Manusia sejatinya memiliki dua komponen inti yang mempengaruhi segala keputusan dan kebijakannya. Akal dan hati. Dua hal ini selalu memberikan perspektif yang mendorong manusia untuk berbuat sesuatu. Namun secara naluriah, kedua komponen ini tidak mampu bekerja dengan baik tanpa mengalami proses pembentukan dan pertumbuhan. Proses yang banyak para pemikir sebut sebagai "Memanusiakan Manusia" atau "Mendorong manusia menuju kesempurnaan". Apapun itu, benang merah dari berbagai definisi itu adalah sebuah kata yang kita sebut sebagai "Pendidikan".
Banyak para filsuf, ilmuwan, sejarawan, professor, bahkan para politisi memberikan gambarannya akan apa itu definisi pendidikan. Namun faktanya, definisi hanyalah definisi. Yang berhenti pada satu tanda kalimat berupa "titik" dalam sebuah kata diatas secarik kertas. Mereka yang rela terjun dan menjadi praktisi pendidikan hanya sedikit bila dibandingkan dengan mereka yang bergelut memperdebatkan definisi dari pendidikan. Saking banyaknya perdebatan dikalangan ilmuwan, rasio jumlah buku yang diterbitkan tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan. Buktinya, kasus perilaku menyimpang, pergaulan bebas, obat-obatan terlarang, dan turunya moral anak bangsa masih menjadi topik hangat yang tidak akan habis dikupas di media massa. Ironi memang.
Indonesia saat ini masih menduduki klasemen atas dalam jumlah kepadatan penduduk didunia. Juga masih menjadi klasemen atas dalam tindak korupsi. Jumlah ilmuwan dan pendidik-pun tidak sedikit. Tapi mengapa perwajahan negeri ini seolah tidak berubah meski sudah didandani oleh make-up dan bedak yang mahal dan diimpor dari luar negeri. Mereka yang berpendidikan seolah tidak mampu memberi panutan pada generasi muda. Kasus kelicikan skala besar-pun dilakukan oleh mereka yang telah menempuh pendidikan super tinggi, gelar dibelakang namanya, dan berbagai titel pendidikan dan penghargaan. Seolah apa yang mereka lakukan tidak diperhatikan dan dilihat. Tak heran, yang tua demikian, yang muda pun demikian.
Tak heran bila saat ini, masih banyak generasi muda kita yang duduk termenung dan meratapi nasibnya. Mereka berusaha hidup ditengan kesemrawutan negeri yang tak menentu ini. Bosan dengan nasibnya, akhirnya mereka memutuskan untuk berbuat sesuai dengan naluri anak mudanya. Berbuat dan berlaku seenaknya. Seakan dunia menjadi miliknya.
Gagahnya pagar sekolah, identitas nasional atau internasional, dan mahalnya biaya pendidikan kini menjadi tembok tinggi dan jurang pemisah. Pendidikan saudara kita di Kupang, NTT, Papua, dan pelosok lain negeri ini sungguh sangat jauh berbeda bila dibandingkan pendidikan di kota-kota besar. Perwajahan bak selebritis, gadget dan aksesori jutaan, make up dan gaya rambut ala orang asing, dan identitas keartisan kini menjadi trend bagi para remaja labil. Seolah konser idola, lagu baru, dan pulsa gratis menjadi perhatian pertamanya. Tapi nasib saudara yang nun jauh disana tak terbesit walau sedikit. Tanyakan nama kota di NTT atau NTB pada mereka, dengan bangga dan tanpa bersalah banyak mereka yang menjawab "Duh lupaa, dimana ya itu? Saya gak suka Geografi".
Pendidikan negeri ini, mau dibawa kemana? Akankah pendidikan kini hanya menjadi ukuran nilai rapor saja? Ataukan pendidikan hanya menjadikan manusia tidak manusiawi lagi? Ataukah pendidikan hanya menjadi alat untuk mencari gelar dan mencari pekerjaan? Atau, apakah pendidikan hanya menjadi bahan olok-olokan karena mereka terkesan culun, cupu, bego, kutu buku, dan hanya rajin menghuni perpustakaan?
