Mungkin banyak orang yang sudah sering datang ke
Singapura. Memang, lokasi singapura tidak begitu jauh dari Indonesia, bahkan
sangat dekat. Sejajar dengan provinsi Riau, membuat perjalanan ke Singapura
tidak begitu terasa lama. Tiba di bandara Changi, aku malah merasa begitu jauh
dengan Indonesia. Sejak di atas langit, aku melihat dataran kepulauan kecil
yang begitu indah, namun berlubang di tengah-tengahnya. Ada pulau dengan hutan
yang lebat, namun ada penampakan seperti cakaran yang membuat hutan hijau itu
compang camping. Ada pulau dengan ukuran sangat besar, hutan rimba yang begitu
indah, namun lagi-lagi terdapat bangunan pabrik di tengah-tengahnya. Entahlah,
pulau apa itu namanya. Tetapi, saat pilot mengatakan kita akan segera landing di Changi, aku melihat gugusan
pulau kecil dengan padang golf yang ditata sangat rapi dan sedap dipandang.
Mungkin yang ini baru Singapura.
Ya, kembali aku katakana, saat tiba di Changi, aku
merasa begitu jauh. Tata kelola bandara yang begitu professional, infrastruktur
yang baik, dan pelayanan yang begitu prima, membuatku merasa seolah kita ada di
belahan negara yang sangat jauh. Tetapi, aksen Singlish yang begitu kental
seolah mengingatkanku bahwa ini adalah Singapura. Ya, negara yang presiden
pertamanya adalah seorang keturunan Minangkabau, Padang.
Lagi aku katakan, di sini semua nampak begitu cepat.
Eskalator dibuat lebih cepat, orang-orang berjalan sangat cepat, pemeriksaan
barang dilakukan dengan tanggap dan cekatan (cepat juga). No words for
leyeh-leyeh, no words for woles-woles. Sedikit kaget juga, tetapi lama-lama aku
pun sadar bahwa “ini lah yang membuat mereka bergerak lebih maju. Ya, mereka
bergerak lebih cepat.”
Di Singapura memang lebih senang jika kita bertujuan
untuk wisata mewah, wisata belanja, dan wisata bulan madu. Pemandangan kota
yang dibuat cantik, gedung-gedung tinggi nan rupawan, serta pelayanan top
adalah pemandangan umum di kota ini. Ya, Singapura adalah negara yang
berkembang dari sektor jasa.
Bagi backpacker pemula seperti saya, pemandangan nan
cepat seperti ini cukup menguras keringat. Belum lagi saya adalah anak gunung
yang tinggal di kota Bandung; kota adem dengan hawa dingin, bandrek hangat dan
surabi oncom pedas adalah pasangan klop di pagi hari. Cuaca panas di Singapura
memang membuat saya sedikit kewalahan. Hasilnya, naik MRT adalah suatu hiburan
tersendiri: AC.
Ya, bagi backpacker seperti saya pun biaya makan
membuat saya sedikit geleng-geleng kepala. Setelah mengelilingi Merlion dan
foto-foto ala-ala kekinian di depan Marina Bay, Orchard adalah tujuan kami
untuk santap siang. Setelah keliling beberapa menit, akhirnya kami memutuskan
untuk makan di satu rumah makan yang bernama “Ayam Penyet Ria”.
Ria? Penyet? Ayam? Ya, ini adalah restoran yang
dimiliki orang Indonesia. Banyaknya orang melayu dan Indonesia yang tinggal di
Singapura menjadi target pasar yang cukup tepat sasaran. Tak aneh, saat duduk
di restoran ini, ada banyak wajah-wajah khas Suroboyo, khas Malang, khas
Padang, Arab-Melayu, bahkan tampang Sunda seperti saya ini. Kasirnya tetap
orang Chinese dan pelayanan tetap berbahasa Inggris. Tapi tetap dengan khas
Singapura “How many person laaa?”, “Over there la, that desk over there is
dirty laaa,~”
Makan di sini memang harus ikhlas. Dengan ayam penyet
yang cukup untuk dimakan di siang dan malam hari, serta minum es jeruk satu
gelas, kita harus ikhlas mengeluarkan kurang lebih 10 SGD. Di Bandung, dengan
nilai uang 10 SGD, kita sudah bisa memesan nasi box ayam penyet 5 porsi (sudah
dengan tahu tempe dan lalapan plus sambal terasi maknyos). Ya, harus ikhlas ya
…
Tetapi jangan takut, kalau haus setelah makan, tak
usah bingung beli air mineral. Cukup cari keran air minum yang tersedia di
banyak titik, atau cari masjid terdekat (sedekat kawasan Bugis :’) ). Di sana
air sudah steril dan siap minum. Bahkan di masjid, disediakan dispenser yang
ada air dingin sedingin kulkas. Alhamdulillah …
Yang menarik di Singapura adalah kita tidak perlu
kaget, tak perlu mencibir, atau tak perlu berdemo besar-besaran karena para
orang tua yang sudah lanjut usia masih dipekerjakan. Ada yang menjadi petugas
kebersihan, penunggu kamar kecil, petugas penitipan, atau petugas tiket di
terminal. Gak perlu. Gak usah sedih. Gak usah bilang “dasar, ke mana anaknya
nih? Udah tua begini masih disuruh kerja sampe malem, dasar anak durhaka!” atau
bilang “ini bagaimana negara semaju ini orang tua masih harus bekerja?” atau
berdemo di depan gedung sate sambil teriak “kita perjuangkan hak para orang tua
Singapura, tuntut para kapitalis yang mempekerjakan orang tua di Singapura!”
