“Jadi nanti akan ada siswa baru yang dikirim dari pondok pusat, dia
akan menambah jumlah kalian”
“Waaaahh, nambah
nih satu orang”
“Kayaknya asik nih,
katanya dia asli orang sini ya? Hmmm, bisa nitip bawain makanan nih”
Suasana kelas
mulai ricuh setelah pengumuman dari Staff Pengasuhan Santri yang mengatakan
akan ada siswa baru yang menjadi bagian kita. Jumlah siswa seangkatanku hanya
dua puluh sembilan orang. Untuk tinggal di sekolah yang menantang ini memang
tidak mudah. Pondok pusat pun hanya mengirimkan tiga puluh santrinya untuk
melanjutkan studi di Pulau Sulawesi ini. Dan satu orang diantara kita sudah
menyerah lebih dulu dan tidak ikut dalam Armada Masa Depan kami.
“Thayib,
intinya kalian harus bisa ikut berbaur dengan dia, kepindahan dia kesini bukan
tanpa alasan,”
Kini kami mulai
diam. Akupun terdiam. Bukankah siswa yang lebih dulu mengecep pendidikan selama
lima tahun disini diberi hak untuk pindah ke pondok pusat untuk dididik
langsung dengan pimpinan dan para kyai? Tapi mengapa kini ia pindah dan kembali
ke tempat asalnya?
“Sewaktu siswa
kelas enam sedang latihan untuk penampilan Panggung Gembira ia terpilih menjadi
musikus untuk penampilan band” Ustad Rozi memulai ceritanya. Kini suasana kelas
berubah sepi. Memang sudah menjadi kebiasaan, bila ada pengajar yang bercerita
kami akan diam dam mendengarkan. Lain bila pelajaran.
“Kalian pasti tahu
sendiri bagaimana kerasnya latihan untuk PG” suara Ustad Rozi mulai melunak.
Kami tambah penasaran.
“Dan setiap
selesai latihan, dia selalu minum suplemen serbuk. Yaa seperti yang sering
kalian beli itu…”
“Ohhh…” kami
mendengung bersamaan.
“Dan dia mengalami
kebocoran jantung. Dia harus diopname hampir tiga bulan. Setelah operasi, dia
masih mengalami lemah jantung. Dan orang tuanya tidak ingin dia jauh. Makanya,
orang tuanya ingin dia kembali ke Kendari.”
“Memang orang
tuanya kerja apa ustad?” tanya temanku yang bernama Trias.
“Bapaknya kepala desa
disini.”
Suasana kelas hening. Kami berbincang satu sama lain tentang
siapakah anak baru itu. Cerita yang dibawakan Ustad Rozi membuat kami iba.
Membayangkan sakit jantung yang ia idap,
kami hanya bisa menelan ludah.
*** *** ***
“Jadi begitu mi,
coba ko pegang dadaku, kau rasakan toh?”
“Wahh, Rais, kok
bisa begini?” aku masih tidak bisa menyangka. Detak jantungnya beritu terasa
ditelapak tanganku. Tapi ia hanya tersenyum. Seolah penyakitnya hanya sebuah
penampilan sirkus yang menarik decak kagum.
“Kau tahu mi?
Aku disana itu hampir tiap malam itu minum extra joss. Setiap aku capek, aku
minum saja itu minuman. Tapi jadi begini hasilnya. Dokter bilang jantungku
terbalik, hahahaha,” Rais masih menempelkan tanganku didadanya.
“Tidak apa-apa ji,
yang penting kini aku pulang kerumahku” ucap Rais ringan.
“Kamu itu,
yasudah, hayya na’kul, sekarang sudah jam makan siang. Kita makan, habis
ini kita ada kumpul dengan staff pengasuhan,” kataku sambil tersenyum. Jam
musholla menunjukan jam setengah satu, sudah saatnya makan siang.
“Oh, bisakah ko
bawakan nasi kekamarku? Aku tak kuat jalan ji, habis datang
barusan,” Rais meminta sesuatu padaku. Bila kulihat memang mata Rais menampakan
kelelahan. Tapi bukan lelah yang seperti kurasa bila habis menguras kamar mandi
asrama. Juga bukan tatapan lelah bila semalaman mengerjakan tugas sekolah.
Matanya menampakan lelah yang mengundang banyak tanya.
“Aiwah, na’am,
intazhir suwayya!” ucapku padanya. Akupun keluar dari musholla dan berjalan
menuju dapur umum.