Menelisik peran "Drama Pendidikan" di Indonesia memang tak pernah habis dikupas. Pertama adalah peran "sekolah". Sekolah di Indonesia sedang mengalami arus latah. Latah karena ingin dinamai "Internasional" atau "Standar Nasional". Mengapa? Agar biaya sekolah dapat diatur sedemikian rupa dengan tawaran pendidikan yang "Internasional". Agar sekolah menjadi sebuah tempat mewah yang dihuni oleh para jutawan, pejabat, dan pengusaha skala besar. Agar dana sekolah lebih besar dan tidak tersendat-sendat. Kesejahteraan guru pun meningkat. Coba lihatlah nasib SD di daerah Cilacap yang atapnya rubuh karena terjangan angin. Bila ada guru yang dimutasi kesana, apakah ia akan mampu bertahan? Lalu apakah label pendidikan hanya berhenti pada kata-kata "internasional" hingga mereka yang menjadi alumni dari sekolah itu dipuji dan diagungkan bak dewa? Sekolah pun kini menjadi tak berdaya karena kebijakan disiplin dan ketegasan diatur oleh sifat manja para murid. Disiplin yang tegas dianggap keras, dan protes orang tua murid membuat sekolah seolah lembek dan kemenye. Lihatlah bila murid diberikan disiplin yang bertujuan mendidik para murid. Sekolah tiba-tiba dibanjiri oleh para wali murid yang keberatan atas disiplin. Sekolah kini telah luntur wibawanya, dan tak mampu mengendalikan muridnya. Dengan dalih "si A anaknya pejabat" "si B anaknya pengusaha" "si C anaknya polisi, tentara, presiden" lalu apakah dengan seperti itu mereka kebal aturan dan disiplin?
Kedua adalah peran "Guru". Bila menyebut nama ini saya merasa tersindir. Kelak saya akan menjadi guru pula. Itulah alasan mengapa saya ingin menulis artikel ini. Agar kelak saya tidak menjadi seperti itu.
Drama guru memang selalu membuat sensasi. Bagi yang tidak suka atau merasa tersinggung saya sarankan untuk tidak membaca tulisan ini. Sekali lagi saya sarankan, tutup jendela blog ini dan tak usah dibaca. Ini akan sangat sensitif dan provokatif. Kita tinggal di negeri yang demokratis. Presiden saja boleh dikritik secara frontal di media massa. Jadi... jangan salahkan bila tersinggung.
Bila kita mengambil satu contoh dari ribuan contoh di Indonesia, kita ambil kasus pencontekan si SDN Gadel Sidoarjo beberapa waktu silam. Bagaimana sebuah drama dilakoni dan dikerjaan dengan tanpa dosa. Ujian yang diniatkan mengukur prestasi dan akhlak murid kini hilang dan luntur nilai-nilainya. Ujian yang diharapkan menjadi ukuran moral kini telah dihancurkan oleh guru sendiri. Tanpa dosa guru memberikan contekan jawaban saat ujian. Tak usahlah menyebut salah satu nama sekolah menengah. Tanya saja muridnya, apakah guru memberikan jawaban pada saat ujian? Mereka hanya tertawa dan cekikikan menjawab "iyaa doonng, sekolah aku gituuu". Bila ada murid yang enggan melaksanakan perintah itu, ia akan menjadi bulan-bulanan pihak sekolah. Murid yang cerdas malah diarahkan untuk bermental bobrok ala koruptor yang lihai berbohong dan melempar tuduhan. Murid yang jujur malah dinilai bodoh, goblok, memalukan, dan menjadi cibiran. Kemanakah nilai luhur itu? Apakah jujur memang bahan tertawaan orang? Tak heran bila kita dipimpin oleh para koruptor, kejujuran pun kita tertawai dan dianggap bodoh. Guru seolah menyuruh anak muridnya membangun jembatan diatas jurang, belum sampai ke tebing selanjutnya, murid diperintah untuk terjun payung kebawah jurang. Hancur lebur dan tak berbentuk. Akhirnya, mencontek bukan lagi sebuah dosa pendidikan. Tapi budaya kebersamaan dan kewajaran.