gak perlu mas. Capek. Gak perlu ya.
Di Singapura, para orang tua ini memang sengaja
dipekerjakan. Pernah dengar cerita bahwa dahulu ada kabar seorang anak yang
menelantarkan orang tuanya di rumah dan tidak diurus? Anaknya sibuk bekerja
(karena kebutuhan di Singapura yang tinggi) lalu orang tuanya malah tak
terurus?
Mendengar kabar ini, pemerintah lantas membuat
kebijakan: orang tua boleh bekerja kembali di posisi yang tidak begitu berat.
Memang, terkadang pensiun dianggap seperti “Waahh, aku sudah pensiun, saatnya
aku menimang cucu, duduk-duduk di ruang depan sambil baca koran, memotong
rumput taman, atau memandikan burung kenari yang aku pelihara”. Wew~ jika
pensiunan ini adalah seorang mantan pejabat tinggi negara, bisa saja hal ini
terjadi. Tapi, jika kenyataannya adalah bahwa para orang tua ini dulunya bukan
pejabat negara, lalu apakah pensiun merupakan masa purnabakti yang menjanjikan
kenyamanan? Tentu tidak. Tetapi kenyataannya, tetap bekerja bagi orang tua
(orang muda juga) memberikan dampak positif karena tubuh terus bergerak. Malah
kalo badan kurang gerak, penyakit gampang tiba kan?
Well, Singapura memberiku banyak pelajaran. Dari cara
berjalan, cara bergerak, cara beli tiket, thank
you di setiap pelayanan, dan tentunya ANTRE.
Di malam hari, saat kita menuju Bugis untuk naik bus
ke Johor Bahru, kita melihat ada terminal kecil di sana. Katanya itu pool bus
menuju Johor Bahru. Lalu kita mendatangi loket dan bertanya berapa harga tiket
ke Johor Bahru. Tiba-tiba muncul kakek-kakek sambil sedikit membentak “Be queue
up, be queue up!” Kita terhenyak sejenak, dan “ooohh” maksudnya disuruh antre.
Memang saat kita lihat, ada antrean orang-orang yang hendak membeli tiket.
Maafin ya kek, ane kagak tahu …
Antre menjadi budaya di sini. Tak peduli mau berdasi,
mau ibu-ibu, mau anak gaul, mau orang kaya, mau pensiunan, mau backpacker,
semua kudu antre. Value yang saya
rasakan adalah “karena bukan kita yang urusannya harus selalu diutamakan”.
Makanya antre. Tapi kalau inget di kota sendiri, kadang adaaaaa aja yang
nyempil-nyempil dengan muka cuek tak berdosa seolah-olah manusia polos. Terus
nyelak, terus ribut, terus kacau, apalagi kalo di pasar. Mohon maaf sebelumnya,
tapi sebagai seorang anak lelaki yang gak bisa terlalu cerewet, biasanya ya ibu-ibu
yang suka nyelak di antrean atau kerumunan. Dalihnya sih biasanya “Maaf ya dek buru-buru”, atau di
undangan pas prasmanan terus pura-pura polos “Eeehh ibu Mawar, katanya anaknya bla
bla bla … (lalu nyelak antrean)” atau “maaf ya dek anak saya udah nunggu”. Yah,
kalo di kereta atau bus, memang ibu-ibu pasti aku utamakan dalam perihal duduk.
Tapi kalo antre, please atulah ….
Anyway, kita naik bus sekarang menuju Johor Bahru.
Perjalanan kurang lebih dua jam. Setibanya di kantor imigrasi, lagu mendiang
Broery Marantika yang berjudul Jangan Ada
Dusta Di Antara Kita terngiang syahdu …
Oh God, How
I miss my country (baca: Oh
God, lagu kita laris di sini) …
Bersambung ….
Gimana ya skripsi gue ... |
Attack COC kaga ada wifi nih :( |