*** *** ***
“Jadi kalian harus
mempersiapkan semaksimal mungkin. Penampilan kali ini bukan hanya untuk unjuk
kemampuan kalian saja. Tapi untuk menunjukan jati diri pondok kita, agar mereka
yang duduk di pemerintahan sadar. Ada pesantren ditengah hutan ini,”
Ustad Wahyudi
menyampaikan sambutan didepan para santri. Satu bulan kedepan kami berencana
untuk membuat suatu pertunjukan untuk mengisi silaturrahim bersama gubernur. Pondokku
yang terletak 60 km dari kota membuat tempat ini sulit dijangkau. Belum akses
jalan yang tidak dilengkapi penerangan. Tak heran, saat pertama kali aku
menginjakan kaki di Desa Pudahoa ini, aku menamai tempat ini dengan The Lost
World.
“Apalagi sekarang
kita didatangi kakak senior kita. Kakak yang mahir sekali memainkan alat-alat musik.
Mana Rais? Coba berdiri!” Ustad Wahyudi menyuruh Rais untuk memperkenalkan diri
didepan seluruh santri.
“Hadhir
ustad!” Rais berdiri dan tersenyum pada seluruh santri.
“Nanti kamu Rais,
atur penampilan sholawat dan rebananya, siap?”
“Siap ustad!”
Pembagian tugaspun dimulai. Aku mendapatkan amanat sebagai staff parkir karena aku menduduki jabatan sebagai pengurus pramuka. Temanku yang lain ada yang mendapatkan amanat sebagai MC, penerima tamu, logistic, konsumsi, dan penampilan. Acara ini diharapkan sukses, itu ungkapan pimpinan pondok kami, Ustad Wahyudi.
Pembagian tugaspun dimulai. Aku mendapatkan amanat sebagai staff parkir karena aku menduduki jabatan sebagai pengurus pramuka. Temanku yang lain ada yang mendapatkan amanat sebagai MC, penerima tamu, logistic, konsumsi, dan penampilan. Acara ini diharapkan sukses, itu ungkapan pimpinan pondok kami, Ustad Wahyudi.
“Tapi untuk siswa
kelas enam, ingat! Tidak ada dispensasi untuk meninggalkan kelas. Kegiatan
belajar mengajar harus tetap diadakan!” Ustad Wahyudi kini mengangkat suara.
Beberapa temanku mulai berbisik satu sama lain. Akupun merasa tidak setuju
dengan kebijakan beliau. Namun sebagai santri, aku tidak bisa menolak kebijakan
kyai.
Tiba-tiba kudengar
Rais berbisik “Tidak apa mi, kapan lagi kita belajar toh?” ia tersenyum
padaku. Menyiratkan begitu banyak arti.
“Hmm, memang bener
apa katamu Rais,” akupun tersenyum balik padanya.
*** *** ***
Pukul tujuh pagi. Aku sudah bersiap dengan buku dan perlengkapan
sekolah. Pagi ini matahari menyambut kami yang sedikit malas dengan sapuan
hangatnya. Kicauan burung dan celotehan monyet didahan pohon terdengar hingga
ke ruang kamarku. Pondok Pesantren ini memang unik. Itu yang kurasa. Terletak
ditengah hutan tidak membuat pondok ini asing dan sepi. Setiap kami pergi
kekelas, kami harus berjalan sejauh setengah kilometer untuk menjangkau
kompleks gedung kelas. Dan selama kami berjalan, kami disuguhi dengan
pemandangan alam yang asri. Suara burung, monyet, dan serangga sudah tak asing
kami dengar. Beberapa meter sebelum menuju kelas, kami melewati sebuah danau
yang asri. Meski danau buatan, danau ini selalu menjadi tempat kami berkumpul
dan melepas penat. Terkadang kami berenang, bermain rakit, dan memancing di
danau ini.
“Hei Surya, tunggu aku mi!” kudengar seseorang memanggil
namaku. Dialek Kendari asli membuatku mampu menebak siapakah sumber suara
tersebut.
“Hei Rais, kaifa haluk?”
“Alhamdulillah, jayyid, gimana mi? Sudah siap ko
untuk penampilan?”
Kami berjalan melewati pinggiran danau menuju kelas. Pantulan sinar
matahari dipermukaan danau berkilauan bagai permata yang bertaburan. Beberapa
burung elang berputar mengelilingi langit Pudahoa ini.