Lalu diapakan hati dan akal yang tinggal didalam jiwa kita? Pendidikan macam apa yang saat ini kita rasakan?
Guru pun seolah merasa tugasnya sebagai pendidik selesai setelah bel keluar kelas. Tindak tanduk dan perilaku muridnya diluar sekolah seolah bukan tanggung jawab mereka. Bila murid terlibat pada suatu kasus, guru seolah angkat tangan dan merasa tidak bertanggung jawab. Lalu kemanakah murid akan memohon pengarahan? kemanakah murid akan memohon pendidikan yang bersih? yang mendorong siswa-siswinya berbuat baik dan arif?
Saat ini marak sekali lembaga pendidikan semacam bimbel bermunculan. Para murid merasa mereka lebih dapat menimba ilmu ditempat sepeti itu. Mereka mampu lolos SNMPTN atas bimbingan para mentor. Meski tidak semuanya, kebanyakan bila ditanya mengapa mereka bimbel, para murid menjawab "Di SMA saya tidak mendapat apa-apa". Jawaban yang seharusnya membuat para guru dan sekolah malu. Seharusnya guru membimbing murid yang tidak bisa menjadi optimis untuk bisa. Sekolah memberikan pendidikan yang afektif dan disiplin. Sekolah harus mampu berdiri tegak dan tegas.
K.H Imam Zarkasyi mengatakan "Apa yang kau lihat, kau rasa, kau dengar adalah pendidikan".
Pendidikan adalah proses. Dan pendidikan tidak hanya dinilai dari jumlah torehan nilai di rapor saat kelulusan. Alih-alih nilai palsu Ujian Nasional. Pendidikan adalah suatu cara bagi manusia agar mampu berdiri diatas kaki sendiri, berjalan dengan penuh optimis, dan melihat dengan penuh kesadaran. Dengan artian, agar mereka mampu menemukan bakat dan minat yang memang ada dan tinggal dalam dirinya. Biarlah orang yang berbakat menjadi pesepak bola berkecimpung dibidangnya. Janganlah jadikan UN penghancur moral mereka. Biarlah orang yang tinggal didesa dan mengurus ternak mengurusi ternaknya hingga sukses, jangan jadikan mereka malu karena nilai UN mereka yang hancur. Agar mereka optimis dan mampu berjalan, dan menjadi apa yang mereka inginkan. Dan sadar akan perannya di bumi ini sebagai khalifah. Yang menebarkan rahmat bagi sesama.
Bila drama ujian nasional hanya menjadi cermin dua wajah, usahlah program ini dilanjutkan. Jangan jadikan UN semata-mata nilai dan ukuran murid. Tidak mungkin, soal yang sama rata, diujikan dengan sama rata pula. Mereka yang tinggal dikota-kota besar mampu menyelesaikan soal ujian karena belajar ditempat yang nyaman, aman, dan dibimbing dengan pendidikan luar sekolah. Tapi mereka yang di Kupang, Flores, Maluku? Yang harus melewati jembatan yang hampir rubuh agar mampu bersekolah ....
Juga drama ancaman mutasi bagi sekolah yang gagal dan memiliki prosentase nilai UN rendah. Usahlah para guru ditekan agar murid lulus dalam ujian. Memang ujian itu perlu, dan bertujuan mulia, tapi sistematika dan pelaksanaanya harus dikoreksi besar-besaran. Ujian haruslah diukur dari berbagai aspek. Saya lebih merasa ujian akhir sekolah yang justru lebih berperan.
UN bukan satu-satunya ukuran yang dapat dijadikan patokan, bila setelah ujian, siswa tidak berubah dan tidak meningkat. IQ, EQ, dan SQ nya.
