Gue ngeliat banyak fenomena ketika itu. Gue memperhatiin, ada yang berjuang untuk hidup, ada yang berjuang untuk menghidupi, dan ada yang berjuang untuk bertahan hidup. Gue suka berpikir rada jauh kadang. Apa yaa yang menjadi indikator untuk menjadi sebuah negara maju? Negara yang gue harap udah gak ada lagi anak-anak jalanan, pengamen gak jelas, atau gelandangan. Apa sebenernya yang mendorong mereka untuk bertahan dibawah terik sinar matahari. Apa yang sebenernya mendorong mereka untuk tiduran diatas panasnya aspal. Gue melihat itu setiap hari. Setiap gue mau ngampus.
Motor berhenti di sebuah perempatan. Timeboard (papan yang nunjukin timer hitungan mundur) nunjukkin detik 190. Tiga menitan lah gue nunggu. Gue matiin mesin motor, dan diam melihat kendaraan berlalu lalang. Tiba-tiba gue mendengar ocehan anak kecil merengek-rengek. Menepul-nepuk paha salah satu pengemudi motor. Suaranya kecil, tapi begitu menunjukan keinginan yang kuat akan sesuatu. Suaranya terengah-engah namun menandakan sebuah dorongan keinginan yang kuat. Dia cuma berkata
"aa, aa hoyong a, aa hoyong eta a" (kak, pengen kak, kak pengen itu kak....)
Si aa yang bawa motor terdiam. Wajahnya tampak gusar. Gue gak nyalahin si aa dengan menilainya sebagai orang pelit. Karena kalo itu terjadi ama gue, gue juga gak jauh bakal ngelakuin hal yang sama. Tapi .... tunggu, si anak makin keras berteriak. Ia betul-betul menguji kesabaran si aa....
"aa atuh aa hoyong eta ... aa hoyong aa (kak plis kak aku pengen itu, kak pengen iotu)
Gue malah heran ama tuh anak. Kenapa dia gak pindah aja ke motor lain yang lebih kerenan dikit. Motor si aa cuma motor bebek Supra gitu lah, dan gak ada kesan mewah sama sekali. Tapi si anak begitu memelas ama si pengendara motor. Dia betul-betul mengingikan sesuatu dari si aa.
Dan gak lama, si anaklah yang memenangkan kesabaran si aa. Anak jalanan yang lusuh, dekil, berdebu, dan sungguh tidak terawat. Tapi si aa dengan napas menghela membalikan badan dan membuka sesuatu dari tumpukan mainan dan jajanan warung yang hendak dia edarkan ke warung warung. Sebuah toples dengan berisi sisa Kacang Nogat dibukanya dan diberikan satu kepada si anak. Si anak pergi dengan riang gembira. Si aa yang tadi gusar kini hanya tersenyum simpul. Gue juga ikut senyum ngeliat tuh anak pergi sambil mengunyah kacang nogat yang dia dapat.
Inilah potret kehidupan kawan. Kita begitu mudah mengeluh ketika apa yang kita inginkan tidak sesuai. Kita terlalu mensia-siakan apa yang selama ini Tuhan beri dan membalasnya dengan keluhan dan putus asa. Makanan yang kita makan kadang kita sisakan hanya karena dalih sudah kenyang. Sementara mereka? yang hidup dan mencari nafas dijalan, berusaha bertarung dengan asap knalpot dan deru mesin. Hanya untuk "sebongkah Kacang Nogat"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar