Saat itu pukul 01.00 dini hari. Ku mendengar dering telpon membangunkanku dari tidur yang lelap ini. Entah siapa yang menghubungiku, namun rasanya orang diseberang sana memang betul-betul membutuhkan pertolongan. Kudekati gagang telpon itu dan ku angkat. Mataku belum sepenuhnya terbuka
"Ayah.... maafkan aku," suara diseberang sana tertekan dengan segukan tangis. Nafasku diam tercekat.
"Iya.. ini si..."
"Biarkan aku bicara dulu Ayah, aku mohon,"
Ia memotong kata-kataku. Nada bicaranya menampakan lelah yang amat sangat. Sesekali ku dengar ia menahan isak tangis.
"Memang ini semua salahku, aku tak mendengar kata-katamu, tapi aku mohon Ayah, aku selalu ingin bercerita padamu, tapi Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan. Seolah apa yang aku ceritakan tidak penting bagimu,"
Ku mengencangkan genggaman tanganku pada gagang telpon. Istriku terbangun dari tidurnya dan menghampiriku. Ia menatapku penuh tanda tanya. Ku mengisyaratkan agar menggunakan telpon paralel yang tersambung di ruang kerjaku.
"Ayah, memang saat ini aku kebingungan. Aku takut untuk memberi tahu berapa nilai IPK ku saat ini. Hasilnya memalukan Ayah, bahkan akupun tak mau melihatnya. Aku takut kau marah seperti biasanya, aku tak tahan akan bentakan mu Ayah..."
Kini mataku terbuka lebar. Jantungku berdetak kencang. Kini kusadar bahwa selama ini aku terlalu keras mendidik anak.
"Setelah aku menerima transkrip nilai, aku sebenarnya ingin pulang ke rumah. Tapi aku takut. Akhirnya ku memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temanku, dan ..."
Isakan tangis kini terdengar. Otot lenganku semakin kencang. Ia menahan tangisannya dan berusaha berbicara kembali.
"Kami minum minum Ayah... maafkan aku,"
Sepertinya darahku mengalir kencang. Aku tahu itu semua tidak menyelesaikan masalah, tapi disaat seperti ini aku hanya mampu mendengarkan saja.
"Setelah kami minum-minum salah seorang temanku memberikan sebuah bungkusan. Aku mengira itu tembakau biasa. Tapi ternyata tidak, itu adalah ganja Ayah. Kami menghisap ganja yang dilinting layaknya rokok,"
"Nak kau seharu..."
"Ayah aku mohon.. dengarkan aku," Tangisan kini terdengar jelas. Segukannya menampakan permohonan yang mendalam. Ku melihat sebuah brosur yang tertulis "Seminar Psikologi Keluarga, Bagaimana Membangun Komunikasi Dengan Anak".
"Kami tertangkap polisi Ayah, aku ditahan. Tapi dengan berbagai pertimbangan, polisi membiarkan kami pulang dan memberikan surat peringatan. Kami harus melapor setiap hari. Teman-temanku yang lain sudah dijemput orang tuanya. Dan aku takut ayah.. Aku takut engkau marah,"
Kini aku sedikit lega. Meski jantungku masih keras berdetak.
"Kurasa aku bisa pulang sendiri ayah, aku akan pulang dengan motorku,"
Nafasku tercekal, segera aku larang "Jangan anakku, Ayah mohon. Kau masih dalam keadaan terguncang."
Setelah mabuk dan menghisap ganja tentu bukan sebuah keputusan bijak untuk kembali mengendarai motor. Aku tak ingin sesuatu terjadi padanya.
"Aku mampu Ayah, tidak usah khawatir," terdengar suaranya sedikit cerah. Tangisannya pun tak terdengar lagi.
"Demi Ayahmu nak, pulanglah dengan taksi. Ayah mohon,"
"Baik Ayah, tunggu sebentar," ia terdengar meletakkan telponnya. Ku dengar deru mobil dan suara pintu terbuka. Percakapan dan tawar menawar harga terdengar sedikit jelas ditelingaku.
"Baik Ayah, aku pulang, aku sayang Ayah," ia menutup telponnya. Aku terdiam diruang tengah. Istriku datang menghampiri dan merangkul pundakku sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.
"Apakah ia sadar ia menekan nomor yang keliru?" Istriku bertanya sambil menatap langit-langit rumah.
"Kurasa tidak, ia menelpon orang yang benar,"
Aku dan istriku beranjak dari tempat duduk. Melangkahkan kaki menuju kamar tidur puteriku yang sedang tertidur pulas.
"Dia tak merasakan pulasnya tidur seperti anak kita," Istriku berbisik ditelingaku. Ku mendekati anakku yang kini telah menempuh studi di bangku kuliah. Ku selimuti dia dan ku usap kepalanya.
"Ayah, ibu... ada apa?" Ia menatap kami dengan mata setengah tertutup. Rasa kantuk mengalahkan perhatiannya akan kedatangan kami.
"Kita lagi latihan Nak," Aku berbisik padanya.
"Latihan apa Yah?" Ia menutup wajahnya dengan bantal.
"Mendengarkan ....."
*Ide cerita ini diambil dari sebuah buku hebat yang berjudul "Hikmah Dari Seberang by Unknown Author ". Alur cerita emang beda, tapi inti dan point nya sama. (Dengan berbagai perubahan)
"Ayah.... maafkan aku," suara diseberang sana tertekan dengan segukan tangis. Nafasku diam tercekat.