Bila sekolah beranggapan, "bila nilai UN kita rendah, kita akan ditegur oleh pihak kementrian, dan dianggap pendidikan tidak sukses" maka orientasi ujian bukan lagi akhlak, mental, dan keilmuan siswa. Itulah mengapa saya berpendapat, UN tidak perlu diadakan lagi. Buatlah suatu ujian yang mendorong siswa untuk mengeluarkan bakatnya dan mempertanggung jawabkan hasil evaluasi belajarnya. Seperti tugas akhir, membuat makalah, presentasi, berpidato dan menjelaskan suatu materi, membuat sebuah pertunjukan, prestasi olahraga, memimpin seminar ilmiah, itu semua mampu dilakukan bila guru dan sekolah saling mendukung. Itu semua adalah ujian bagi murid, karena bukan masalah ia mampu melewati ujian atau tidak, tapi apakah ia mampu untuk hidup, mandiri, dan disiplin setelah mereka diuji? Itulah ujian. Karena orientasi "Belajar Untuk Ujian" akan berhenti bila proses ujian telah selesai. Tapi bila "Ujian adalah bagian dari belajr" murid akan terus mengevaluasi diri agar ia terus meningkat. Bukan semata-mata mengejar nilai.
Memang tidak adil bila kita menyalahkan guru ataupun sekolah saat ini. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat atas keputusan yang mereka lakukan. Tapi saya hanya berharap, bila UN memang masih berlaku, tidak usahlah murid diberi contekan oleh para guru. Biarlah murid tahu sampai mana kemampuan dia, dan PERAN MEDIA jangan terlalu mengumbar-ngumbar siswa yang tidak lulus. Hendaknya paradigma tidak lulus diubah dan diarahkan. Dan guru mendidik dan mengajari kembali murid-murid yang tidak lulus agar mampu lolos ujian kembali. Bukankah ketidak lulusan mencerminkan ketidak seriusan murid ketika belajar? Bila murid memang malas belajar, wajar saja bila ia mendapatkan hasil yang setimpal. Yang terpenting adalah, bagaimana mental murid siap menerima hasil ujian yang mereka lakukan dengan BERSIH dan JUJUR. Bukankah pendidikan menanamkan nilai jujur?
Banyak para filsuf, ilmuwan, sejarawan, professor, bahkan para politisi memberikan gambarannya akan apa itu definisi pendidikan. Namun faktanya, definisi hanyalah definisi. Yang berhenti pada satu tanda kalimat berupa "titik" dalam sebuah kata diatas secarik kertas. Mereka yang rela terjun dan menjadi praktisi pendidikan hanya sedikit bila dibandingkan dengan mereka yang bergelut memperdebatkan definisi dari pendidikan. Saking banyaknya perdebatan dikalangan ilmuwan, rasio jumlah buku yang diterbitkan tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan. Buktinya, kasus perilaku menyimpang, pergaulan bebas, obat-obatan terlarang, dan turunya moral anak bangsa masih menjadi topik hangat yang tidak akan habis dikupas di media massa. Ironi memang.
Indonesia saat ini masih menduduki klasemen atas dalam jumlah kepadatan penduduk didunia. Juga masih menjadi klasemen atas dalam tindak korupsi. Jumlah ilmuwan dan pendidik-pun tidak sedikit. Tapi mengapa perwajahan negeri ini seolah tidak berubah meski sudah didandani oleh make-up dan bedak yang mahal dan diimpor dari luar negeri. Mereka yang berpendidikan seolah tidak mampu memberi panutan pada generasi muda. Kasus kelicikan skala besar-pun dilakukan oleh mereka yang telah menempuh pendidikan super tinggi, gelar dibelakang namanya, dan berbagai titel pendidikan dan penghargaan. Seolah apa yang mereka lakukan tidak diperhatikan dan dilihat. Tak heran, yang tua demikian, yang muda pun demikian.