“Waah, gimana ya? Aku sedikit malas Rais. Lagipula tugasku hanya
menjadi juru parkir saja. Ana kaslan,”
“Edede, ko itu mi, kau cerita padaku ko
bisa main keyboard toh? Pokoknya nanti ko harus ikut latihan
untuk iringi rebana dan sholawat, ko harus ikut mi,”
“Ah Rais, nanti kalo aku ikut bisa bikin kacau penampilanmu, ana
la uriid,”
“Tidak bisa ji, tidak bisa, pokoknya ko harus ikut, ko
nanti yang manggantikanku,”
Percakapan kami terhenti setelah bel kelas dipukul. Kami sedikit
berlarian menuju kelas yang tinggal beberapa meter lagi. Rais berlari
mendahuluiku dan tiba dipintu kelas lebih dulu. Entah mengapa, hari ini aku
sungguh merasakan malas yang luar biasa. Bahkan terbesit dalam pikiranku untuk
keluar dari The Lost World ini dan kembali ke Bandung saja. Tapi berbeda
dengan Rais. Kini ia begitu bersemangat kembali bersekolah. Kulihat ia membuang
sesuatu dari mulutnya dirumput depan kelas.
“Cepat kelas enam! Masuk keruang kelas!” teriak Staff KMI padaku.
Ku melangkahkan kakiku lebih cepat sambil menundukan kepala. Ku terkejut
melihat sesuatu yang menempel dirumput. Sesuatu yang tadi Rais buang dari
mulutnya.
“Darah!” aku menahan napas.
*** *** ***
“Pokoknya habis ini kita langsung latihan nah, penampilan
sebentar lagi ji!” ucap Rais untuk yang kesekian kalinya. Mulutnya yang penuh
dengan nasi membuatnya sedikit sulit berbicara.
“Iya Rais, tapi ente beneran ajarin yo, aku takut ngerusak acara
kamu,” ucapku.
“Gampang itu ji, pokoknya, nanti kita tampil berdua. Eh,
bagaimana penampilan nanti untuk kita Panggung Gembira mi? Sudah siapkah
ko?” tanya Rais padaku. Kini ia menanyakan penampilan pensi angkatan
yang diadakan tiga bulan mendatang.
“Masih lama kan? Lagian juga kita belum siap dananya,” tukasku.
“Yang penting, nanti ko main nah,” ucap Rais singkat.
Ia beranjak dari bangku dapur dan bergegas ke tempat cuci piring, dan menyudahi
makan malam.
“Ana antazhir fi diwanil musiq akh, bissur’ah, cepat mi!”
teriak Rais yang beranjak lebih dulu meninggalakanku. Sepertinya ia hendak
mempersiapkan studio untuk berlatih.
*** *** ***
Penampilan kali ini memang berbeda dengan sebelumnya. Acara ini
dihadiri oleh jajaran pemerintah termasuk gubernur. Bahkan, pimpinan pondok
dari Jawa pun datang untuk turut bersilaturrahim. Aku bersiap didepan keyboard
yang disediakan disebelah panggung. Acara akan dibuka dengan penampilan rebana
dan shalawat kontemporer. Rais duduk disebelahku. Wajahnya menampakan antusias
yang amat sangat. Ia menekan tombol yang terletak di panel Keyboard dan
sesekali mendekatkan telinganya ke speaker, mencocokan rhytm dan tones
agar sesuai dengan lagu yang akan dibawakan.
Aku terdiam sesaat. Memang ini bukan penampilan perdanaku bermain
keyboard. Tapi bila dibandingkan dengan Rais, aku kalah hebat. Rais tidak hanya
mahir bermain keyboard. Drum, bass, bahkan gitar dapat ia mainkan dengan baik.
Aku sedikit minder bila disamakan dengan Rais. Tapi entah mengapa, Rais begitu
antusias ketika mendengarku mampu bermain keyboard.
“Sudah mulai mi, ayo kita mulai!” Rais mengagetkanku. Jajaran
Gubernur dan pimpinan pondok memasuki aula. Seorang santri yang kukenal
bersuara merdu muncul dari balik tirai dibelakang panggung. Ia menyanyikan
syai’r Ya Badrotim seiringan dengan permainan keyboardku dan Rais.
Tepukan rebana menghiasi tarian nada dan irama lagu.
“Ayo Surya, kita dilihat mi sama gubernur!” ucap Rais
sedikit berteriak. Matanya tetap tertuju pada tuts keyboard.
Aku hanya tersenyum sambil sedikit tertawa. Acara ini mengundan
decak kagum para penonton. Alunan lagu yang berisikan syair shalawat nabi
menyeruak keseluruh sudut ruangan. Beberapa penonton mengikuti lagu klasik ini.