"Iya.. ini si..."
"Biarkan aku bicara dulu Ayah, aku mohon,"
Ia memotong kata-kataku. Nada bicaranya menampakan lelah yang amat sangat. Sesekali ku dengar ia menahan isak tangis.
"Memang ini semua salahku, aku tak mendengar kata-katamu, tapi aku mohon Ayah, aku selalu ingin bercerita padamu, tapi Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan. Seolah apa yang aku ceritakan tidak penting bagimu,"
Ku mengencangkan genggaman tanganku pada gagang telpon. Istriku terbangun dari tidurnya dan menghampiriku. Ia menatapku penuh tanda tanya. Ku mengisyaratkan agar menggunakan telpon paralel yang tersambung di ruang kerjaku.
"Ayah, memang saat ini aku kebingungan. Aku takut untuk memberi tahu berapa nilai IPK ku saat ini. Hasilnya memalukan Ayah, bahkan akupun tak mau melihatnya. Aku takut kau marah seperti biasanya, aku tak tahan akan bentakan mu Ayah..."
Kini mataku terbuka lebar. Jantungku berdetak kencang. Kini kusadar bahwa selama ini aku terlalu keras mendidik anak.
"Setelah aku menerima transkrip nilai, aku sebenarnya ingin pulang ke rumah. Tapi aku takut. Akhirnya ku memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temanku, dan ..."
Isakan tangis kini terdengar. Otot lenganku semakin kencang. Ia menahan tangisannya dan berusaha berbicara kembali.
"Kami minum minum Ayah... maafkan aku,"
Sepertinya darahku mengalir kencang. Aku tahu itu semua tidak menyelesaikan masalah, tapi disaat seperti ini aku hanya mampu mendengarkan saja.
"Setelah kami minum-minum salah seorang temanku memberikan sebuah bungkusan. Aku mengira itu tembakau biasa. Tapi ternyata tidak, itu adalah ganja Ayah. Kami menghisap ganja yang dilinting layaknya rokok,"
"Nak kau seharu..."
"Ayah aku mohon.. dengarkan aku," Tangisan kini terdengar jelas. Segukannya menampakan permohonan yang mendalam. Ku melihat sebuah brosur yang tertulis "Seminar Psikologi Keluarga, Bagaimana Membangun Komunikasi Dengan Anak".
"Kami tertangkap polisi Ayah, aku ditahan. Tapi dengan berbagai pertimbangan, polisi membiarkan kami pulang dan memberikan surat peringatan. Kami harus melapor setiap hari. Teman-temanku yang lain sudah dijemput orang tuanya. Dan aku takut ayah.. Aku takut engkau marah,"
Kini aku sedikit lega. Meski jantungku masih keras berdetak.
"Kurasa aku bisa pulang sendiri ayah, aku akan pulang dengan motorku,"
Nafasku tercekal, segera aku larang "Jangan anakku, Ayah mohon. Kau masih dalam keadaan terguncang."
Setelah mabuk dan menghisap ganja tentu bukan sebuah keputusan bijak untuk kembali mengendarai motor. Aku tak ingin sesuatu terjadi padanya.
"Aku mampu Ayah, tidak usah khawatir," terdengar suaranya sedikit cerah. Tangisannya pun tak terdengar lagi.
"Demi Ayahmu nak, pulanglah dengan taksi. Ayah mohon,"
"Baik Ayah, tunggu sebentar," ia terdengar meletakkan telponnya. Ku dengar deru mobil dan suara pintu terbuka. Percakapan dan tawar menawar harga terdengar sedikit jelas ditelingaku.
"Baik Ayah, aku pulang, aku sayang Ayah," ia menutup telponnya. Aku terdiam diruang tengah. Istriku datang menghampiri dan merangkul pundakku sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.
"Apakah ia sadar ia menekan nomor yang keliru?" Istriku bertanya sambil menatap langit-langit rumah.
"Kurasa tidak, ia menelpon orang yang benar,"
Aku dan istriku beranjak dari tempat duduk. Melangkahkan kaki menuju kamar tidur puteriku yang sedang tertidur pulas.
"Dia tak merasakan pulasnya tidur seperti anak kita," Istriku berbisik ditelingaku. Ku mendekati anakku yang kini telah menempuh studi di bangku kuliah. Ku selimuti dia dan ku usap kepalanya.
"Ayah, ibu... ada apa?" Ia menatap kami dengan mata setengah tertutup. Rasa kantuk mengalahkan perhatiannya akan kedatangan kami.
"Kita lagi latihan Nak," Aku berbisik padanya.
"Latihan apa Yah?" Ia menutup wajahnya dengan bantal.
"Mendengarkan ....."
sumber foto |
*Ide cerita ini diambil dari sebuah buku hebat yang berjudul "Hikmah Dari Seberang by Unknown Author ". Alur cerita emang beda, tapi inti dan point nya sama. (Dengan berbagai perubahan)
4 komentar:
Great :D suka.
Ikut lomba yang ttng IPK gak EWC?
Hmmm...keren!
Bacanya kok buat saya deg-degan ya :D
Thanks All ... hehe,, makasih buat komentarnya...
Posting Komentar