Tak heran bila saat ini, masih banyak generasi muda kita yang duduk termenung dan meratapi nasibnya. Mereka berusaha hidup ditengan kesemrawutan negeri yang tak menentu ini. Bosan dengan nasibnya, akhirnya mereka memutuskan untuk berbuat sesuai dengan naluri anak mudanya. Berbuat dan berlaku seenaknya. Seakan dunia menjadi miliknya.
Gagahnya pagar sekolah, identitas nasional atau internasional, dan mahalnya biaya pendidikan kini menjadi tembok tinggi dan jurang pemisah. Pendidikan saudara kita di Kupang, NTT, Papua, dan pelosok lain negeri ini sungguh sangat jauh berbeda bila dibandingkan pendidikan di kota-kota besar. Perwajahan bak selebritis, gadget dan aksesori jutaan, make up dan gaya rambut ala orang asing, dan identitas keartisan kini menjadi trend bagi para remaja labil. Seolah konser idola, lagu baru, dan pulsa gratis menjadi perhatian pertamanya. Tapi nasib saudara yang nun jauh disana tak terbesit walau sedikit. Tanyakan nama kota di NTT atau NTB pada mereka, dengan bangga dan tanpa bersalah banyak mereka yang menjawab "Duh lupaa, dimana ya itu? Saya gak suka Geografi".
Pendidikan negeri ini, mau dibawa kemana? Akankah pendidikan kini hanya menjadi ukuran nilai rapor saja? Ataukan pendidikan hanya menjadikan manusia tidak manusiawi lagi? Ataukah pendidikan hanya menjadi alat untuk mencari gelar dan mencari pekerjaan? Atau, apakah pendidikan hanya menjadi bahan olok-olokan karena mereka terkesan culun, cupu, bego, kutu buku, dan hanya rajin menghuni perpustakaan?
Menelisik peran "Drama Pendidikan" di Indonesia memang tak pernah habis dikupas. Pertama adalah peran "sekolah". Sekolah di Indonesia sedang mengalami arus latah. Latah karena ingin dinamai "Internasional" atau "Standar Nasional". Mengapa? Agar biaya sekolah dapat diatur sedemikian rupa dengan tawaran pendidikan yang "Internasional". Agar sekolah menjadi sebuah tempat mewah yang dihuni oleh para jutawan, pejabat, dan pengusaha skala besar. Agar dana sekolah lebih besar dan tidak tersendat-sendat. Kesejahteraan guru pun meningkat. Coba lihatlah nasib SD di daerah Cilacap yang atapnya rubuh karena terjangan angin. Bila ada guru yang dimutasi kesana, apakah ia akan mampu bertahan? Lalu apakah label pendidikan hanya berhenti pada kata-kata "internasional" hingga mereka yang menjadi alumni dari sekolah itu dipuji dan diagungkan bak dewa? Sekolah pun kini menjadi tak berdaya karena kebijakan disiplin dan ketegasan diatur oleh sifat manja para murid. Disiplin yang tegas dianggap keras, dan protes orang tua murid membuat sekolah seolah lembek dan kemenye. Lihatlah bila murid diberikan disiplin yang bertujuan mendidik para murid. Sekolah tiba-tiba dibanjiri oleh para wali murid yang keberatan atas disiplin. Sekolah kini telah luntur wibawanya, dan tak mampu mengendalikan muridnya. Dengan dalih "si A anaknya pejabat" "si B anaknya pengusaha" "si C anaknya polisi, tentara, presiden" lalu apakah dengan seperti itu mereka kebal aturan dan disiplin?
Kedua adalah peran "Guru". Bila menyebut nama ini saya merasa tersindir. Kelak saya akan menjadi guru pula. Itulah alasan mengapa saya ingin menulis artikel ini. Agar kelak saya tidak menjadi seperti itu.
Drama guru memang selalu membuat sensasi. Bagi yang tidak suka atau merasa tersinggung saya sarankan untuk tidak membaca tulisan ini. Sekali lagi saya sarankan, tutup jendela blog ini dan tak usah dibaca. Ini akan sangat sensitif dan provokatif. Kita tinggal di negeri yang demokratis. Presiden saja boleh dikritik secara frontal di media massa. Jadi... jangan salahkan bila tersinggung.
Bila kita mengambil satu contoh dari ribuan contoh di Indonesia, kita ambil kasus pencontekan si SDN Gadel Sidoarjo beberapa waktu silam. Bagaimana sebuah drama dilakoni dan dikerjaan dengan tanpa dosa. Ujian yang diniatkan mengukur prestasi dan akhlak murid kini hilang dan luntur nilai-nilainya. Ujian yang diharapkan menjadi ukuran moral kini telah dihancurkan oleh guru sendiri. Tanpa dosa guru memberikan contekan jawaban saat ujian. Tak usahlah menyebut salah satu nama sekolah menengah. Tanya saja muridnya, apakah guru memberikan jawaban pada saat ujian? Mereka hanya tertawa dan cekikikan menjawab "iyaa doonng, sekolah aku gituuu". Bila ada murid yang enggan melaksanakan perintah itu, ia akan menjadi bulan-bulanan pihak sekolah. Murid yang cerdas malah diarahkan untuk bermental bobrok ala koruptor yang lihai berbohong dan melempar tuduhan. Murid yang jujur malah dinilai bodoh, goblok, memalukan, dan menjadi cibiran. Kemanakah nilai luhur itu? Apakah jujur memang bahan tertawaan orang? Tak heran bila kita dipimpin oleh para koruptor, kejujuran pun kita tertawai dan dianggap bodoh. Guru seolah menyuruh anak muridnya membangun jembatan diatas jurang, belum sampai ke tebing selanjutnya, murid diperintah untuk terjun payung kebawah jurang. Hancur lebur dan tak berbentuk. Akhirnya, mencontek bukan lagi sebuah dosa pendidikan. Tapi budaya kebersamaan dan kewajaran.
Lalu diapakan hati dan akal yang tinggal didalam jiwa kita? Pendidikan macam apa yang saat ini kita rasakan?
Guru pun seolah merasa tugasnya sebagai pendidik selesai setelah bel keluar kelas. Tindak tanduk dan perilaku muridnya diluar sekolah seolah bukan tanggung jawab mereka. Bila murid terlibat pada suatu kasus, guru seolah angkat tangan dan merasa tidak bertanggung jawab. Lalu kemanakah murid akan memohon pengarahan? kemanakah murid akan memohon pendidikan yang bersih? yang mendorong siswa-siswinya berbuat baik dan arif?
Saat ini marak sekali lembaga pendidikan semacam bimbel bermunculan. Para murid merasa mereka lebih dapat menimba ilmu ditempat sepeti itu. Mereka mampu lolos SNMPTN atas bimbingan para mentor. Meski tidak semuanya, kebanyakan bila ditanya mengapa mereka bimbel, para murid menjawab "Di SMA saya tidak mendapat apa-apa". Jawaban yang seharusnya membuat para guru dan sekolah malu. Seharusnya guru membimbing murid yang tidak bisa menjadi optimis untuk bisa. Sekolah memberikan pendidikan yang afektif dan disiplin. Sekolah harus mampu berdiri tegak dan tegas.
K.H Imam Zarkasyi mengatakan "Apa yang kau lihat, kau rasa, kau dengar adalah pendidikan".
Pendidikan adalah proses. Dan pendidikan tidak hanya dinilai dari jumlah torehan nilai di rapor saat kelulusan. Alih-alih nilai palsu Ujian Nasional. Pendidikan adalah suatu cara bagi manusia agar mampu berdiri diatas kaki sendiri, berjalan dengan penuh optimis, dan melihat dengan penuh kesadaran. Dengan artian, agar mereka mampu menemukan bakat dan minat yang memang ada dan tinggal dalam dirinya. Biarlah orang yang berbakat menjadi pesepak bola berkecimpung dibidangnya. Janganlah jadikan UN penghancur moral mereka. Biarlah orang yang tinggal didesa dan mengurus ternak mengurusi ternaknya hingga sukses, jangan jadikan mereka malu karena nilai UN mereka yang hancur. Agar mereka optimis dan mampu berjalan, dan menjadi apa yang mereka inginkan. Dan sadar akan perannya di bumi ini sebagai khalifah. Yang menebarkan rahmat bagi sesama.