*** *** ***
“Kemana Rais akh? Biasanya sama kamu?” Trias menanyaiku.
Teman-temanku sedang berkumpul diteras asrama. Seperti biasa kami menghabiskan
waktu lenggang setelah belajar malam dengan berbincang sambil menyeduh segelas
kopi.
“Abis penampilan minggu kemarin katanya dia ada acara keluarga Yas,
ada nikahan gitu,” ucapku. Secangkir kopi hangat keseruput dalam-dalam.
“Ohh, keren banget kemarin ente, banyak penonton dari pondok puteri
tuh yang nanyain kamu,” tukas Trias sambil tersenyum meledek. Aku hanya
tersenyum datar.
“Hahaha, ada-ada aja kamu Hong,” kataku. Trias yang bermata sipit
itu memang biasa dipanggil Ahong oleh teman-teman seangkatan.
Tiba-tiba terdengar bacaan Surat Yasin dari speaker musholla. Aku
dan Trias saling pandang. Tidak biasanya malam-malam begini dikumandangkan
Surat Yasin. Dalam peraturannya, Surat Yasin hanya dilantunkan speaker bila ada
seseorang yang meninggal. Ustad Rozi menghampiri asrama siswa akhir dan
mengangkat suaranya keras-keras.
“Siswa kelas enam berkumpul didepan kantor Pengasuhan!”
Suasana asrama kini sedikit tegang. Teman-temanku yang sudah tertidur
dikamar terpaksa keluar dan berkumpul. Pertanda ada sebuah pengumuman penting.
Tapi hatiku masih bertanya-tanya, mengapa Surat Yasin dikumandangkan?
Seorang ustad yang kukenal bernama Ustad Saiful keluar dari kantor
Pengasuhan. Ia mengenakan sarung dan peci layaknya orang yang hendak shalat.
Wajahnya syahdu dan terlihat menahan kesedihan. Suaranya parau, setelah menarik
napas panjang ia memberitakan sebuah kabar
“Inna lillahi, wa inna ilahi raji’uun. Telah berpulang, sahabat
kita, kawan kita, akhi Rais Kalinggo tadi sore ….”
Ku tertunduk. Suasana malam saat itu begitu hening. Binatang malam
seolah enggan bernyanyi seperti malam-malam sebelumnya. Berita ini tentu bukan
karangan. Tak terasa air mata menggenangi kelopak mataku.
3 Bulan kemudian ….
“Panggung Gembira mulai latihan malam ini, di Gedung Aligarh. Ana
harap antum bisa berlatih dengan gigih. Ingat ini acara terakhir kita di
Pondok ini. Kita buktikan kita bisa!” Zulfahmi yang menjadi ketua panitia
memberikan arahan sebelum latihan dimulai. Siswa akhir akan menampilkan sebuah
acara pensi diakhir masa studi. Kegiatan ini memang diadakan tiap tahun bagi
siswa akhir.
Zulfahmi meneruskan “Untuk acara pertama yaitu paduan suara, tempat
latihan diruang lima, tapi ….”
“Untuk pengiring paduan suara kita pakai keyboard kan?”
Sejenak suasana hening. Kehilangan personel angkatan memang tidak
mudah kami terima dengan cepat. Seseorang yang selalu bersemangat menempuh
perjalanan setengah kilometer untuk menempuh ruang kelas. Seseorang yang tidak
pernah mengeluh dengan kondisi fisiknya yang sudah rapuh. Seseorang yang
mengajariku arti kata “tangguh” yang sesungguhnya. Seseorang yang kini telah
istirahat dengan tenang tanpa harus bolak-balik klinik untuk medical
check-up.
“Surya …”
“Kamu yang menggantikan Rais ya ….”
Aku masih tertunduk. Kini ku tak bisa menggelengkan kepala untuk
menolak. Seketika ku mendengar ada bisikan halus ditelingaku. Menyuruhku untuk
melaksanakan tugas yang harus aku gantikan.
“Siap Rais ….”
Suaraku terdengar lirih.
14th February 2012. Cerpen ini ditulis untuk mengenang
seorang sahabat tercinta, Alm Rais Kalinggo .
Pemain keyboard diatas adalah Alm Rais Kalinggo |
6 komentar:
what an awesome story res. inspirational, really.
is that you with the blue shirt?
did he looks like me? hahah...
i dunno, that's why i'm asking you.. :D
You donno? Where is kasino?
-__-
so is that you?
i was ...
hahhaa....
Posting Komentar