simpul. Kang Maman memang orang biasa. Ia hanya menjadi pemilik kios warung
kopi dan camilan ringan. Tapi pemikiran Kang Maman tak sekecil kios yang ia
miliki. Kang Maman selalu berpikir dan berbesar hati. Ia selalu meyakini bahwa
usahanya kelak akan maju dan menuai sukses.
“Akang baca
dari buku Negeri Lima Menara, ada mantera sakti Di, bunyinya Man Jadda
Wajada. Katanya sih artinya barang siapa bersungguh-sungguh dapatlah ia.”
Beberapa
pedagang asongan menaiki bus yang sedang terjebak dalam macet. Ada penjual
lontong, gorengan, tahu bahkan buah-buahan segar. Seketika bus menjadi pasar
yang ramai dengan penjual. Para penumpang yang mulai bosan dengan kemacetan
tampak keranjingan dengan jajanan murah meriah itu. Kemacetan ternyata membawa
berkah bagi para penjual ini.
Bus kini
berhenti disebuah halte. Para pedagang dan penumpang lain mulai turun dari bus,
begitu juga Adi. Beberapa orang tampak berdesakan dipintu bus. Penumpang yang
hendak naik enggan mengalah dengan penumpang yang ingin turun. Belum para
pedagang yang ikut berdesak-desakkan. Adi yang terjepit ditengah keramaian itu
mencoba mencari jalan keluar. Kini ia dihimpit oleh banyak penumpang dari kedua
arah. Beberapa penumpang mulai berhasil keluar dari kerumunan itu. Seketika Adi
merasakan ada yang aneh dengan tas lusuhnya.
“Tas.. tas
saya.. dimana tas saya?” desis Adi pelan.
Tas cangklongan itu terasa kendur dari
pundaknya. Ia berusaha untuk meraba-raba tasnya. Tapi tangannya tertahan oleh
seorang pria besar dibelakangnya. Ia berusaha untuk berontak. Sayang, tubuh
kurusnya tak mampu menggerakan kerumunan orang yang menghimpitnya. Seketika tas
cangklongannya lepas dari genggaman. Tas lusuh itu kini tak berada dipundak
Adi. Adi terkesiap, himpitan ini ternyata hanyalah kamuflase. Secepat kilat adi
berteriak
“Copeeeetttt
!!! Tolooooonngg saya dicopet !!”
Sayang teriakan
Adi hanya terdengar samar-samar ditengah kerumunan itu. Kini penumpang yang
hendak turun mulai menemukan jalannya dan keluar satu per satu dari pintu bus.
Adi yang masih terkejut segera berlari dan menyapu pandangannya kesegala arah.
Dua orang berpakaian hitam kumal lari terbirit-birit menjauh dari bus. Segenap
tenaga Adi kumpulkan di kerongkongannya.
“Copppeeeetttt
itu copeeettt !!! tolooonngg!!
Orang-orang
yang duduk di halte berloncatan mendengar sebuah teriakan. Pandangan mereka tertuju
pada dua orang yang lari terbirit-birit dan kini telah berada diatas sepeda
motor. Mereka hilang dari pandangan. Gumam kekesalan terdengar dari mulut
orang-orang disekitar. Mata mereka kini tertuju pada sumber suara yang kini
berlutut diatas aspal. Memandangi nasib naas yang dialami bocah kurus itu.
Adi tak percaya
akan apa yang terjadi, bayangan Emak,
Kang Maman, Pak Heri terlintas dibenaknya. Beasiswa, sarjana, lomba, essai,
kata-kata itu kini menari-nari mengelilingi kepalanya. Pemalakan preman, buku
yang hilang, tulisan yang ia tulis selama tiga hari, kini hanya menjadi sebuah
kenangan yang berlalu begitu saja. Hampa,
melayang dan hilang diterpa angin. Jerih payahnya ternyata hanya mengisi
hari-harinya supaya tidak kosong.
Sepertinya nasib baik memang bukan diperuntukkan baginya. Air mata kini
terasa sulit untuk keluar dari matanya. Ia tak bisa berkata apa-apa. Naskah,
dompet, dan uang yang tadi ia pinjam dari Kang Maman sudah hilang dari
genggamannya. Batas pengumpulan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kini ia hanya
bisa merelakan cita-citanya hilang dijambret orang. Semua terjadi dalam
hitungan menit. Dan tak ada yang bisa menghentikan kedua copet yang sudah
lenyap ditelan keramaian.
*** *** ***
2 komentar:
Saya suka cara bertuturmu. Enak dibaca. Cermat mengolah kata.
terimakasih pak ... mohon bimbingannya ...
Posting Komentar