“Tuhan tidak memberi apa yang kau
inginkan, tapi Tuhan memberi apa yang kau butuhkan”
Sungguh
hari itu tak akan pernah kulupakan. Ketika aku menerima hasil SNMPTN dan
ternyata keinginanku untuk kuliah di jurusan Hubungan Internasional Unpad pupus.
Sakit? Iya, itu yang kurasa, meski orang tuaku selalu berkata “syukurilah nak”,
tetap saja aku belum mau menerima. Kurasa ini
jiwa mudaku yang selalu bergejolak. Tapi untuk hal ini, nampaknya
batinku tak bisa berkompromi. Ku selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang aku
inginkan dan aku mendapatkannya!. Tapi untuk hal ini, ku harus mengubur semua
rasa percaya diriku dan tinggal dalam kekecewaan. Sakit.
Dan
bulan ini adalah bulan ketiga untukku duduk dibangku kuliah. Kurasa datar-datar
saja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang menggairahkan, dan hari-hariku
semakin gamang. Bayangan hari itu masih saja tergambar dalam benakku.
Kekecewaan masih saja menghantui pikiranku. Apa yang kurang dalam diriku?
Ketika menjalani masa bimbingan aku selalu mendapat nilai bagus, bahkan
dipastikan lolos untuk pilihan satu. Berbagai konsultasi telah kujalani
dan hasilnya pun demikian. Aku
dinyatakan mampu untuk masuk pada pilihan kesatu. Ibadah dan doapun kencang
kulakukan. Puasa, tahajjud, dhuha, rajin kukerjakan. Ahh, itu masa lalu,
biarkan saja berlalu. Tapi tetap saja hingga hari ini aku belum merasakan enjoy
dalam kuliah. Rasanya aku lebih baik keluar secepatnya dari kampus ini, dan
kukerjakan apa yang aku mau, untuk mengobati segala kekecewaanku.
“Hasil
UTS kamu tidak memuaskan Dan, belajarlah yang rajin”
“Oh
iya pak, akan saya lakukan”
Itulah
kata-kata pak Warsito padaku. Dosen yang ramah dan baik dalam mengajar. Kuakui
itu. Beliau mengajar dengan sepenuh hati dan tidak pernah membuat suasana kelas
alot atau bosan. Kalau melihat penampilannya, beliau sama sekali tidak terkesan
sebagai orang dengan materi yang melimpah. Sederhana dan santun. Suatu hari aku
melihatnya mengisi seminar dalam acara Festival Ilmiah Mahasiswa. Tak kusangka,
beliau menyelesaikan studinya selama sepuluh tahun di Yale University. Tanpa
biaya sedikitpun. Setelah kucoba mencari profil beliau di internat dan Youtube, aku sungguh kaget melihat
beliau pernah menjadi narasumber dalam acara “Kick Andy”.
“Kamu
punya potensi bagus bapak kira, tapi bapak lihat kamu selalu lesu dalam kuliah,
kenapa nak?”
“oh,
tidak pak, gak apa-apa, saya cuma masih bingung dengan mata kuliah yang bapak ajarkan” Aku mencoba berkilah,
“Tidak
mungkin mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar ke Irlandia bingung
gara-gara Grammar”
Aku
terhenyak. Selama ini aku menyembunyikan identitasku dari siapapun. Tapi mana
mungkin bapak ini tahu? Pak Warsito melanggeng dengan tenang. Meninggalkanku
duduk sendiri di selasar gedung jurusan. Akupun merenung pada diriku sendiri, “memang tidak sulit pak, tapi siapa yang
tidak sakit ketika apa yang diinginkan tidak tercapai?” . Aku mengambil
tasku yang tergeletak disampingku. Kuberanjak dari tempatku, dan pergi ke
tempat parkir. Pulang.
*** *** *** *** ***
Jarak
kampus dan rumahku memang tidak terlalu jauh. Tapi gagal untuk dikatakan dekat.
Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk mencapainya. Dan perjalanan pulang
sore ini terasa sangat lambat. Awan mendung memayungiku. Gelap dan sesekali
menyambarkan petir. Dan itu pun kurasa dalam hatiku, gelap dan mendung. Aku
berkata-kata sendiri selama dijalan. Mengeluhkan akan apa kekuranganku selama
ini. “Apa yang kurang dalam diriku?” aku membayangkan dulu ketika aku pulang dari
Irlandia. Semua murid di SMA memuji dan membanggakanku. Pilihanku semakin
mantap untuk meneruskan studi di jurusan Hubungan Internasional. Berbagai les
dan bimbingan kulakukan agar kemampuanku naik. Hasik try out pun selalu memuaskan. Namaku terpampang diurutan paling
atas, “bagus”, aku selalu puas dan
TTETTTTETTTTTTT !!!!
“Hoy
seenaknya dijalan! Pake mata kalau bawa motor!!”
Astagfirullah.
Aku nyaris menyerempet sebuah motor. Sang pengendara marah-marah. Sambil
mengacungkan tangannya dia menatapku tajam. Akupun hanya bisa menatapnya datar.
Aku mendesiskan maaf dalam hati. Kupelankan laju motorku. Sungguh hari ini hari
yang mengesalkan. Hujan turun. Perlahan namun pasti. Hingga akhirnya ku
terpaksa untuk berteduh sejenak disalah satu halteu bus. Ku berhentikan motorku
dan ikut berkumpul bersama orang-orang yang sama-sama berteduh. Hujan,
turunlah sepuasmu ...
Hujan
turun deras namun berirama. Rintikan hujan memaksa beberapa orang yang baru
turun dari angkot melangkahkan kaki
lebih cepat. Tukang becak menjadi laris sesaat. Kulihat warung kopi diseberang
dipenuhi orang-orang yang mencari kehangatan. Hujan membasahi pepohonan dan
membuatnya nampak lebih segar. Namun hujan tak mampu menyegarkan hatiku.
Kekecewaanku semakin meluap. Seperti luapan air yang keluar dari gorong-gorong jalan. Entah kenapa
pikiranku gelap, aku tidak bisa berpikir
jernih. Aku keluarkan kunci motor dari saku celanaku, kunyalakan
motorku, dan bersiap untuk pergi. Ku tak peduli hujan turun semaikin deras.
Kumasukan persneling motor dan menancap gas dengan kencang. Kubangan air
terbelah oleh laju ban motorku. Dalam derasnya hujan, aku berteriak
“Aku
akan keluaaarrr dariii kamppuuussssssss .......”
**** **** **** ****
Semua
buku sudah kubereskan. Kumasukkan dalam kardus dan meletakkanya dipojok
kamarku. Aku merapihkan semua atribut yang berhubungan dengan kampusku.
Kampusku? mungkin beberapa hari lagi aku sudah akan meninggalannya. Jas almamater
yang dibagikan pada saat ospek kampus sudah kurapihkan dan kusimpan ditempat
terbawah dilemariku. Foto kelas, pin, dan semua embel-embel kampus sudah aku
tanggalkan. Dan hari ini aku akan mengurus semua surat dan administrasi
keluarnya aku dari kampus ini. Jam menunjukkan puku tujuh lima puluh. Mata
kuliah pukul tujuh sudah aku lewati. Sengaja. Karena hari ini aku akan melepas
namaku sebagai mahasiswa.
Kukeluarkan
motorku dari rumah dan berangkat kekampus. Kedua orangtuaku sudah pergi sejak
pukul enam. Aku tak perlu berpamitan untuk pergi, toh juga ketika aku mandi,
mereka sudah pergi dan harus segera berada di Jakara pukul tujuh. “Orang sibuk”, itu kata-kataku pada
mereka. Akupun tidak cengeng dalam menanggapinya. Tidak seperti anak-anak lain
yang selalu mengeluh dan dengan cengeng mengatakan “orang tuaku sibuk, aku tidak diperhatikan”. Kata-kata tak berguna
bagiku.
Sesampainya
dikampus aku segera menuju kantor jurusan. Beberapa mahasiswa ada yang baru datang dan tergopoh-gopoh masuk ke lift.
“Gak niat” lirihku dalam hati. Kuliah
itu dimulai jam delapan lima puluh, dan sekarang pukul setengah sepuluh. Kalau
memang tidak niat belajar, ya tidak usah saja. Langkah kakiku sampai dikantor
jurusan. Kulihat pak Herdi, staff administrasi, sedang membereskan kantor
jurusan. Kuhampiri dia
“Pak
maaf, minta formulir untuk pindah bisa?”
Pak
Herdi seperti terhenyak mendengar kata-kataku. Kulihat beliau sedang
membereskan beberapa surat dalam amplop. Matanya memperlihatkan pandangan yang
tidak biasa. Beliau sedikit geleng-geleng menanggapi pertanyaanku
“Kamu
mau pindah kemana?, jurusan lain?”
Kumenelan
ludahku sendiri. Kukira pak Herdi akan menanyakan alasan atau memberiku nasihat
yang biasa dia berikan pada mahasiswa yang terkena masalah akibat sering
membolos atau hilang pada jam-jam kuliah tertentu.
“Bukan
pak, pindah kampus” suaraku lirih.
Pak
Herdi semakin kaget dengan kata-kataku, bahkan beberapa surat yang dia pegang
sempat jatuh dan berantakan.
“kamu
mau pindah kampus? Pindah kemana nak?”
Suara
berat pak Herdi malah membuatku sedikit gusar. Niatku sudah bulat untuk pindah.
Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk hal ini.
“Maaf
pak, saya harus menemui siapa? Saya tidak ingin berdebat dengan bapak”
Kini
pak Herdi tampak mengalah. Kata-kata singkatku membuat mulutnya bungkam. Hinga
akhirnya mengalah dan berkata
“Kamu
temui pak Warsito, di kantornya, beliau kosong hari ini, ini ambil formulirnya”
ujar pak Herdi sambil menyodorkan kertas formulir.
Setelah
mengucapkan terima kasih pada pak Herdi, akupun menuju ruang pak Warsito.
Ruangan yang sederhana namun berwibawa. Kuketuk pintu ruangan pak Warsito
Tok tok tok
“Assalamu
alaikum pak” kupelankan suaraku.
“Wa’alaikum
salam, masuk silahkan” suara bariton terdengar oleh telingaku.
“Saya
pak, Dani” ku masuk dan melangkahkan kaki kedalam ruangan beliau.
Setelah mempersilahkan duduk, pak Warsito
memulai pembicaraan denga bertanya kepadaku
“
Ada apa Dan?”
Akupun
menceritakan apa yang selama ini aku rasakan. Tentang masa laluku, tentang
keluargaku, dan tentang hidupku yang saat ini kurasa sangat rumit. Tentang
keadilan Tuhan yang selama ini aku yakini. Mengapa Tuhan berbuat tidak adil
padaku? Padahal semua anjuran dan perintah sudah aku kerjakan. Usahapun tak
kalah aku lakukan. Doa dan tawakkal sudah aku penuhi, tapi hasilnya tidak
memuaskan dalam hati. Aku bertanya pada pak Warsito, dimanakah hasil usahaku
selama ini? Apakah Tuhan mempunyai rencana lain tapi tetap membiarkanku dalam
kekecewaan?. Aku tak tahu harus berlari kemana. Aku tak tahu harus menangis
pada siapa. Aku tak tahu harus berteriak dimana. Kuluapkan segala kekesalanku
ini pada pak Warsito. Aku bosan dengan tujuan hidupku yang tak tercapai. Hingga
akhirnya dengan tegas kukatakan pada beliau
“Saya
akan keluar dari kampus pak”
Pak
Warsito hanya diam. Matanya tenang dan syahdu. Dia seolah mengerti apa yang aku
rasa. Tapi justru pak Warsito hanya mengomentari dengan singkat
“mana
formulirnya, saya tanda tangani, tapi sebelum kamu keluar, bapak ada titipan”
Kuserahkan
formulir yang sudah aku isi. Perasaanku tercampur antara bingung dan senang.
Satu sisi aku senang bahwa aku akan segera pindah dari kampus ini, tapi di sisi
lain, aku bingung harus berbuat apa setelah ini.
“titipan
apa pak?” aku mencoba memastikan pada pak Warsito
“Bapak
kamu ingin membawa uang ini ke panti asuhan. Ini alamatnya. Sekalian kamu
pulang kan? Kalau sudah sms bapak saja”
Aku
terdiam. Aku tak mengerti apa yang pak Warsito mau dariku. Mengantarkan surat
ke suatu panti asuhan bukanlah hal sulit. Alamatnya pun dekat dengan rumahku.
Aku mengira beliau memberi syarat yang sulit atau apapun. Berkas dan formulir
pun sudah beliau teken. Tinggal tiga hari nanti aku datang ke rektorat dan
menandatangani surat keputusanku.
Aku
melangkahkan kaki dari ruangan pak Warsito. Beliau mengantarku ke depan pintu
layaknya tuan rumah mengantar tamu ke depan pintu. Aku terdiam sesaat. Tak
sadar aku menangis dan meneteskan air mata. Sesak. Itulah yang kurasa. Ini
sebuah dilema besar untukku. Untuk hidupku. Namun keputusan sudah aku ambil dan
aku harus siap menanggung resikonya. Kupeluk erat pak Warsito, dan kukatakan
pada beliau
“amanat
bapak akan saya sampaikan”.
*** *** *** ***
Jalan Purbasari nomor
21, kecamatan Cibeureum, kota Bandung.
Kuparkirkan
motorku didepan gerbang suatu rumah. Rumah yang aku rasa bisa menampung puluhan
orang. Ku melihat ke sekeliling rumah. Kutatap setiap sudut teras dan
pekarangan rumah, seorang satpam menghampiriku dan bertanya
“Nyari
siapa ya mas?” satpam itu tampak sopan bertanya padaku
“ini
pak, saya ada titipan, ini ...” ku menyerahkan amplop yang terdapat label dan
nama suatu lembaga
“ohh,
silahkan masuk mas, sudah ada yang nunggu” sikap satpam ini berubah. Dia
menjadi lebih sopan dalam menyambutku. Padahal aku baru pertama kali datang ke
rumah besar ini.
Satpam
itu mempersilakanku duduk disebuah sofa berukuran sedang yang berada diteras
rumah. Ku melihat beberapa anak muda seusiaku berjalan berlalu-lalang di pekarangan
rumah. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang
membersihkan taman, ada yang melukis,
ada yang membuat janur dengan gedebok pisang, ada pula yang membuat ukiran dari
kayu. Semua anak muda disini tidak ada yang diam. Semua bergerak dan
mengerjakan kegiatan. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Pakaian koko
coklat tua dan celana katun hitam membuat bapak ini terlihat berwibawa. Si bapak
mengucapkan salam dan duduk berseberangan denganku. Namanya pak Ramdhan. Beliau
adalah teman dekat pak Warsito ketika dulu masih menjadi aktivis mahasiswa.
Kini beliau mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang beliau dirikan
bersama-sama kawan aktivisnya sejak duduk di bangku kuliah. Beliau menceritakan
tentang bagaimana panti asuhan Karya Muda ini berdiri. Setelah panjang lebar
pak Ramdhan bercerita, beliau mengatakan sesuatu padaku
“Kamu
lihat anak itu yang sedang melukis?” si bapak melirikkan matanya ke si anak
yang tengah melukis.
“Dia
salah satu mahasiswa ITB yang terpaksa drop out karena tak mampu membayar biaya
kuliah, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan”
Aku
terhenyak. Mendengar penjelasan pak Ramdhan aku masih belum percaya dengan
kata-kata beliau
“Dan
yang itu, yang sedang membuat ukiran,
dia salah satu mahasiswa terbaik fakultas Seni Rupa UPI yang harus berhenti
karena biaya”
Aku
tak bisa meneruskan kata-kata dalam hatiku. Pak Ramdhan menatap mataku
dalam-dalam. Tatapan bijaksana seorang bapak sungguh amat terasa padaku.
Tatapan yang sungguh memberikan banyak arti. Tatapan yang mengajak seorang
mahasiswa sepertiku untuk merasakan betapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan
kepada kita. Tatapan hangat yang mengumpulkan serpihan-serpihan semangat dalam
dadaku. Tatapan yang sejuk dan masuk
kedalam hatiku. Tatapan yang kini membuatku bangkit.
“Kau
tidak semestinya melakukan ini nak, lihatlah diluar sana. Banyak orang-orang
yang tidak seberuntung kamu. Bapak juga dulu merasakan apa yang kamu rasakan.
Dulu bapak keukeuh untuk kuliah di
Tehnik Informatika tapi bapak diterima di jurusan Sosiologi”
Aku
terdiam sesaat.
“Lalu
apa yang bapak lakukan?”
“Syukurilah
nak, Tuhan sedang memperisapkan yang terbaik ..... “
Kata-kata
pak Ramdhan menyejukan hatiku. Bagai embun pagi yang menetes dari ujung
dedaunan. Bagai udara pegunungan yang sejuk dan segar. Kata-kata itu masuk
kedalam relung hatiku. Menyentuh endapan darah yang menggumpal jauh dibalik
katup-katup jantung. Membangkitkan asa yang dulu pecah dan tersebar. Dan kini
terkumpul dan terajut menjadi suatu untaian mutiara indah dan berkilauan. Kini
ku sadar akan ketentuan Tuhan yang tidak semua manusia dapat fahami. Sebuah
kenyataan pahit namun menuai hasil yang manis diakhir cerita. Bahwa Sang Maha
Kuasa selalu menetapkan semua kejadian
atas cintaNya, dan menjadikannya indah pada waktunya.
“Ingat
Dani, Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kamu inginkan, namun Tuhan
memberikanmu apa yang sesungguhnya kamu butuhkan”.
*** *** *** ***
Washington
DC, Kedutaan Besar Republik Indonesia.
“Tolong
rapihkan dan simpan semua berkas diatas meja, setelah itu susun jadwal untuk
mengadakan pertemuan secepatnya dengan kepala departemen dan semua anggota biro
di ruang utama. “
“Baik
pak, pertemuan bapak dengan Presiden USA
sudah kami jadwalkan pukul tiga nanti, bapak Presiden meminta anda untuk hadir,
anda diminta menjadi penerjemah beliau”
“Loh?, mengapa beliau tidak memakai jasa
penerjemah kedutaan saja?”
“Pak
Presiden langsung yang meminta pak, baliau ingin Duta Besar yang baru yang
menerjemahkan. Pak Presiden bilang, tata bahasa bapak bagus sekali ...”
Setelah
ajudan keluar ruangan, ku kembali ke meja kerjaku. Tanpa sengaja ku ingin
memeriksa berkas pelantikanku menjadi Duta Besar. Aku membuka laci dan sekilas kulihat foto masa laluku yang sedang bergaya
bersama kawan-kawan dikampus. Kuambil foto tersebut dan kutatap dalam-dalam. Ku
melihat pak Warsito yang ikut bergaya bersama kami. Foto ini mengingatkanku
pada dua belas tahun lalu. Ketika aku masih menimba ilmu bahasa dan menjalani
berbagai aktifitas sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa yang dulu sempat ingin
keluar dan putus asa gara-gara pilihan yang tidak terlaksana. Mahasiswa yang sempat menangis dan tersungkur dalam
kekecewaan. Namun kusadar, selama ini aku berada didekat orang-orang yang
selalu mencintai dan mendukungku. Tapi peran dosenku yang bernama pak
Warsito-lah yang kurasa memberikanku dorongan terbesar. Aku masih ingat
kata-kata singkat beliau yang kini menjadi motivasi terbesar dalam hidupku.
Kata-kata singkat namun sangat berarti bagiku
“Bersyukurlah atas apa
yang kamu dapat, niscaya Tuhan memberikan balasan yang tak terhitung ....”
Tuhan,
Ku bersyukur atas segala nikmatMu yang sangat banyak kurasakan. Jadikan hambaMu
ini hamba yang pandai bersyukur atas segala nikmatMu meski sekadar setetes
embun dipagi hari.
Bandung,
2nd of December 2011. At my living room.
Cerpen ini dilombakan pada Lomba Cerpen Program Tutorial UPI 2011