Bila drama ujian nasional hanya menjadi cermin dua wajah, usahlah program ini dilanjutkan. Jangan jadikan UN semata-mata nilai dan ukuran murid. Tidak mungkin, soal yang sama rata, diujikan dengan sama rata pula. Mereka yang tinggal dikota-kota besar mampu menyelesaikan soal ujian karena belajar ditempat yang nyaman, aman, dan dibimbing dengan pendidikan luar sekolah. Tapi mereka yang di Kupang, Flores, Maluku? Yang harus melewati jembatan yang hampir rubuh agar mampu bersekolah ....
Juga drama ancaman mutasi bagi sekolah yang gagal dan memiliki prosentase nilai UN rendah. Usahlah para guru ditekan agar murid lulus dalam ujian. Memang ujian itu perlu, dan bertujuan mulia, tapi sistematika dan pelaksanaanya harus dikoreksi besar-besaran. Ujian haruslah diukur dari berbagai aspek. Saya lebih merasa ujian akhir sekolah yang justru lebih berperan.
UN bukan satu-satunya ukuran yang dapat dijadikan patokan, bila setelah ujian, siswa tidak berubah dan tidak meningkat. IQ, EQ, dan SQ nya.
Bila sekolah beranggapan, "bila nilai UN kita rendah, kita akan ditegur oleh pihak kementrian, dan dianggap pendidikan tidak sukses" maka orientasi ujian bukan lagi akhlak, mental, dan keilmuan siswa. Itulah mengapa saya berpendapat, UN tidak perlu diadakan lagi. Buatlah suatu ujian yang mendorong siswa untuk mengeluarkan bakatnya dan mempertanggung jawabkan hasil evaluasi belajarnya. Seperti tugas akhir, membuat makalah, presentasi, berpidato dan menjelaskan suatu materi, membuat sebuah pertunjukan, prestasi olahraga, memimpin seminar ilmiah, itu semua mampu dilakukan bila guru dan sekolah saling mendukung. Itu semua adalah ujian bagi murid, karena bukan masalah ia mampu melewati ujian atau tidak, tapi apakah ia mampu untuk hidup, mandiri, dan disiplin setelah mereka diuji? Itulah ujian. Karena orientasi "Belajar Untuk Ujian" akan berhenti bila proses ujian telah selesai. Tapi bila "Ujian adalah bagian dari belajr" murid akan terus mengevaluasi diri agar ia terus meningkat. Bukan semata-mata mengejar nilai.
Memang tidak adil bila kita menyalahkan guru ataupun sekolah saat ini. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat atas keputusan yang mereka lakukan. Tapi saya hanya berharap, bila UN memang masih berlaku, tidak usahlah murid diberi contekan oleh para guru. Biarlah murid tahu sampai mana kemampuan dia, dan PERAN MEDIA jangan terlalu mengumbar-ngumbar siswa yang tidak lulus. Hendaknya paradigma tidak lulus diubah dan diarahkan. Dan guru mendidik dan mengajari kembali murid-murid yang tidak lulus agar mampu lolos ujian kembali. Bukankah ketidak lulusan mencerminkan ketidak seriusan murid ketika belajar? Bila murid memang malas belajar, wajar saja bila ia mendapatkan hasil yang setimpal. Yang terpenting adalah, bagaimana mental murid siap menerima hasil ujian yang mereka lakukan dengan BERSIH dan JUJUR. Bukankah pendidikan menanamkan nilai jujur?
say NO ... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar